03. Mantan Menikah

1170 Words
Sania menatap di depan sana. Mantan kekasihnya menikah dengan sepupunya Leona. Keduanya tampak tertawa bersama, mengabaikan rasa sakit yang dirasakan oleh Sania di sini yang menjadi korban kedua orang tersebut. Dua orang yang begitu bahagia telah mengkhianati Sania dan tidak memikirkan perasaan Sania. “Kau sedih?” Sania mendelik mendengar pertanyaan bodoh yang baru saja dilontarkan pada dirinya. Tentu saja dia sedih. Alasan rasa sedihnya juga. Keperawanannya yang sudah diambil oleh lelaki yang sudah beristri dan dijumpai olehnya di klub malam. Semuanya karena Leona dan Evan—mantan kekasih yang begitu dibenci olehnya. Tetapi masih dicintai olehnya. Sania menghapus air matanya kasar. “Aku benci melihat mereka bahagia!” ucap Sania menunjuk kedua orang yang sedetik kemudian berciuman. “Ya. Kau memang pantas membenci mereka. Tapi, kau semalam kemana hah?! ibumu menelepon ku terus menanyakan kau dimana.” Ucap Airin—sahabat Sania yang tahu bagaimana Sania begitu mencintai Evan. Selama ini Sania setiap kali bertemu Airin selalu menceritakan hal tentang Evan membuat Airin bosan mendengarnya. “Airin! Kau tahu, Evan berikan bunga untukku. Katanya dia mau menikah denganku.” “Airin, aku senang. Evan sudah menjadi lelaki yang harmonis.” “Airin, Evan kemana ya?! Kenapa nomornya tidak aktif?” “Airin, aku cinta pada Evan!” Sekarang lelaki yang selalu Sania puji dan cintai berkhianat dan menikah dengan Leona. Si wanita tidak tahu malu. “Aku tidak tahu kemana semalam. Aku melewati gunung. Lautan. Pergi ke sungai. Hutan. Dan tempat lainnya agar aku tidak sakit hati lagi,” jawab Sania memang sudah gila. Sania beranjak dari sana. Menatap pada minuman dan makanan yang disusun di atas meja. Yang begitu tampak enak. Tapi orang yang sedang sakit hati. Tidak akan—sialan! Ini sudah kue kelima yang dimakan oleh Sania. Sania butuh energi. Memikirkan bagaimana kalau dia hamil? Apakah dia akan datang ke tempat lelaki itu. Lalu bilang dia hamil anak lelaki tersebut! Tidak! Sania tidak mau hamil. Tapi bisa saja dia hamil bukan? Sania yang beberapa saat lalu masih memikirkan Evan dan Leona menikah. Sekarang semua isi pikirannya tertuju pada satu hal. Sania tidak mau hamil. “Mom! Apa yang kau lakukan?” Sania terlonjak kaget mendengar suara anak kecil memanggil dirinya dengan sebutan Mom? Mom itu ibu bukan? Mommy? Kapan Sania menikah sialan! “Hei! Saya bukan ibumu! Kapan saya menikah dengan bapakmu hah?!” tanya Sania kesal. Bocah itu tertawa kecil memegang tangan Sania. “Kau akan menjadi ibuku. Kata Papa, aku segera memiliki ibu. Dan itu kamu!” ucap bocah lelaki yang Sania perkirakan umurnya baru lima tahun. “Gila! Siapa bapakmu hah?! Apakah dia sudah gila mengatakan aku menjadi ibumu! Aku tidak akan pernah menjadi ibumu, sayang. Aku tidak mau menikah dan menjalin hubungan lagi. Hiks! Jatuh cinta itu menyakitkan.” Sania kembali menatap ke depan, bagaimana kedua orang yang dibencinya membuat Sania tidak percaya akan yang namanya cinta. Tampak bahagia di depan sana. Seolah menertawakan Sania yang sedang bergumul dengan patah hatinya. “Oh~! It’s really sad.” Ucap bocah itu memandang Sania dengan tatapan penuh mengasihaninya lalu kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri. “Kau tahu! Kalau kau besar nanti, jangan pernah yang namanya mempermainkan seorang perempuan. Hati perempuan itu rapuh sekali. Bagaimana caranya aku tidak sakit hati lagi?” tanya Sania memakan kue yang kesepuluh dan tidak merasa kenyang atau enek dengan kue yang dimakan olehnya tersebut. “Sangat mudah sekali Baby. Kau tinggal menikah dengan Papaku. Dia tampan, tajir, kaya raya, tentunya kata sempurna tidak bisa mendeskripsikan Papaku sekarang. Kau tidak akan menyesal untuk menerimanya. Kau