Khawatir

1206 Words
"Ina... Kamu baru pulang?" tanya Ratih. Berjalan menghampiri Ina yang sedang duduk di sofa. Ke dua matanya Ina terlihat berbeda dari biasanya Tatapan yang semula sering kosong beberapa hati ini. Ina, terlihat mulai memancarkan sebuah harapan baru di matanya. Melihat Anaknya berbeda dari biasanya. Ratih tersenyum tipis. Dia duduk di samping Ina, mengusap lembut rambut Ina. "Sayang.. Sepertinya hari ini kamu terlihat sangat bahagia? Apa ada sesuatu yang membuat kamu terlihat berbeda?" suara lembut ratih meluluhkan hati Ina. Secara lembut yang selalu jadi sosok idaman dalam diri Ina. Ina menggerakkan kepalanya tersenyum ramah pada mamanya. "Emm... Memangnya Ina terlihat berbeda, ma?" tanya Ina, menarik salah satu alisnya ke atas. "Iya, sayang!" Ratih meletakkan kepala Ina di atas pundaknya. Kemari tangannya tidak berhenti membelai lembut kepala Ina. Kasih standar yang selama ini selalu menemaninya. Meski dirinya hanya berdiam diri di rumah. Belum pernah sama selai merasakan gimana indahnya dunia luar. Padahal dia berharap jika menikah dengan Eno dia kana kembali menjadi sosok merpati yang terbang bebas bersama pasangan yang selalu menjaganya. Tetapi, nyatanya semuanya salah. Sekarang dirinya hanya bisa diam. Dia tidak bisa berkutik sama sekali. Hanya bisa diam di tempat. Dan, tetap berapa kembali dalam delapan ibunya. Orang tua Ina tidak pernah mengijinkan Ina untuk pergi jauh. Jadi apa.yang dia inginkan sleman di berikan. Tetapi, Ina merasa bosan. Dia juga ingin merasakan dunia luar yang nampak luas di sana. Ina selama ini selalu merasakan dunia luar dari cerita Eni. Setiap Eno menemuinya. Dia menceritakan semuanya yang pernah dia lihat di kota. Di tempat jauh dari tempat tinggalnya sekarang. Meski semuanya dia punya, mobil, uang, kasih sayang, seakan hidupnya sempurna. Tapi, hatinya merasa tertekan. "Lihatlah tatapan mata kamu, sangat berbeda dari biasanya." ucap mama Ratih. Ina menghela napasnya. Dia memeluk erat tubuh Mamanya. "Ma, aku sekarang sadar jika aku tidak boleh terpuruk dalam sebuah kesedihan. Aku juga harus bangkit. Jika aku seperti ini, Eni juga pasti akan sedih melihatku di sana." "Ma... Tapi, apakah ina nanti bisa menikah lagi. Apakah Ina bisa merasakan pernikahan tanpa ada kejadian seperti ini lagi. Ina tidak mau, jika kejadian itu terulang lagi pada calon suami Ina masa depan nantinya." "Ina... Jangan pernah berpikir seperti itu. Takdir manusia tidak ada yang tahu. Kamu tetap berdoa untuk yang terbaik bagimu. Jangan pernah menyerah mencoba melupakan masa lalu kamu." Ina mengangkat kepalanya. "Tapi, mama tahu kalau takdir bisa di cegah, kan?" "Gimana jadinya jika takdir di cegah. Tidak bisa Ina. Jika memang takdir orang itu harus meninggal dengan cara seperti itu. Maka Tuhan juga akan melakukan berbagai cara untuk membawa dia kembali. Tetapi jika dia tidak di ijinkan untuk kembali ke sang pencipta. Maka berapa cara Tuhan akan menggagalkannya meski dia di hadang berbagai maut." jelas Ratih. Sementara Ina hanya diam mengangguk gangguan kepalanya. Dia mencoba mengerti. Meski tidak semuanya dia mengerti. Ina menatap lekat mamanya. "Ma... Aku boleh tanya satu hal tidak?" Ina membaringkan tubuhnya. Dengan kepala dibahas ke dua paha mamanya. "Tanya apa?" "Hmmm..... Apa Ina boleh pergi." tanya gugup Ina. "Pergi... Gimana maksudnya? Memangnya kamu mau pergi kemana?" tanya Ratih bingung. "Ina... Emm... Ina.. Mau..." "Mau apa?" potong Ratih. Ina semakin gugup.dia takut jika makanya tidak pernah mengijinkan dia untuk pergi. Meski dirinya berharap ingin segera bekerja di luar. Dia juga ingin merasakan kesenangan di kota lain. Dan, mencoba berpetualang jauh mencoba mencari masa depan dan takdirnya di kota orang. "Jangan gugup, memangnya kamu mau apa. Mama akan mencoba menuruti apa yang kamu minta." ucap Ratih. "Beneran ma?" tanya Ina antusias. "Beneran!" jawab mama Ratih. Jemari ke dua tangannya menyisir rambut panjang Ina. Dia suka sekali memainkan rambut Ina. di saat anaknya sedang bermanja dengannya. Ina menarik napasnya dalam-dalam. Dia mulai mengumpulkan semua keberaniannya untuk berbicara pada mamanya. Hanya ini kesempatan yang dia miliki. Tak mau berlama lama Ina beranjak duduk menatap ke arah mamanya. Ina menatap lekat-lekat wajah Ratih. "Ma... Apa boleh Ina pergi bekerja?" tanya Ina yang mencoba berbicara sebaik mungkin dengan nada intonasi sangat rendah. Bukanya dapat ekspresi sambutan hangat dari mamanya. Kedua mata mamanya melotot tajam seakan mau keluar dari kerangkanya. "Apa tidak ada permintaan lainya?" tanya Ratih. Ina hanya diam, mengunci bibirnya. Menggelengkan kepalanya menjawab pertanyaan Ratih. "Ma.. Kenapa kita tidak membairkan Ina pergi merantau saja." "Pa... Ina tidak akan pernah mama ijinkan untuk merantau. Mama takut Ina ksnapa-napa disana." "Papa tidak usah ikut campur. Mama tidak akan pernah mengijinkan Ina pergi. Mama tidak mau jika Ina ksnapa-napa. Apalagi di luar kota Ina tidak punya teman, tidak punya kerabat, dan juga tidak pernah pergi ke sana." "Ma... Ina bisa jaga diri baik-baik." ucap Ina memohon. "Tidak, sekali tidak tetap tidak." tegas Ratih. "Ma... Janganlah egois pada anak. Biarkan dia hidup mandiri. Kita tidak bisa mengekang terus Ina di rumah." saut papa Ina. Dia mencoba membela Ina meski dapat celana atau tatapan kasar dari mamanya. Ratih terdiam sejenak, dia mencoba memikirkan solusinya. Meski Ina merasa belum bisa karya jika melupakan masa lalu tetetap berada di tempat di mana masa lalu itu timbul. "Ma..." Ina memegang tangan Ratih dan mencoba memohon padanya. Memasang wajah memelasnya. "Ina mohon... Sekali saja ma.. Ina janji.. Ina pasti akan selaku menghubungi mama. Dan, Ina juga akan selalu kirim kabar." Ina menggoyang-goyangkan tangan Ratih. Sementara Ratih masih saja diam seribu bahasa. Dia merasa sangat berat jika melepaskan anak semata wayangnya jauh darinya. DI belum bisa melepas sepenuh dengan dengan tanggung jawabnya sebagai ibunya. Meski dia tahu jika Ina sudah dewasa waktunya dia mengenal dunia luar. "Tidak, Ina." ucap Ratih lirih. Membuat Ina murung seketika. Dia kecewa dengan jawaban yang di berikan mamanya. Entah, ia bisa pergi dari rumah atau tidak dia tidak bisa terus berada disini. Mengurung jiwanya. Ina tertunduk, menundukkan kepalanya, tak kuasa air matamya menetes. "Ina... Mama harap Ina mengerti perasaan mama. Mama tidak ingin jika kamu kenapa-napa nantinya. Mama khawatir dengan kamu.," Ratih membelai rambut Ina kesekian kalinya. Ina menepis tangan mamanya. Dia mengangkat kepalanya. Melibatkan air mata yang sudah membasahi pipinya. Dia mencoba menyuarakan apa yang ada pada hatinya selama ini. "Apa mama mau, jika Ina terus teringat tentang Eno. Ala mama mau jika Ina sakit lagi. Terpuruk lagi. Bukanya mama sendiri tahu ini kita kecil penuh dengan kenangan bersama Eno. Laki-laki yang jadi cinta pertamanya. Meski tidak bisa berujung pas pernikahan. Tapi, dari sebuah tragedi itu. Aku ingin mencari jati diri aku lagi ma. Aku ingin keluar dari perangkap masa lalu." "Tapi... Nak..." Ratih mencoba berbicara pada Ina. Tetap saja disela Ina lebih dulu. Dia seakan tidak mengijinkan mamanya berbicara panjang lebar lagi. "Ma... Apa mama mau mengurung anak mama ini di rumah? Apa Ina bisa dapat jodoh lagi nantinya setelah kepergian Eni, Apa mama sengaja membuat Ina tetap teringat pada Eno jika Ina terus disini. " Ina Mengeluarkan semua ucapan yang selama ini menggulung di pikirannya. "Baiklah! Mama akan pikirkan lagi. Tapi, kamu tidak berangkat sekarang, kan?" tanya Ratih. "Tidak! Ina hanya meminta ijin pada mama. Jika Ina boleh pergi. Maka Ina akan cari tahu tempat tinggal di sana dulu." "Ina.. Papa juga akan selalu dukung kamu. Asalkan setelah sampai di kota besar. Ina harus sering menghubungi orang rumah. Jangan sampai lupa. Dan, aku lagi. Jangan pernah keluar malam jika di kota besar. Karena di sana sangat berbahaya." ucap papa Ina mencoba mengingatkan. "Iya.. Pa.. Ina akan selalu mengingat apa kata papa." Ina beranjak berdiri memeluk papanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD