Allura : 6. Yang Terbaik

2027 Words
Allura bisa menghela napas lega empat harian ini. Ia kembali ke kota perantauan Selasa pagi. Langsung sibuk dengan kuliah dan kegiatan lain yang biasa ia lakukan di perantauan. Membuatnya sejenak melupakan sosok Elang dan segala tingkah menyebalkan itu. Belum ada perkembangan lebih jauh untuk hubungan mereka. Apalagi sekarang keduanya berjauhan. Berada di kota berbeda dengan kesibukan masing-masing. Allura memiliki nomor ponsel Elang yang dikirimkan Mama Senin lalu. Tapi tidak sekalipun Allura berniat menghubungi lelaki itu. Biarkan saja. Lagi pula, apa yang perlu mereka bicarakan di tengah hubungan yang tidak jelas ini? Allura justru menikmati pergerakan waktu yang terus berjalan tanpa ada perubahan berarti di hubungan keduanya. Semoga saja, pembatalan perjodohan itu benar-benar akan hadir dan menyelamatkan hidup Allura yang sudah nyaris redam. Pernikahan itu akan terlaksana sekitar dua bulanan lagi. Tepat saat Allura sedang libur semesteran. Itu artinya, Elang dan Allura memiliki dua bulan untuk mendekatkan diri. Membuat hubungan keduanya tidak lagi canggung. Namun yang terjadi saat ini, baik Elang maupun Allura tidak ada yang memiliki niat untuk memulai terlebih dahulu. Allura tentu tidak akan mau menurunkan egonya barang sedikit saja. Salahkan saja Elang yang membuatnya marah. Jika saja Senin lalu Elang bersikap baik, Allura juga tidak akan seegois ini. Allura melirik ponselnya yang bergetar, tanda panggilan masuk. Menampilkan nama "Mas Vigo" di sana. Allura menghela napas sebelum memutuskan untuk mengangkat panggilan itu. "Ya, Mas." "Di kos, Ra, atau masih di kampus?" "Di kos," jawab Allura. Ini sudah pukul satu siang. Hari Jum'at ia tidak memiliki banyak jadwal. Hanya dua mata kuliah pukul setengah delapan dan pukul sepuluh tadi. Biasanya, weekend seperti ini Allura akan menghabiskan waktu bersama Dhia dan Adeo untuk berkeliling. Sekadar melepas bosan dan penat. Namun siang ini udara sangat panas. Membuat ketiganya memilih pulang ke kos masing-masing untuk tidur siang. "Mama bilang Sabtu kemarin kamu pulang. Kenapa nggak mampir ke rumah?" "Iya, Lura nggak sempat, Mas. Nemenin Elang di kantornya." "Udah ada pertemuan keluarga?" Allura menghela napas panjang. "Ya, Sabtu sore kemarin. Mas Vigo nggak datang, Ayah juga nggak datang, apalagi Mas Janu. Kalian bertiga segitu sibuknya sampai nggak tahu?" "Maaf, Ra." "Udahlah, Mas Vigo nggak salah. Lagian bukan hal baru. Dari dulu 'kan Lura cuma punya Mama." Ada helaan napas dari balik telepon. Allura sadari kalimatnya terdengar tidak menyenangkan. Tapi ia hanya ingin mengutarakan apa yang ada di hatinya. Allura bukan tipe yang hanya diam saat merasakan sesuatu. Allura benci untuk memendam semuanya dan menunggu perasaan buruk itu meluap, diiringi air mata. Allura benci ia yang terlihat lemah. Maka dari itu, sebisa mungkin, Allura selalu menyampaikan apa yang mengganjal dalam hati. Meluapkan kemarahannya pada Vigo, Ayah, atau Januar. Sedangkan Mama adalah satu-satunya yang Allura jaga perasaannya. Karena sekeras apapun Allura berteriak, Mama tidak akan pernah goyah dari keputusan awal. "Kamu boleh marah sama Mas. Mas akan dengarkan semuanya." "Dulu waktu Ayah dan Mas pergi dari rumah, kenapa nggak bawa Allura sekalian? Kenapa kalian ninggalin Lura sama Mama yang seperti itu? Kalian pergi karena tahu sifat Mama, 'kan? Kenapa Lura harus jadi satu-satunya yang tertinggal di rumah?" Allura terdiam setelah luapan pertamanya. Mencoba menetralkan pernapasan yang mulai memburu. Dengan air mata yang siap terjun. Namun berkali-kali Allura menahan itu. "Kenapa Lura nggak bisa sebebas Mas Vigo dalam menentukan hidup? Kenapa Lura harus tunduk sama semua kemauan Mama, padahal Lura menentang itu? Kenapa Lura nggak bisa bengal seperti Mas?" "Lura, untuk semua pertanyaan itu, jawabannya cuma satu, karena kamu anak Mama. Satu-satunya anak Mama. Ayah punya Mas Janu, Mama punya Lura, dan Mas memang udah memutuskan untuk nggak mengikuti salah satunya." "Kenapa Lura nggak boleh seperti Mas?" "Kamu anak baik. Mas nggak akan membiarkan kamu menjadi pengecut dan bengal seperti kami. Kalau Mas Janu bisa jadi pengecut lantaran menuruti permintaan Ayah sampai mengesampingkan kebenaran, sedangkan Mas yang bengal sampai nggak diakui sama keduanya. Kamu berbeda, Lura. Kamu punya posisi yang lain di hati Mama dan Ayah. Kamu tetap bisa bahagia dan berjalan di jalur yang sesuai tanpa harus menyakiti salah satunya." "Lura nggak paham." "Nanti, akan ada waktunya kamu paham sama semua yang Mas bilang." Allura mengangguk tak acuh. Tidak mau memikirkan hal itu terlalu dalam. "Kalau dulu Lura ikut Ayah, mungkin hidup Lura akan lebih bahagia ya, Mas?" Vigo kembali menghela napas. Ada banyak hal yang Allura tidak pahami dalam ikatan persaudaraan mereka. "Pilihan kamu selalu yang terbaik." Allura tertawa. Terbaik dari mana? Sudah jelas ia menjalani hidupnya seperti robot selama bertahun-tahun ini. "Lura sedikit kecewa, karena setelah sukses pun, Mas nggak berniat bawa Lura pergi dari Mama." "Kamu yang memutuskan untuk terus sama Mama, Lura. Dan Mas nggak ada hak untuk memaksakan semuanya." Tawa Allura kembali terdengar. Tawa miris pada nasibnya sendiri. "Baru sadar kalau Lura bodoh banget selama ini. Dari banyaknya kesempatan untuk pergi sendiri, kenapa malah terus memilih bersama Mama? Udah jelas nggak enak, udah tahu banyak paksaan, tapi Lura nggak kapok dan terus mau sama Mama." "Itu istimewanya kamu, Ra. Dan Mas bangga punya adik seperti kamu. Punya pilihan sendiri dan mau membayar konsekuensi dari pilihan itu. Kalaupun bisa memutar waktu, Mas akan memilih apa yang kamu pilih. Karena pasti rasa bahagianya jauh lebih indah." Allura semakin tidak mengerti. Sepertinya kakaknya mulai ngawur. Bahagia sejenis apa yang Vigo maksud? "Satu yang harus kamu tahu, kamu itu kesayangan Mama. Mama nggak akan memilihkan sesuatu yang membuat kamu menderita. Mama sayang kamu, Ra. Apa yang Mama pilihkan adalah yang terbaik untuk kamu." Vigo menjeda sejenak kalimatnya. Allura bisa mendengar helaan napas panjang di seberang sana. "Kamu boleh marah, kamu boleh membenci keadaan saat ini. Tapi nanti, saat waktunya tiba, kamu harus ingat kalau Mas pernah kasih nasihat ini sama kamu. Jadi Mas minta, jangan berubah. Tetap menjadi Allura yang seperti ini. Kamu jauh lebih tahu di mana kamu bisa bahagia." "Iya deh iya, walaupun Lura nggak paham apa maksud Mas." Keduanya melanjutkan perbincangan dengan topik yang lebih ringan. Allura banyak menceritakan sosok Elang yang baru ditemuinya Sabtu lalu. Lengkap dengan kalimat menjelek-jelekkan dan itu sukses membuat Vigo tertawa. "Mas, nanti Lura mau pesan gaun pernikahan sama Mbak Yena. Pokoknya gaun itu harus mahal banget, nggak mau tahu! Terus Lura mau resepsinya di Ayyara Hotel, kayak waktu Kak Meo dan Mas Vigo dulu. Pokoknya Elang harus ngeluarin biaya mahal buat nikahin Lura." Vigo hanya bertugas mengiyakan itu. Meladeni apapun yang Allura katakan. "Enak aja si om-om sepuh dapat yang bening begini dengan