bisa mencobanya dulu selama tiga bulan. Dalam waktu tiga bulan kau merasa tidak tertarik, maka kau bisa mencobanya lagi dalam waktu tiga bulan lagi. Jangan pantang menyerah! Karena aku sudah memantapkan hati kau menjadi Mamaku!” tunjuk bocah tersebut, seperti menawarkan sebuah pekerjaan pada Sania. Sania meletakkan punggung tangannya di kening bocah itu. “Kau sakit hah?! Tapi badanmu tak panas. Kau anak siapa sebenarnya?” tanya Sania, merasa takut untuk berdekatan dengan orang gila. Walau dia sudah menjadi gila lebih dulu. Putus cinta membawa dirinya untuk melepaskan keperawanannya yang sungguh berharga sekali untuknya. Sania kembali menangis. Kali ini bukan menangisi Evan dan Leona. Tapi dia menangis keperawanannya. “Apa yang harus aku lakukan?” Bocah yang masih di sana. Mengerjapkan matanya beberapa kali. Lalu menatap Sania prihatin. “Jangan lupa untuk menikah dengan Papaku. Dia akan segera datang melamar mu! Buanglah rasa sakit hatimu itu. Lelaki miskin tidak punya modal seperti itu, tidak pantas ditangisi! Lebih baik menikahi duda kaya raya dan punya segalanya. Dadada… calon Mamaku sayang. Kita bertemu lagi nanti?” Bocah kecil itu melambai pada Sania, yang ikut melambaikan tangannya. Lemas. Sania butuh asupan. Sania berjalan menuju tepi pantai. Monyet! Kenapa juga pesta pernikahan ini di tepi pantai. Seperti pesta pernikahan impian Sania. Sania berharap saat dia pulang ke rumah nanti. Lalu pesta ini masih ada. Maka datangkan lah sebuah malapetaka untuk pengantin sialan itu. “Laut? Aku sedih.” Ucap Sania menatap pada laut yang ada di depannya kembali menangis dan menghapus air matanya. Untung saja make up yang dipakai oleh Sania anti badai sehingga sebanyak apapun dirinya menangis, masih tetap bertahan. “Dia lucu sekali, ‘kan boy? Bagaimana pilihan Papa? Tidak salah bukan?” tanya Dion, menatap pada putranya. Kedua lelaki berbeda usia itu. Duduk sambil melihat Sania yang menangis menatap lautan. “Oke! Tinggal tarik dia untuk dinikahi saja. Papa pasti bisa melakukan itu.” Ucap Derren—anak Dion, sambil memakan es krimnya. “Tentu saja sayang. Karena dia. Papa sudah bisa tidur nyenyak tadi malam. Tapi untuk malam ini, Papa tidak tahu. Berharap kutang yang Papa curi, dan hormon Sania yang masih tertinggal di sana mampu membuat Papa untuk tertidur dengan nyenyak lagi nantinya.” Dion memang mengambil kutang milik Sania, menyimpannya, saat wanita itu masih tertidur. “Pa! Papa mengerikan! If Sania finds out, she will definitely run away!” “Sok inggris kamu. My handsome son. He won’t run away, because your handsome papa will tie him up.” Derren memutar bola matanya, mendengar apa yang dikatakan oleh ayahnya. Mau mengikat Sania katanya. Agar gadis itu tidak lari. Lihat saja nanti, gadis itu akan menatap penuh tidak suka pada ayahnya nanti setelah tahu kelakuan ayahnya. “Terserah Papa saja. Yang terpenting Sania menjadi Mama Derren. Jangan pernah menukarnya dengan gadis lain lagi.” Ucap Derren beranjak dari sana, dengan gaya bossy nya. Dion terkekeh kecil. “Sebentar lagi. Sania. Kamu akan jatuh ke dalam pelukan Mas Dion, walau saya akan menawarkan pernikahan kontrak. Untuk membuatmu merasa yakin sayang. Yakin hidup selamanya bersama Mas Dion, yang akan mengikatmu tanpa melepaskan kamu nantinya. Sekali masuk ke dalam hidupku. Jangan pernah mencoba keluar.” Dion tertawa kecil. Lalu pergi dari sana. Setelah memandang Sania yang kembali menangis. Dion lupa. Kalau dia bukan tamu yang diundang di pesta pernikahan ini. Tapi karena Sania ada di sini, maka dia menerobos masuk ke dalam pesta pernikahan mantan kekasih Sania. Setelah memberikan amplop lima ribu rupiah. Tidak pantas lelaki itu mendapatkan amplop banyak-banyak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD