"Tega banget lo berdua."
Allura tertawa mendengar kalimat protes dari Dhia di seberang sana. Sembari berjalan, menyusuri lorong menuju ruangan Elang.
Ini sudah hari Senin. Allura belum kembali ke kosnya lantaran Mama yang memintanya ke kantor Elang. Entah untuk alasan apa. Mama hanya memberinya alamat kantor Elang dan menitipkan makan siang. Allura iya, iya saja. Tidak berminat untuk melakukan perdebatan panjang di hari Senin yang cerah ini.
"Ya gue mana tahu kalau Mama minta gue ke kantor si om hari ini," jawab Allura. Tidak menghiraukan para karyawan yang sesekali berpapasan dan memasang wajah bingung. Allura tidak berniat untuk sok ramah dan menyapa mereka satu per satu.
"Duh, ampun deh, gue cantik banget kayaknya ya, Dhi. Sampai karyawannya Elang ngelihatin gue terus."
Dhia berdecak sebal. "Itu karena mereka baru lihat ada anak TK keluyuran sendiri di kantor besar. Nggak usah kepedean."
Sialan!
"Lo berdua harusnya ngomong dulu. Jadi gue bisa persiapan belajar semalam. Males banget ngikut kelas Bu Amel. Itu dosen hobby banget bikin jantungan. Nanti kalau gue nggak bisa jawab pertanyaannya abis dah nilai gue, Lura. Oncom emang lo berdua!"
Tawa Allura kian kencang. Tidak hanya membuat Dhia mendesis sebal. Tapi juga menimbulkan tatapan yang lebih mengherankan dari karyawan Elang.
"Bolos aja, Dhi," ujar Allura. Terlampau santai, membuat Dhia berdecak sebal.
"Jatah bolos gue abis buat kelas Bu Amel. Nanti gue nggak bisa ikut UAS. Gue sadar diri, Lura, otak gue ini nggak seencer lo. Udah nilai pas-pasan, nggak bisa UAS. Gue nggak mau ya ngulang kelasnya Bu Amel tahun depan. Ngikut satu semester aja males banget."
Jika malam itu Dhia yang seenaknya menertawakan nasib buruk Allura, kali ini sebaliknya. Allura sangat menikmati curahan hati Dhia yang mengundang tawanya untuk lepas. Memang ya, tertawa di atas penderitaan sahabat adalah yang paling menyenangkan.
"Gue kira Adeo berangkat duluan, eh tahunya ikutan bolos."
"Dia tuh alasan aja. Sok banget pakai bilang kangen keponakan. Aslinya biar bisa bolos. Kapan lagi 'kan lepas dari kelas Bu Amel?"
"Eh udahan ya, Dhi. Gue udah di depan ruangannya Elang nih."
Dhia hanya berdehem. Mungkin masih sebal tidak karuan pada Allura dan Adeo yang bolos bersamaan. Menyisakannya seorang diri untuk mengikuti kelas Bu Amel. Dosen muda, berwajah cantik, dengan proporsi tubuh yang ideal. Namun sayangnya, sadis luar biasa.
"Besok balik sini lo berdua. Gue nggak mau menjamur sendirian di kota perantauan."
"Iya, santai. Gue juga nggak mau kali di sini terus. Dikira enak kali."
"Ya udah, take your time, Lura. Selamat cari perhatian sama calon suami lo."
Mencari perhatian? Enak saja. Allura datang ke sini hanya untuk menuruti permintaan Mama. Tidak lebih, tidak kurang. Sampai harus merelakan harga dirinya untuk mencari perhatian pada Elang. Itu jelas sekali bukan Allura. Karena baginya mencari perhatian pada laki-laki adalah satu hal teramat tidak penting. Masih banyak kegiatan yang jauh lebih bermanfaat dibandingkan mencari perhatian. Apalagi pada sejenis manusia dari zaman dulu yang masih tersisa di era modern ini.
"Nggak akan! Gue yang bakalan bikin dia baper duluan sama gue."
"Iyain." Kalimat penutup yang Allura dengar. Setelahnya sambungan itu terputus.
Allura melangkah lebih dekat. Meraih kenop pintu dan hendak membukanya. Namun pergerakannya dihentikan oleh seorang perempuan yang mengisi meja di depan ruangan Elang.
"Mohon maaf, Mbak. Tapi Pak Elangnya tidak bisa diganggu."
Dasar om-om sok sibuk!
Allura memasang senyuman sebisanya. Tidak mau menyalahkan sekretaris Elang karena mungkin apa yang ia lakukan atas perintah Elang.
"Tapi saya udah ada janji, Mbak. Elang juga tahu saya mau ke sini."
Ya, jelas saja Allura percaya diri untuk menyampaikan hal itu karena Mama yang memintanya ke sini. Membawakan bekal segala rupa. Pasti sebelumnya Mama sudah menghubungi Elang untuk kehadirannya hari ini.
"Tapi tadi Pak Elang berpesan pada saya untuk tidak membiarkan siapa pun masuk. Kalau boleh tahu, atas nama siapa?"
"Allura Kirania."
Demi apapun Allura membenci kondisi seperti ini. Elang itu terlalu narsis. Dikira Allura senang mengunjunginya di kantor? Allura juga keberatan. Bukannya menyambutnya dengan baik. Sekadar memberi apresiasi atas kehadirannya yang terlihat sangat niat, berdandan cantik dan membawakan bekal. Tapi malah dicegat di depan pintu dengan alasan tidak bisa diganggu. Keterlaluan!
"Sebentar ya, Mbak. Saya tanyakan dulu."
Allura mengangguk. Memilih menuruti. Walaupun sebenarnya masih memiliki tenaga hanya untuk mendobrak pintu ruangan dan memarahi Elang.
Setelah berbicara melalui telepon, sekretaris Elang kembali menghampirinya. "Silahkan, Mbak. Mbak Allura boleh masuk."
Allura mengiyakan itu. Sempat mengucapkan terima kasih dan beranjak memasuki ruangan Elang. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah Elang yang sedang sibuk mengurusi pekerjaannya. Laptop menyala dengan kertas-kertas di atas meja. Nampak begitu serius sampai tidak melirik sedikit pun saat Allura menutup pintu ruangan.
Baiklah, anggap saja Allura sedang berusaha menjadi calon istri yang pengertian. Tanpa mengganggu kegiatan Elang, Allura melangkah masuk. Menduduki sofa panjang di ruangan itu dan diam. Hanya sesekali melirik ke arah si lelaki yang masih sibuk dengan pekerjaannya.
Satu jam pertama, Allura menghabiskan waktunya dengan bermain ponsel. Berbalas pesan dengan Dhia dan Adeo di grup obrolan mereka. Allura belum merasa bosan karena kedua sahabatnya selalu berhasil membawa pembahasan yang menyenangkan. Kali ini didominasi oleh keluhan Dhia atas kelas pertamanya tanpa Adeo dan Allura. Dan parahnya itu berada di kelas Bu Amel.
Satu jam berikutnya, Allura pakai hanya untuk menonton video juga mendengarkan musik. Dengan earphone tentunya. Allura 'kan sedang berusaha menjadi calon istri pengertian.
Obrolan mereka di grup terhenti lantaran Dhia harus kembali masuk kelas dan Adeo sibuk membantu Sabiya mengurusi baby Cio, keponakannya. Yang Allura yakini sebagai salah satu bentuk cari perhatian Adeo pada kakak iparnya itu.
Adeo memang selalu suka mencari gara-gara dengan Romeo, kakak laki-laki Adeo yang jarang berekspresi tapi bisa posesif keterlaluan untuk semua hal yang berhubungan dengan Sabiya. Allura jadi miris sendiri. Jika saja ia yang menjadi istri Romeo, pasti ia yang merasakan bagaimana menyenangkannya memiliki suami yang posesif namun perhatian.
Satu jam kemudian, Allura mulai bosan. Menghabiskan waktu untuk menunggu adalah hal paling menyebalkan. Apalagi menunggu laki-laki sok sibuk yang bahkan sejak tadi tidak mengalihkan perhatiannya dari layar laptop juga kertas-kertas yang berserakan.
Apa wajah Allura kurang menarik dibanding kertas-kertas itu?
Ini sudah pukul dua belas siang. Itu artinya sudah waktunya Elang istirahat. Allura beranjak dari duduknya, meraih bekal yang dibawanya. Biarpun kesal tidak karuan, Allura masih mengingat permintaan Mama untuk memberi bekal makan siang ini pada Elang.
Allura memasang senyuman sebaik mungkin. Meletakkan bekal yang dibawanya di meja Elang. Membuat si lelaki beralih menatapnya. Tapi bukannya terpesona pada wajah cantik Allura, juga senyuman manisnya, Elang hanya menunjukkan wajah datar yang menyebalkan. Membuat Allura berkali-kali menyabarkan dirinya.
"Ini udah jam dua belas, waktunya makan siang," ucap Allura untuk menjawab kilatan tanya dari mata Elang yang terhalang kacamata.
"Saya nggak lapar," jawabnya datar.
"Tapi Om udah kerja keras, kasihan tubuh Om kalau nggak dikasih asupan. Nanti yang ada Om sakit dan cepat meninggal. Om tuh harus ingat kalau udah lanjut usia," cerocos Allura. Membuat laki-laki yang masih duduk di kursi kerjanya langsung menampilkan wajah mengerikan.
Allura cengengesan. Sedikit salah tingkah karena tatapan tajam itu. "Maksud Lura baik, Om. Anggap aja bentuk perhatian dari calon istri."
"Kamu bisa kembali duduk dan bawa bekalnya. Saya mau melanjutkan pekerjaan."
"Padahal ini makanan Mama buat sendiri dengan sepenuh hati buat calon mantunya. Eh, nggak tahunya si calon mantu nggak ada terima kasihnya," sindir Allura sembari berjalan menuju sofa. Membawa bekalnya kembali tentunya.
"Heran aja masih ada manusia yang kayak robot begitu. Nggak menikmati hidup banget. Udah tua juga. Banyak-banyakin doa, Om, buat bekal di alam sana."
Elang tidak menghiraukan itu. Melanjutkan pekerjaannya. Allura juga kembali sibuk dengan dunianya, walau sesekali masih menggerutu sebal.
Bekal yang ia bawa akhirnya masuk ke dalam perutnya. Allura menikmatinya sendiri, tanpa Elang. Setelah mendapat penolakan, Allura tidak berniat menawari Elang makan siang. Biarkan saja kelaparan. Salah sendiri tidak memedulikan Allura yang sudah berbaik hati.
Setelah menghabiskan semua bekalnya, kebosanan itu kembali melingkupi. Heran dengan Elang yang terlihat masih fokus dengan pekerjaan.
Apakah lelaki itu tidak lelah? Sedari tadi hanya duduk tegap, dengan pandangan fokus pada layar laptop. Tidak ada pergerakan berarti. Menggeliat untuk melemaskan punggung pun tidak. Allura jadi yakin kalau Elang ini memang jelmaan robot. Robot dari zaman purba. Hah 'kan, Allura mulai ngawur lantaran bosan.
Tahu begini, Allura lebih memilih kembali kuliah dan mengikuti kelas Bu Amel. Walaupun galak dan menyebalkan, setidaknya masih jauh lebih berguna. Daripada menunggu Elang yang terus bertahan dengan pose yang sama.
Allura mulai membaringkan dirinya di sofa panjang itu. Biarlah dikira tidak sopan. Memang sejak kapan Allura memiliki sopan santun?
Perut kenyang, bosan, juga ponselnya yang mati. Sudah lengkap menjadi alasan untuk mengantuk. Beberapa menit berjalan, Allura mulai memejamkan matanya. Meredam kebosanan dengan kegiatan yang jauh lebih berguna. Tidur siang bagus untuk pertumbuhan, itu poin utamanya.
***
"Mbak, Mbak Allura."
Allura mengerjapkan matanya beberapa kali saat suara halus itu mengalun. Mendapati sekretaris Elang yang sedang berjongkok di sisi sofa, berusaha membangunkannya.
Allura beranjak bangun. Mengucek matanya beberapa kali juga menguap lebar. Memperhatikan seisi ruangan yang sudah menggelap. Kursi kerja yang sebelumnya terisi oleh manusia menyebalkan itu sudah kosong.
"Pak Elang sudah pulang duluan. Tadi beliau berpesan untuk membiarkan Mbak sampai bangun sendiri. Tapi ini sudah sore. Pekerjaan saya juga sudah selesai. Saya takut Mbak bangun dan kaget karena di ruangan sendiri."
Sepasang mata Allura membola lebar. Apa katanya tadi? Elang pulang duluan? Lelaki menyebalkan yang sok sibuk itu membiarkan Allura ketiduran di ruangannya dan tidak berniat membangunkan? Dasar laki-laki tidak bertanggung jawab!
"Mbak mau pulang sekarang?"
Allura melirik kesal. Memasang ekspresi juteknya. "Makasih udah bangunin saya," jawabnya dengan nada sebal. Sekretaris Elang hanya mengangguk. Menatap Allura miris.
Allura beranjak untuk segera pulang. Sia-sia ia menghabiskan waktu seharian ini untuk laki-laki menyebalkan yang tidak tahu diri. Allura tidak akan lagi membuang waktu untuk Elang menyebalkan itu.
"Hahaha ... sialan. Kasihan banget Lura gue."
Tawa Adeo dan Dhia meledak setelah Allura menceritakan kejadian hari ini. Dengan Elang sebagai pemeran utama topik pengghibahan.
Allura hanya memasang wajah sebal. Menatap wajah dua manusia yang terlihat sumringah dari layar ponselnya.
"Lo seharian cuma lihat dia kerja kayak robot, sampai ketiduran terus abis itu malah ditinggal? Seriusan, gue ngefans sama Elang mulai sekarang," ujar Adeo heboh. Suara tawanya masih bersahutan dengan Dhia.
"Keren banget gaya Elang ya? Gue jadi mau ketemu orangnya, Ra," sahut Dhia saat tawanya mereda.
"Lo berdua jahat banget tahuuu. Nggak kasihan sama gue yang udah berkorban waktu seharian ini. Gue udah dandan cantik, bawain bekal segala, malah ditinggalin. Dia tuh nggak sekalipun ngelirik gue coba. Apa dia nggak suka cewek ya?"
Tawa Dhia dan Adeo kembali terdengar. Sahut-menyahut menjadi satu. Terdengar seperti melodi yang indah untuk merayakan kebahagiaan di atas penderitaan Allura.
"Ngaco ya, oncom. Lo tuh lagi kena karma karena udah ngeremehin Elang, Ra. Makanya jangan nilai orang dari penampilannya aja."
"Gue nggak bisa bayangin Allura yang cuma pasrah aja kalau sama Elang. Kalau begini gue jadi yakin Mama lo udah seleksi duluan buat calon suami lo, Ra. Tahu banget mana yang bisa didik lo," sahut Adeo.
"Nggak guna gue curhat begini. Lo berdua harusnya kasih gue semangat. Bukan malah ngetawain. Teman sialan!"
"Lura, dengerin nih, lo mikir nggak sih kalau misalnya si Elang canggung sama lo?"
Allura mengerutkan kening. Menyimak kalimat Dhia yang menurutnya tidak masuk akal. "Nggak mungkin. Canggung kenapa? Kalau karena kita baru kenal kayaknya nggak harus canggung-canggung begitu deh. Gue aja udah coba cairin suasana. Dianya aja yang alergi sama gue, makanya maunya jauh-jauh."
Dhia mengangkat bahunya. "Ya, nggak tahu juga sih. Gue cuma bilang misalnya. Mungkin belum punya bahan obrolan, dia juga belum tahu lo gimana."
"Elang itu tipe pendiam. Kayaknya memang harus lo yang lebih vokal, Ra. Udah cocok 'kan, dia diam, lo ribut nggak bisa diam," komentar Adeo yang diangguki oleh Dhia.
Allura tentu saja tidak terima. Apa-apaan? Allura perempuan. Seharusnya Elang yang lebih banyak berusaha untuk membuat keduanya lebih dekat. Bukan malah ia yang maju duluan.
"Enak aja! Gue juga nggak masalah kalau hubungan kami nggak ada kemajuan. Malah bagus. Siapa tahu dia jadi punya pikiran buat batalin perjodohan ini."
Dhia dan Adeo hanya mengangguk-angguk paham. Ya, keduanya memang sahabat dekat Allura. Tentu saja tidak bisa mencampuri semua hal tentang Allura. Ada hal-hal yang bisa keduanya campuri, ada juga yang tetap menjadi milik Allura sendiri.
Kehadiran keduanya hanya sebatas mendengarkan curahan hati Allura, menimpali, sesekali memberi masukan, pun menurut kemampuan keduanya. Atau yang lebih sering keduanya lakukan adalah meledek sembari tertawa bahagia. Satu kegiatan menyenangkan yang benar-benar terasa menyebalkan untuk Allura.
***