harga cuma-cuma. Dia tuh seharusnya banyak berterima kasih, karena Lura satu-satunya yang mau sama om-om modelan dia. Padahal masih banyak laki-laki muda, ganteng, enak dilihat yang ngejar Lura." *** Pukul delapan malam, Allura baru saja makan malam bersama Adeo dan Dhia. Tergolong langka, karena makan malam kali ini atas ajakan Dhia. Perempuan itu memaksa ingin makan capcay kuah buatan Pak Toat yang kedainya ada di samping stadion olahraga. Allura dan Adeo iya, iya saja. Sudah tahu persis, bukan menu makanannya yang Dhia rindukan, tapi Mas Bintang. Anak tunggal Pak Toat yang sering terlihat membantu di kedai. Makan sekaligus cuci mata. Setelah makan, Allura meminta langsung diantar pulang. Sedang tidak berminat untuk mampir ke kos Dhia dan menemani perempuan itu maraton drama. Satu hal wajib yang dilakukan Dhia ketika akhir pekan. Menghempaskan tubuhnya di ranjang. Matanya menelisik langit-langit kamar. Beberapa saat setelahnya, ponselnya berbunyi. Mama mengirimkan pesan. Membuat Allura berkali-kali menghela napas sebelum membuka pesan itu. From: Mama Sabtu ini Elang akan ke tempatmu. Ada undangan dari teman kuliahnya yang kebetulan dekat daerah kamu. Dia berangkat jam tujuh pagi dari sini. Allura berdecak sebal. Apa-apaan Elang itu? Kenapa malah bilang ke Mama, tidak langsung menghubunginya saja? "Dasar om-om penakut. Dia nggak berani bilang langsung sama gue?" gumam Allura. Meletakkan ponselnya di sampingnya. Tanpa membalas pesan Mama. Baru beberapa saat Allura terpejam, ponselnya kembali bergetar. Membuatnya mendesis sebal. Mengangkat panggilan itu tanpa mengecek nama yang tertera. "Kenapa lagi, Mama? Iya Lura paham. Besok jam tujuh Lura jemput di bandara, terus nemenin Elang ke tempat temannya, dan bantu cariin hotel buat nginep. Gitu, 'kan?" cerocos Allura. "Lura, ini saya." Allura membulatkan matanya. Mengecek nama yang tertera di layar ponsel. Ya, itu Elang bukan mamanya. Menggaruk kepalanya kasar. Allura bodoh sudah asal menjawab dan menyambut Elang dengan kalimat panjangnya. Seharusnya Allura tidak perlu menjawab panggilan itu. Ingat, Allura masih kesal lantaran kelakuan Elang yang seenaknya. Padahal Allura berniat membiarkan Elang luntang-luntung sendirian. Mengiyakan perintah Mama. Tapi esok ia akan mematikan ponselnya seharian. Belum juga terealisasikan, Elang sudah menghubunginya. "Ya," ucap Allura dengan nada jutek. Berusaha membangun tembok tinggi di antara keduanya. Agar Elang berpikir dua kali untuk mengabaikannya lagi. "Saya besok akan ke tempat kamu." "Udah tahu." "Saya berangkat jam tujuh dari sini." Allura hanya bergumam untuk mengiyakan. Elang diam. Allura juga sama saja. Melewati beberapa waktu hanya untuk saling diam-diaman. Dengan ponsel menempel di telinga. Helaan napas kasar. Allura yang dasarnya cerewet tentu tidak betah dengan kondisi seperti ini. Mencoba menunggu agar Elang yang berbicara terlebih dahulu, namun si lelaki tetap diam. Membuat Allura sebal tidak karuan. Sungguh, Allura benci dengan suasana canggung seperti saat ini. "Iya, Om. Besok Lura jemput di bandara. Lura temani ke tempat teman Om sekalian kalau memang Om minta. Setelahnya kita cari hotel untuk Om menginap," ucap Allura pada akhirnya. Karena memang tidak bisa untuk diam lebih lama lagi. "Terima kasih, Allura." Hanya ucapan terima kasih. Yang diucapkan dengan nada datar. Allura juga biasa mendengarnya terucap dari orang-orang. Ada banyak kondisi yang membuat banyak manusia menggunakan terima kasih sebagai respon atas pertolongan orang