Chapter 5

1106 Words
Selamat membaca Mobil Prawira sudah tiba di halaman rumah sebelum jam enam sore. Ia memang berencana pulang lebih awal dari biasanya. Karena hari ini, ia ingin makan malam bersama dengan Megan. Sekaligus meminta maaf atas perkataannya tadi pagi yang tidak sengaja menyakiti hati putrinya itu. Tapi sebelum itu, ia sudah memberitahu Irene terlebih dahulu tentang hal ini, agar Irene tidak perlu menunggu kedatangannya. Setelah memarkirkan mobil. Prawira segera berjalan masuk ke dalam rumah. "Megan," panggilnya dengan nada halus ketika baru saja membuka pintu. Tapi tidak ada satu pun jawaban dari sang empunya. Darsini yang mendengar Prawira memanggil Megan, tiba-tiba muncul dari arah dapur. "Dek Megan lagi pergi ke rumahnya Dek Lisa, Pak," ungkap Darsini. "Barusan apa udah dari tadi, Bi?" tanya Prawira ringan. "Tadi pas Bapak berangkat kerja, Dek Megan juga langsung pergi naik taksi." "Taksi?" Dahi Prawira berkerut. Karena tidak biasanya Megan pergi dengan menggunakan taksi. "Kalau begitu, saya ke belakang lagi ya, Pak. Mau siap-siap pulang." "Oh!" "Oke, Bi," ucapnya ringan. Prawira merogoh kantong celana untuk mengambil ponsel. Lalu menekan salah satu nomor telepon di kontaknya. Satu kali, dua kali, tiga kali .... Panggilan keempat baru dijawab oleh Megan. "Megan lagi dimana?" tanya Prawira sekedar memastikan. "Lisa," sahut Megan singkat dengan nada suara yang terdengar sangat dingin di telinga Prawira. Prawira terdiam sejenak ketika mendengar nada suara Megan yang tidak bersahabat. Sepertinya Megan memang tersinggung dengan perkataannya tadi pagi. "Emm ... Mau pulang jam berapa?" "Papa rencananya nanti malam mau masak buat Meg-" "Aku nginap di sini," potong Megan dari ujung sana. Raut wajah Prawira yang awalnya ceria seketika memudar. Hening. Padahal selama ini Megan tidak pernah mau menginap di rumah orang lain, meskipun itu di rumah Lisa sahabat dekatnya sendiri. Tapi kenapa sekarang dia tiba-tiba ...? Apa Megan sedang mencoba menghindar darinya? Sebenarnya Prawira ingin menanyakan tentang hal itu, tapi ia urungkan. Karena ia tidak ingin jika ujung-ujungnya ia dan Megan malah berdebat. Mungkin memang ia harus memberikan Megan waktu untuk menenangkan diri, agar amarahnya sedikit mereda. Prawira tersenyum kecil. "Oke, have fun." "Besok pagi Papa jemput." "Nggak usah, Pa. Aku naik taksi aja." "Waktu Papa terlalu berharga cuma buat jemput aku," tutur Megan datar sebelum mengakhiri panggilannya secara sepihak. Prawira tertegun. Hatinya berdesir perih. Apa maksud ucapan Megan? Apa yang dia pikirkan sampai bisa berbicara seperti itu? ***** "Lo lagi marahan sama Om Prawira, Gan?" tanya Lisa yang dari awal mendengar percakapan antara Megan dan Prawira. Megan membuang napas kasar. "Itu kenapa gue terima tawaran lo nginep di sini." "Tadi kalo lo nggak maksa gue buat ngangkat telfon, sebenarnya gue juga nggak mau ngangkat." "Ya kali aja penting. Kan jarang-jarang Om Prawira telfon lo duluan. Buktinya tadi mau ngajak makan malam, kan?" Megan berdecak kesal. "Sumpah nggak penting banget," celetuknya ketus dan beranjak dari tempat tidur. "Mau kemana?" tanya Lisa heran. "Lo nggak denger? Udah adzan Maghrib, noh." Lisa mendekatkan telinganya ke arah sumber suara sambil mempertajam pendengarannya, karena tidak terdengar terlalu jelas. "Oh iya, bener." "Tungguin, gue juga mau ikut wudhu," tukasnya sambil beranjak dari ranjang dan menyusul Megan yang sedang menekan ganggang pintu. Setelah selesai melaksanakan sholat Maghrib berjamaah. Megan kembali ke kamar tanpa Lisa, karena sahabatnya itu sedang menonton sepak bola bersama dengan ayahnya di ruang keluarga. Saat ia baru saja masuk, tiba-tiba ponselnya berdering. Megan berjalan ke arah tempat tidur, lalu mengambil ponselnya yang tergeletak di atas kasur. Raut wajahnya langsung berubah gembira ketika melihat nama yang tertera di layar ponselnya. Tanpa menunggu, Megan segera menarik tombol ke atas untuk menerima panggilan video dari orang itu. "Om Henry!" seru Megan kegirangan ketika wajah pamannya muncul di layar ponsel. Sedangkan Henry justru menjauhkan ponsel dari wajahnya ketika mendengar suara keponakannya yang melengking. "Dasar cempreng, kuping Om jadi sakit, nih," celetuknya sebal. Megan tersenyum nyengir. "Habisnya aku kangen banget sama Om," ungkapnya dengan raut wajah ceria. "Om Henry kapan mau datang ke Indonesia lagi?" "Ke Indonesia mau ngapain? Om lebih nyaman tinggal di Kanada," ucapnya sengaja menggoda Megan. "Kok ngapain? Ya ketemu aku, dong. Kalo Om nggak mau ke sini, apartemen yang di Jakarta jadi milik aku." Henry tertawa. "Maksud kamu apartemen yang ini," ucapnya sambil membalik ponsel dan mengarahkannya ke sekeliling ruangan yang saat ini ia tempati. "Woahhh!" "Om kenapa nggak bilang kalo lagi di Jakarta?!" tanyanya begitu antusias. "Biar suprise, dong." Megan memutar bola matanya malas. "Yaelah, terus Om mau berapa hari di sini?" "Terserah Megan aja," sahutnya enteng. "Kalo gitu, nggak usah pulang aja ke Kanada," gurau Megan. "Oke," ucapnya ringan. "Eh?" "Bercanda apa serius, nih?" "Bercanda." "Tuh kan." Henry memasang wajah geregetan. "Ya serius lah!" tukasnya ngegas. "Dasar lemot." Megan memasang wajah kesal. "Santai aja dong, Om!" balasnya tak kalah ngegas. "Tolong mukanya itu dikondisikan, Bos. Udah jelek, jadi makin jelek," cibir Henry tanpa dosa. "Jelek-jelek gini juga banyak yang ngejar, Bos." "Cowok?" "Anjing tetangga." "Sudah ku duga." "Hahahaha!" Suara tawa Megan menggelegar. "Receh amat lu, Meg." "Biarin," sahutnya tidak peduli dan menjulurkan lidahnya. Henry hanya menggeleng-gelengkan kepalanya ketika melihat tingkah keponakannya itu. "Eh, Meg. Besok ke rumah sakit yuk jenguk mama kamu." "Oke, jam berapa, Om?" tanya Megan ceria. "Pagi aja, besok Om jemput." "Jemput di rumah Lisa ya, Om." "Kamu lagi nginap di sana?" Megan mengangguk. "Okay." "Ya udah ya, Meg. Om mau sholat Maghrib dulu." "Lah? Waktunya udah mau habis ini, Om." "Kenapa baru mau sholat sekarang?" "Laiya gara-gara video call sama kamu ini." "Udah lah, Om mau sholat. Bye!" ucapnya ketus sebelum mengakhiri panggilan video. Megan mengernyitkan dahinya. "Dasar aneh!" ***** Tepat jam 12 malam, layar ponsel Prawira kembali menyala dan ada nada pesan masuk. Prawira yang saat itu tengah tertidur dan mengantuk berat, hanya membiarkannya saja dan tidak mencoba untuk mengecek. Namun tiba-tiba ia membuka matanya lebar karena merasa Dejavu. Sepertinya ia juga pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Mendapatkan pesan di tengah malam. Prawira terkesiap ketika mengingat tentang hal itu. Hatinya seketika bergemuruh. Tanpa menunggu, ia segera mengambil ponsel dan mengecek kotak pesan. Deg Tubuh Prawira menegang. Jantungnya seakan berhenti berdetak. Matanya membuka lebar seakan bola mata nyaris keluar dari tempatnya. Ia terlalu syok saat mendapatkan kiriman foto dirinya dan Irene yang sedang b******u mesra di ruang kerjanya. Bayangkan jika istri dan anakmu juga mengetahui tentang hal ini. Apa yang akan terjadi? Haha. H. "s****n!!" umpatnya kasar sambil membanting ponselnya ke dinding. Prawira menyugar rambutnya frustasi. Benar tebakannya, jika peneror itu akan terus menganggu dirinya. Meskipun ia berulang kali memblokir nomornya, dia tetap akan menerornya dengan nomor yang lain. "Arrghh!" Matanya berkilat penuh amarah. Otaknya seketika mendidih hingga menguap ke permukaan kulit. Prawira mengepalkan tangannya erat dengan rahang yang mengeras. Bagaimana pun caranya, ia harus segera menyingkirkan peneror itu dari hidupnya sebelum semuanya terbongkar! TBC.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD