09. Mengungkap perasaan.

1111 Words
Maria cuma bisa menerawang langit-langit ruang UKS. Ia bingung dengan perasaannya sendiri. Kenapa dia merasa gelisah saat mengetahui fakta bahwa Miya ada hubungan dengan Benz. Rasa ingin tahunya begitu besar, hingga rasanya ia ingin menanyakan perihal hubungan suaminya dengan wanita tersebut. Nggak sadar udah hampir siang, waktunya para murid beristirahat. Benz langsung aja beli makanan dan bawa ke UKS. Maria melengos malas saat melihat suaminya masuk ke dalam ruangan yang ia tempati. "Gimana keadaan elu?" tanyanya, mendekat ke arah sang istri. "Baik." singkat Maria. Benz pun tersenyum, dan ngambil bubur ayam hangat yang baru saja ia beli. "Makan dulu ya, Mae." "Gue nggak laper." "Mae, jangan gitu. Nanti kakek marah loh." Maria cuma terkekeh. Ia sadar kalau pernikahan antara dirinya sama Benz cuma lantaran sang kakek. Demi warisan agar jatuh ke tangannya di Benz. Begitu juga dengan dirinya yang hanya ingin menjalin hubungan dengan Benz lantaran hanya sebuah status saja. "Gue ngantuk Benz. Nanti kalau laper, gue juga bakal makan sendiri." "Gue suami elo." "Inget Benz, suami boongan!!” Benz tersentak, kenapa dengan Maria? Nggak biasanya dia ketus kek gini. "Ada apa sih Mae? Elu marah sama gue?" "Benz." Maria berucap lirih, menolehkan kepalanya ke arah Benz. "Iya?" "Elo anggep gue apa?" Benz makin ngerasa aneh aja, kok tiba-tiba Maria nanya kek gitu. "Istri gue lah Mae, kok pakek nanya sih?" "Gue lelah Benz, gue pengen punya hubungan yang sesungguhnya." Maria memalingkan wajahnya kembali. "Maksud Elo apa? Elo mau berhenti?" Maria mengigit bibir bawahnya. Ingin rasanya ia berteriak. Ia lelah dengan hubungan tanpa perasaan seperti ini. Bukan artinya berpisah dari Benz. Ia ingin menjalin hubungan selayaknya suami istri yang sesungguhnya. Ia butuh cinta, ia butuh sandaran hidup untuk mencurahkan seluruh keluh kesahnya yang selama ini terpendam. "Gue lelah dengan hubungan pura-pura kita." Benz mendengus pelan. "Mau elo gimana sekarang?" Maria nggak bisa lagi nahan gejolak perasaan dalam hatinya. Haruskah ia bilang jika akhir-akhir ini hatinya merasa gundah. Memikirkan perasaan yang kian hari semakin berkecamuk resah. "Aku ingin kita menjalin hubungan selayaknya keluarga." Maria takut sebenarnya harus mengungkapkan perasaannya, tapi bagaimana lagi. Ia gak bisa terus menerus membohongi hatinya. Benz tersenyum, ia tahu jika Maria juga memiliki perasaan yang sama terhadap dirinya. Benz ingin mengungkapkan perasaannya sejak dulu, tapi takut jika Maria menolak. Namun sekarang wanita itu sendiri yang mengungkapkan perasaan kepadanya. Benz tak ada alasan buat nolak perasaan Maria. "Iya, aku akan mencobanya." sahut Benz. Maria tersenyum. "Elo serius?" "Iya, kapan gue pernah bercanda?" "Boleh aku bertanya sesuatu?" Benz mengangguk. "Ada hubungan apa elo sama Miya?" Benz mengernyit heran, kenapa Maria menayangkan perihal Miya? Apa yang gadis ini ketahui tentang mantan kekasihnya itu?. "Apa sih? Nggak ada hubungan apa-apa." kekeh Benz, dia emang nggak pengen bahas tentang wanita itu lagi. Maria tersenyum kecut, kecewa sama jawaban Benz. Kenapa pemuda itu nggak mau jujur padanya?. "Elo bohong." "Gue jujur sama elo Mae." "Gue lihat sendiri, malam itu." Benz memelototkan kedua bola matanya. Kenapa Maria bisa tahu tentang hal itu? "Elo tahu dari mana?" "Nggak penting Benz. Yang terpenting kenapa elo nggak jujur sama gue." Benz meraih tangan istrinya, mengecupnya lembut. "Gue nggak pengen nyakitin hati elo, Maria." "Dengan cara elo nggak jujur gini? Gue malah sakit Benz." "Maafin gue, gue nggak tau kalau bakal nyakitin hatinya kamu." "Ceritain semuanya tentang wanita itu. Kenapa bisa dia dateng di kehidupan elo