lain. Entah bagaimana, Allura merasakan ada yang lain dengan kalimat ini. Menerobos masuk dalam hatinya dan membuatnya merasa dihargai. Atas pertolongan yang tidak seberapa. Allura terbiasa menuruti keinginan Mama. Tanpa sekalipun mendengar kalimat lembut itu lolos dari mulut Mama. Padahal, Allura yakini, ia sudah banyak mengorbankan kebahagiaannya untuk menuruti apa yang Mama minta. Tapi kali ini, ia hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Menjemput Elang juga menemaninya datang ke undangan teman semasa kuliahnya. Satu tugas untuk statusnya saat ini. Begitu saja, Elang sudah berhasil membuat air mata Allura menetes. Mungkin Elang mengucapkan kalimatnya sebagai hal biasa. Lelaki itu sudah terbiasa menghargai pertolongan orang lain. Layaknya manusia-manusia kebanyakan. Tapi bagi Allura, ini adalah penghargaan yang luar biasa. Membuat hatinya ditumbuhi rasa senang karena apa yang ia lakukan dihargai oleh orang lain. "Allura, kamu masih di sana?" Allura bergumam mengiyakan. Mencoba menetralkan suaranya yang sedang menahan isak tangis. Sangat memalukan jika Elang sampai tahu ia menangis lantaran kalimat terima kasih yang terucap. "Untuk kelakuan saya tempo hari, maaf." Allura tidak bisa lagi menahan suara isak tangisnya. Elang tentu saja dibuat kebingungan mendengar Allura yang menangis setelah kalimat permintaan maafnya. "Kamu menangis? Maaf, saya benar-benar minta maaf kalau perlakuan saya menyakiti kamu." "Huwee ... Om Elang." Tangisan Allura kian kencang. Membuat Elang semakin kelimpungan di seberang sana. "Kamu boleh memarahi saya. Kamu boleh membenci saya. Tapi tolong, jangan menangis seperti ini." Allura masih sibuk menangis. Mengabaikan kalimat penyesalan Elang. Sampai tidak menyadari jika Elang sudah menyampaikan kalimat permohonan padanya. Jika saja Allura sedang baik-baik saja, pasti ia akan memasang wajah menyebalkan dan meledek Elang seenaknya. Karena lelaki kaku dan pendiam itu bisa menyampaikan kalimat permohonannya lantaran merasa bersalah. "Allura," panggilnya lagi masih direspon dengan suara tangisan. "Saya harus apa supaya kamu berhenti menangis?" Allura menghela napas beberapa kali. Menetralkan suara cegukan yang selalu muncul setelah tangisan. "Jangan matiin teleponnya," ujar Allura lirih. Tidak ada kalimat lain yang terpikirkan. Ia hanya menginginkan malam ini Elang menemani tangisannya. Walaupun hanya melalui telepon. "Tungguin Lura selesai nangis dan ketiduran," pinta Allura dengan suara yang lebih lembut. "Baik." "Lura akan marah besar sama Om kalau dimatiin sebelum Lura tidur." "Iya, Allura. Saya akan di sini. Mendengarkan kamu, menunggu sampai kamu tidur." Setelahnya tidak ada pembicaraan lagi. Hanya ada suara helaan napas masing-masing yang bersahutan di balik ponsel. Tanpa banyak kata, tanpa banyak pertanyaan. Allura hanya sedang menikmati waktu. Perasaan tenang dengan Elang yang menemaninya. Tidak pernah terpikirkan untuk hal ini sebelumnya. Allura selalu fokus dengan target-target hidupnya. Dengan langkah pelan yang lebih didominasi oleh ketakutan jika saja ia salah melangkah dan membuat Mama kecewa. Mengabaikan banyak hal sederhana yang bisa membuatnya bahagia. Beberapa detik setelahnya, sepasang matanya mulai berat. Suara napas Elang membuatnya mengantuk. Seperti melodi pengantar tidur yang menimbulkan rasa nyaman dalam hati. Malam ini, Allura tidur nyenyak. Dengan Elang yang setia menemaninya dari jarak yang terbentang di antara keduanya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD