"Enoo... Entah, sesulit apa kehidupannya nantinya. Semoga kamu selalu berada disisi ku. Meski tidak ada disampingku saat ini. Setidaknya kamu masih selalu ada dihatiku. Dan, tidak akan pernah tergantikan."
Ina masih berlutut di pasir putih itu. Ia bersujud tepat menatap ke arah barat. Dengan ke dua tangan memegang pasir. "Aku berjanji. Di depan pasir ini. Jika aku tidak akan pernah sama sekali melupakan kamu." tegas Ina.
Tanpa terdengar hentakan kaki, seorang laki-laki sudah berdiri tepat di belakangnya. Menatap heran dengan apa yang di lakukan wanita itu. Meski dia tadi sempat pergi, lalu kembali lagi ke pinggiran pantai lagi. Hanya ingin menemui wanita aneh yang baru saja ditemuinya.
"Percuma juga jika kamu terus menangis disana." suara serat seidkit berat seorang lakiaki menghentikan sejenak tangisan Ina. Ina mencengkeram erat pasir itu menumpuk gumpalan pasir ke dalam genggamannya.
"Jangan ikut campur!" geram Ina tajam.
"Bukanya aku melarang kamu menangis disini. Tetapi, semua yang pergi untuk selamanya. Tidak akan pernah terus kembali. Bukan karena tidak cinta. Tapi, dia sudah bahagia di surga sana. Harusnya kamu lebih iklhas menjalani semuanya." ucap sok bijak laki-laki yang entah dari mana suara itu muncul. Ina, mengangkat sedikit kepalanya, ia melihat sepatu pantofel dengan ke dua kaki di balut celana hitam, berada tepat di depannya.
"Siapa kamu?" tanya Ina, dia mencoba untuk duduk, memalingkan wajahnya membelakangi laki-laki yang sedari tadi berdiri di belakangnya. Ina merasa malu jika menangis di depan laki-laki yang sama sekali tidak dia kenal.
"Kita pernah bertemu juga. Disini tadi. Tapi, saat aku melihat kamu yang tidak hentinya terus menangis. Membuat aku merasa geram sendiri. Melihat" wanita aneh seperti" kamu" ucapnya.
Ina menyeka air matanya yang membasahi pipinya dengan ke dua tangannya secepat kilat. Membalikkan tubuhnya menatap ke sumber suara di belakangnya. Melihat jelas wajah laki-laki tampan dengan setelah jas hitam, dan kemeja biru dongker terlihat begitu gagah. Bada tegap, d**a bidangnya. Terlihat begitu mempesona. Tetapi, tidak dengan Ina, yang sama sekali tidak tertarik dengan semua itu.
"Bukanya kamu tadi yang membawa bunga ke pantai. Dan, berdiri di paling ujung sana?" tanya Ina, menunjuk ke pantai di ujung tepat di depan pandangan matanya sekarang.
"Iya.. Aku hanya mengenang kepergian para korban pesawat yang baru sjaa berpulang beberapa minggu lalu. Banyak korban yang pergi. Dan, mempersilahkan luka yang amat dalam bagi keluarga mereka. Dan, salah satunya kamu." kata Laki-laki itu, melipat ke dua tangannya di atas dadànya.
Laki-laki itu menggelengkan kepalanya. Tersenyum samar di wajahnya.
"Dan, kamu. Percuma kamu di sini. Kamu hanya bisa menangis, dan terus menabgis saja. Tidak ada perubahan dalam hidup kamu." sindiri laki-laki yang itu. Ina, merasa terpojok dengan kata-katanya. Seakan seperti di hantam batu besar yang membuat hatinya merasa sengat terluka.
Ina, menahan air mata yang terus ingin sekali mendorong kelopak matanya untuk keluar. "Tidak, kamu tidak tahu. Gimana rasanya kehilangan seseorang yang kamu sayang. Kamu tahu, gimana sakitnya aku. Disaat beberapa hari pernikahanku. Aku harus kehilangan sosok yang sangat aku cintai untuk selamanya." ucap menggebu Ina. Mengutarakan isi hatinya. Dengan sedikit luapan kekeslaan yang mengganjal pada hatinya.
"Kamu, kamu tidak tahu aku seperi apa. Jadi jangan pernah sembarangan bicara tanpa tahu gimana perasaan, aku." tegasnya lagi.
"Terus, kamu tidak rela jika dia dipanggil Tua lebih dulu dari pada kamu?" tanya laki-laki itu berjalan mendekatinya.
"Aku bisa merasakan semuanya. Dan, kamu saja yang terlalu berlebihan dalam menyingkapi semuanya. Lihatlah, korban tidak hanya satu dalam pesawat beberapa minggu lalu. Sekarang lihatlah, apa kamu melihat beberapa keluarga korban yang hanya berdiri disini. Menangis sepanjang haru." tegas laki-laki itu. Dia mencoba mengetuk hati keras Ina yang belum bisa sepenuhnya rela jika calon suaminya sudah berpulang untuk selamanya.
"Jangan terlalu membebankan diri kamu masuk ke dalam kesedihan yang amat dalam. Masih banyak hal yang Harus kamu lalui, keep strong. Jangan pernah menyerah!
Ina memutar matanya, dia mulai berkeliling mengamati sekitanya. Memang benar, tidak ada satupun orang yang berada didalam hanya dirinya dan laki-laki asing yang tiba-tiba ada di depannya saat ini.
Ina tertunduk, ia merasa benar dengan apa yang di katakan laki-laki itu. Tidak ada orang yang masih diselimuti rasa sedih. Padahal di sana, tak hanya ada satu korban. Anak mereka yang kecil pasti sangat jadi korban. Mereka kehilangan masa depan, terpukul. Tetapi, mereka tidak pernah sama sekali mencoba mengulangi hal masa lalu lagi. Atau mengingatnya lagi. Hanya cukup berdoa. Jangan bertindak bodoh dengan hal seperti ini." jelasnya.
"Sekarang, apa kamu mau terus menangis disini?" tanya laki-laki itu.
"Sebenarnya kamu siapa?" tanya Ina penasaran.
"Kamu tidak perlu tahu. Yang hanya kamu tahu. aku punya hati dan perasaan sama denganmu. Rapuh, dan sedih." ucap laki-laki itu. Tersenyum tipis. Tak banyak bicara lagi, dia membalikkan badannya. Melanhkahkan kakinya pergi menjauh dari Ina.
"Apa dia punya perasaan sama? Jadi, dia punya kekasih juga yang ada dalam kecelakaan tersebut?" gumam Ina, menatap ke arah lautan. Hari sudah menjelang sore, matahari sudah mulai tebenam di barat daya. Kali ini, Ina bisa melihat pemandangan matahari yang begitu indah. Meski, dirinya merasa kehilangan lagi untuk kesekian kalinya.
Terkahir, Ina melihat pemandangan sama saat bersama dengan Eno. Di mana saat itu mereka terlihat sangat mesra. Ina memejamkan matanya, sejenak. Merentangkan ke dua tangannya sampingnya. Dia membiarkan hembusan angin laut menerpa tubuhnya. Ina mencoba merilekskan pikiran dan hatinya.
***
Flash Back.
"Eno... Kamu berjanji padaku, kan. Jangan pernah lagi tinggalkan aku. Aku sangat mencintamu." Ina, menyadarkan kepalanya di bahu Eno. Di balas dengan sentuhan lembut tangan Eno yang membelai rambutnya. mereka duduk di hamparan pasir putih, melihat pemandangan sunset yang begitu indah di depannya.
"Ina.. Aku hanya ingin bilang satu hal padamu." ucap Eno. Ina, duduk tegap, menggerakkan kepalanya melirik ke arah Eno.
"Tentang apa? Apa kamu akan meninggalkanku?" tanya Ina menggebu penuh emosi.
Eno hanya tersenyum, menghela napasnya berkali-kali. "Apa yang kamu katakan, sayang." ucap Eno, hemari tangannya menyentuh wajah Ina.
"Ingat satu hal ini. Saat ini kita melihat matahari terbenam." Ina kembali menatap ke depan. Pemandangan itu masih terlihat jelas.
"Matahari terbenam mengajarkan kita bahwa sesuatu yang terlihat indah sebagian besar hanya bersifat sementara." ucap Eno.
Ina menatap wajah Eno.
"Apa maksud dari kata itu?" tanya Ina bingung.
"Tidak ada maksud apa-apa, beberapa hari lagi kita akan bertunangan. Jadi, jangan berpikir macam-macam lagi." Eno mencoba meyakinkan Ina jika dirinya baik-baik saja.
"Kamu yakin? Tidak ada hal yang kamu sembunyikan dariku."
"Tidak ada!"
"Enoo.."
***
"Enoo..." gumam Ina, tersenyum tipis. Perlahan dia mulai membuka ke dua matanya. Merasakan hati dan pikirannya sekarang sudah mulai mengatur. Dia sudah tahu jawaban dari kata-kata yang di berikan Eno padanya. Ternyata benar apa yang kamu katakan, Eno. Semua yang terlihat indah. Dan, smeuanya hanya sementara. Aku akan selalu mengingat kamu. Tapi, mungkin tidak harus mengikat kamu ke dalam kehidupan lagi..
Ina tersenyum tipis, menurunkan kr dua tangannya. "Selamat tinggal. Beberapa hari lagi. Aku tidak akan pernah kesini lagi. Mungkin, aku harus mulia kehidupan baru. Aku akan pergi ke kota. Memulai kehidupan yang semestinya aku jalani sekarang. Semoga kamu tenang, dan damai di surga." Ina mendongakkan kepalanya. Melambaikan tangannya ke langit hang membentang luas di atasnya. Luang yang tak terhenti.
"Langit.. Sampaikan padanya. Rasa rindu dan cintaku. Bawa pesan ini sampai ke surga. Agar aku bisa merasa tenang dengan kehidupan baruku." lanjutnya. Ina, mengibaskan tangannya yang masih terlihat sangat kotor. Akibat pasir putih yang selaku dia genggam dari tadi.
"Selamat tinggal. Sekarang, aku akan membiarkan kami hidup dengan tenang dan damai di sana. Tanpa ada lagi yang mengambilmu. Maafkan aku! Terlalu banyak membuat kamu khawatir di langit sana. Tetaplah bahagia, sayang." ucap Ina, ke dua matanya menatap ke arah langit.