lagi. Apa kakek nggak tau tentang wanita itu?" Benz menyunggingkan senyum evilnya. "Kakek tahu semuanya." Maria makin bingung aja dengan apa yang diucapkan Benz. Kalau Kakek tahu mengenai gadis itu mantan kekasih Benz. Terus kenapa kakek mau menjadikan wanita itu istrinya? "Tapi ... kenapa kakek mau menikahi wanita itu?" "Tidak. Kakek tidak akan menikahi Miya." "Terus? Miya?" "Kakek tahu jika wanita itu jahat. Maka dari itu, kakek mau memberikan pelajaran pada wanita itu. Kakek selalu memihak kepada ku." ucap Benz. "Jadi, semua itu hanya rencana mu dengan kakek?" Benz mengangguk. Maria tersenyum, ia bahagia mendengar kenyataan ini. Saking bahagianya dia sampai memeluk tubuh sang suami. "Kenapa? Elo cemburu, ya?" Maria mencubit kecil pinggang Benz. Tanpa mereka sadari ada sosok wanita membuka ruangan tersebut. Reflek Maria dorong tubuh Benz. Namun Benz malah memeluk tubuh Maria makin erat. Dia nggak tahu kalau ada bu Fera di belakangnya. Maria akhirnya mencari cara biar wanita itu nggak curiga. "Benz, ada tikus, aku takut!" Benz mengernyitkan keningnya. Tikus apaan sih, makin aneh aja deh lo, Mae. Benz melepaskan pelukannya, menatap bingung ke arah Maria yang terlihat kedip-kedip kek ngode gitu. "Apa sih Mae?" bisik Benz. Maria nunjuk ke arah belakang Benz dengan dagunya. Dengan cepat dia boleh ke belakang. Melihat sosok bu Fera yang berdiri mematung. Secepatnya ia ikut melanjutkan akting istrinya. "Tenang aja, Mae, aku bakal cekik itu tikus yang ganggu kamu." menekankan setiap kata yang ia ucapkan. Sebenernya yang mereka anggap tikus itu sosok wanita di belakang mereka. "Ada apa Pak Benz? Di mana tikusnya?" tanya bu Fera khawatir. "Tadi di sana!" Maria nunjuk asal ke segala arah. "Pak Benz, kamu cari tikusnya! Biar aku di sini menemani Maria. Benz menggerutu dalam hati. b*****t sekali anda, enak-enakan sama bini gue jadi terganggu. Sedang gue, elo suruh pergi nyari tikus. Asal elo tau, tikusnya itu elo! "Udah ilang kok tikusnya." ucap Maria. Dia juga malas kalau Fera yang jagain dirinya. Sedang Benz harus pergi. "Nggak apa-apa Mae. Biar Benz yang cari tikus itu." Maria ingin rasanya ngasih pelajaran sama nih guru nyebelin. Bu Fera tersenyum dan menempelkan punggung telapak tangannya di kening Maria. Ingin Maria mengelak, namun uluran tangan wanita itu begitu cepat. Hingga mau tak mau Maria cuma bisa diem. Benz mengeratkan genggaman tangannya. Sungguh, ia tak bisa menerima semua ini. Fera membuat emosinya naik turun. "Benz, kepada kamu nggak pergi?" Nih dosen bener-bener nguji kesabaran Benz keknya. "Iya Bu." Benz mutusin buat pergi dari ruangan tersebut. Mengkode istrinya dari jarak jauh, dengan menggoyangkan ponselnya. Tanda jika ada apa-apa, Benz berharap Maria akan menghubungi dirinya. Maria tersenyum tipis. Membuat wanita di depannya mengira jika gadis di hadapannya tersenyum dengannya. "Kamu kalau senyum tambah cantik. Pantesan pak Benz kelihatan tertarik sama kamu." sengaja menyindir Maria. Maria hanya terkekeh, ia tak bodoh untuk tak merasa dengan ucapan wanita di hadapannya. Oh, jadi nih dosen sengaja ngusir Benz biar si Benz nggak berduaan dengannya, gumam Maria sebel. Sungguh, Maria pen muntah beneran denger ucapan wanita ini, males juga ngeladenin. "Bu, aku mau tidur." ucap Maria. "Oh, iya. Maafkan aku. Aku nggak maksud ganggu kamu." ucap Bu Fera nggak enak hati. "Tidak apa-apa Bu. Hanya saja aku merasa sangat pusing." Bu Fera mengangguk dan memutuskan buat pergi dari ruangan tersebut. "Maria cepat sembuh. Nanti saya ke sini lagi. Buat ngecek keadaan kamu." Maria cuma senyum palsu. Ia malah berharap kalau wanita itu nggak dateng lagi, biar bisa berduaan sama Benz.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD