Maria kembali ke rumahnya. Baru aja dia mau mandi tiba-tiba aja ponselnya Benz berbunyi. Dengan malas pemuda itu melihat siapa sosok yang menghubungi ponselnya.
"Siapa Benz?" tanya Maria dengan nada suara nggak bersahabat.
"Bu Fera." singkat Benz tanpa menjawab panggilan telphonenya.
"Ada hubungan apa elu sama tuh orang? Apa jangan-jangan elu sengaja main dibelakang gue?"
Maria bener-bener buat Benz naik darah.
"Jadi elo nganggep gue cowok gampangan gitu?! Iya bener, gue emang deket sama banyak cewek. Tapi ... gue nggak pernah sembarangan mau ngapa-apain!" emosi Benz.
Maria bingung, bukan maksudnya menyinggung perasaan suaminya. Hanya saja ia tak percaya jika pemuda setampan Benz masih begitu polos, nggak ngelirik wanita secantik bu Fera.
"Maafin gue ya ... bukan maksud gue kayak gitu." sesal Maria.
Benz mengangguk paham.
"Mae, aku ke dapur bentar ya. Mau ngambil air minum," ucap Benz kemudian.
Benz berjalan meninggalkan Maria. Wanita itu tersenyum saat menatap punggung sang suami yang kini sudah menjauh dari pandangannya.
Maria hanya diam, menelisik ruangan yang ia tempati. Hingga tiba-tiba suara getaran ponsel Benz mengalihkan atensinya. Ia melihat ke arah sisi dapur. Memastikan jika pemuda itu masih di dalam sana.
Entah mengapa, Maria merasa begitu penasaran dengan siapa sosok yang kini mengirim pesan di ponsel suaminya. Bagaikan sesosok maling, Maria segera membuka pesan di ponsel suaminya. Seketika Maria terkejut, hingga keningnya membentuk sebuah kerutan.
"Apa sebenarnya hubungan Benz sama gadis yang bernama Miya ini? Apa Benz cuma mainin perasaan gue?" gumamnya was-was.
Mendengar suara derap langkah kaki, buru-buru Maria meletakkan ponselnya kembali.
"Maaf nungguin lama," ucap Benz, sembari meletakkan segelas minuman di hadapan istrinya.
Maria tersenyum, seakan tak melihat apapun.
Benz mendudukkan bokongnya di samping sang gadis.
"Mae, kamu pernah dengar nggak orang tua di Jawa mengatakan jika 'witing tresno jalaran soko kulino',"
Maria tersenyum. "Lalu?"
"Mungkin itu yang kini kita alami. Aku cuma bisa berdoa, semoga lambat laun kita bersama. Kamu bisa menerima cintaku."
Maria lagi-lagi hanya tersenyum.
"Tapi elo juga jangan pernah lupain satu hal jika 'pupuse tresno jalaran soko wong liyo'."
Sengaja memang, menyindir Benz. Entah mengapa, ia merasa ada yang berbeda di dalam hatinya. Ia benci saat melihat nomor gadis lain menghubungi suaminya. Ia meragukan cinta Benz padanya.
"Artinya apa Mae?"
"Tanyain ke rumput yang bergoyang!"
Benz tersenyum, mungkin yang dimaksud istrinya ini mainan kaktus yang bisa goyang-goyang itu kali, ya. Coba tuh dia translate artinya. Eh, melotot tajam mata tuh cowok setelah tau apa arti dari ucapan yang Maria ucapin barusan.
"Kok elo bilang gitu sih? Gue serius, Mae."
"Iya percaya." singkat Maria, terdengar meremehkan ucapan Benz.
Sedikit lama mereka saling berbincang. Hingga siang menjelang, akhirnya Maria mutusin buat keluar sebentar. Ketemu temen mendadak.
"Gue keluar dulu, bentaran doang .. mau ketemu temen." pamitnya.
"Nggak sekalian ajak gue?" kekeh Benz, siapa tau Maria mau menuruti kemauannya.
"Elo pikir gue emak elo. Keluar aja sendiri!" Maria melenggang pergi. Di sela langkahnya ia berpikir. Kenapa Benz seakan hanya menginginkan sesuatu darinya?.
Sepepergian Maria, Benz meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Membuka kotak pesan chat, dan melihat mantan ceweknya mengirimkan pesan bertubi-tubi padanya. Sosok cewek itu marah, kenapa Benz hanya membaca pesannya? Tanpa membalas. Sedang Benz tak merasa jika dirinya membaca pesan Chatnya. Jangan-jangan ...
Benz membolakan kedua bola matanya. Jangan bilang jika Maria membuka pesan chatnya?!. Benz mengusak rambutnya kasar, ia takut jika Maria mikir macam-macam terhadapnya.
Malam ini, Benz menemui mantan kekasihnya- Miya. Di sebuah taman tak jauh dari tempat tinggalnya. Rasanya sedikit memberi pelajaran pada gadis itu menyenangkan, ia penat hanya berada di dalam rumah besarnya saja, sendirian pula. Sekalian bertemu dengan teman-temannya juga nanti.
Maria yang baru saja pulang, dan kini tengah membaca n****+ di dalam kamarnya, sempat terkejut. Karena tiba-tiba ada yang menghubungi dirinya tanpa ada nomor dari sang penghubung.
Sosok itu mengatakan jika Benz sekarang tengah berkencan di sebuah taman. Yang mana hal itu membuat Maria semakin sakit hati. Ia memutuskan untuk pergi ke tempat tersebut.
Maria tak ingin sendirian, ia mendial nomor temannya, untuk menemaninya pergi ke taman di mana Benz berada.
Tak lama sosok cowok datang dan langsung mengantarkan Maria.
"Ram, nanti elu pura-pura jadi cowok gue, ya!"
"Jangankan pura-pura, jadi pacar sungguhan aku mah setuju aja." kekeh lelaki yang kerap Maria panggil dengan sebutan Rama itu.
Maria tertawa, ia sudah menganggap Rama sebagai temannya. Namun tak tau dengan pemuda itu.
"Aku terlalu jahat buat pacaran ama kamu. Kamu tuh pantasnya pacaran ama ukhti. Bukan sama cewek blangsakan kek aku."
"Tapi aku suka sama cewek kek kamu. Aku tau, kamu tuh baik orangnya."
"Nggak usah sok tau. Aku nggak sebaik yang elo kira."
Tak berapa lama mereka sampai di taman. Sedikit berjalan-jalan, mencari keberadaan Benz.
Maria berdiri di tempat. Saat melihat segerombolan pemuda tengah berbincang tak jauh dari tempatnya berdiri. Dan lagi, satu sosok pemuda yang sangat Maria kenal. Terlihat tengah merangkul tubuh seorang wanita, yang tidak terlalu cantik. Tubuh pendek, astaga. Cantikan Maria kemana-mana. Maria merasa tak asing dengan sosok wanita itu. Yah, dia Miya. Jadi bener dugaan Maria selama ini, kalau Benz cuma nganggep hubungan mereka sebuah candaan nggak penting. Oiya .. bukankah memang begitu adanya?
Maria merepalkan kedua tangannya.
"Ada apa Mae?" tanya Rama, merasa aneh aja dengan apa yang terjadi pada Maria tiba-tiba. Rama menatap apa yang membuat gadis di sampingnya ini kesal. Tepat di kejauhan sana ia melihat segerombolan anak muda, di sana juga ada Benz. Yang Rama heran, kenapa Maria harus kesal melihat sosok itu?.
" Mae, kenapa kamu terlihat kesal?"
Maria segera menetralkan ekspresinya. Aduh, jangan sampai sikapnya mengundang kecurigaan.
"Enggak, cuma aku tuh, nggak suka kalau nanti anak-anak itu ketahuan sama pihak satpol pp. Misal tiap hari pergi ke tempat seperti ini bersama dengan seorang gadis. Pasti banyak yang ngira mereka bakal ngapa-ngapain, di tempat terbuka pula." alasannya.
Rama mengangguk, membernarkan apa yang gadis ini katakan.
"Kalau begitu biar aku yang menegur mereka." Rama memutuskan buat pergi ke arah kerumunan anak muda di sana. Maria cuma ngangguk, dia senang karena ada yang hancurin hubungan Benz sama tuh cewek ganjen. Tanpa tahu jika Benz cuma pengen jebak Miya, biar dia nggak lagi di kejar sama tuh cewek.
"Ehem!" dehem Rama, Rama emang dewasa banget orangnya.
Mereka semua terkesiap kaget.
"Eh, Bangke!" reflek salah satu dari mereka. Begitu juga dengan Benz. Berpikir, nih orang perasaan ada dimana-mana. Sebenernya sia tuh manusia apa jelangkung sih? Heran. Kebetulan Benz kenal siapa Rama, hanya saja nggak kenal-kenal banget cuma sekedar mendengar nama pemuda itu aja.
"Kenapa lu?" tanya Benz, males banget kalau inget tuh cowok katanya inceran banyak cewek.
"Kamu itu, sudah dewasa harusnya tahu tempat untuk berbuat m***m itu di mana!"
“Elu tuh banyak bacot yak! Kenal kagak, emang apa urusan elo, hah?! mau gue m***m di tengah lapang pun itu urusan gue, bukan elu!”
Rama menggerutu kesal. "Ok, terserah kalian ... jangan sampai kalian nyesel dengan apa yang sudah kalian perbuat saat ini.” peringat Rama sembari menyunggingkan sebelah bibirnya.
Rama kembali mendekati Maria, sedikit aneh dengan pemuda itu, sedari tadi dia mandang Maria dengan tatapan yang sulit banget buat diartikan. Maria sedikit merasa takut terhadap Rama. Pemuda itu begitu berbeda, obsesi terhadap dirinya terlalu tinggi. Hingga membuat pemuda tersebut rela menghalalkan segala cara untuk memiliki Maria. Entahlah ... mungkin hanya perasaan Maria saja.
"Gue harus bagaimana? Pokoknya gue nggak mau tau. Gue harus bisa jauh dari cowok gila ini." ujarnya dalam hati.
.
.
TILULITT ... TILULITT ...
Ponsel Maria itu berbunyi.
"Siapa sih yang telpon pagi-pagi gini? Gak da akhlak emang!"
Maria hanya membaca nama yang tertera di layar ponselnya. Tanpa ada maksud untuk menjawabnya.
"Males gue," ucapnya, sembari melempar benda pipih itu ke kasurnya.
Namun lagi-lagi ponsel itu kembali berbunyi. Tapi kali ini hanya pesan chat saja. Maria membaca isi pesan di ponselnya. Dan selanjutnya bergegas ganti baju. Hari ini libur, jadi Maria memutuskan untuk menerima tawaran dari sosok yang menghubunginya. Sosok pemuda yang tak lain adalah Rama . Daripada suntuk di rumah, Benz juga lagi keluar entah kemana, nggak pamit juga.
Tak lama kemudian pemuda itu sampai ke apartement Maria.
"Udah siap belum?" tanyanya.
"Udah, mau kemana sih?"
"Ikut aja ayok! Nanti tau sendiri." sahut Rama, menepuk jok motornya.
Maria menghela napas malasnya, kemudian menaiki motor pemuda tersebut.
Beberapa saat kemudian, akhirnya mereka berdua sampai di tempat tujuan.
Sebuah perbukitan kebun teh yang terlihat begitu indah.
"Wahhh ... estetik banget woee!!!" teriak Maria. Kagum akan keindahan pemandangan di sana.
"Kamu suka nggak? Ini kebun milik papa aku!"
Kedua mata Maria berbinar.
"Elo seriusan?!"
"Em," gumam Vero.
"Maria" panggil pemuda itu.
"Em? Apa?" tanya Maria, memicingkan kedua matanya. Karena silau akan sinar matahari yang menerpa indranya.
"Aku suka sama kamu."
Seketika senyuman di bibir Maria meredup. Gadis itu mendekatkan dirinya di hadapan pemuda tersebut. Menangkup punggung telapak tangan pemuda di hadapannya.
"Elo tau sendiri kan? Apa jawaban gue." ucap lembut Maria.
Rama tersenyum miris, melepaskan genggaman tangan sang gadis. Terlampau tau, apa jawaban yang dimaksudkan Maria. Pemuda itu beralih mengambil bunga liar tak jauh dari tempatnya berdiri. Merangkainya hingga membentuk sebuah puket bunga.
Rama menekuk satu kakinya dengan satu kaki tertumpu pada lututnya. Menyerahkan rangkaian bunga liar itu kepada gadis yang kini berdiri di hadapannya. Bak drama romansa di film-film.
"Maria! Ku pinang kau dengan bismika Allahumma ahyaa wabismika amuut."
Maria menautkan kedua alisnya.
"Eh! Elo waras kan Ram? Elo nggak gila kan? Gegara gue tolak. Elo ngapain ngucap doa tidur? Mau tidur di sini? Ayok pulang! Tidur di rumah aja, ok!"
Rama memang dikenal alim bocahnya. Namun nggak gini juga, mentang-mentang hapal doa-doa.
Pemuda itu terkekeh kecil, sembari menggelengkan kepalanya.
"Aku tau kok. Aku masih waras, tenang aja."
Maria semakin bingung dibuatnya.
"Lha terus?"
"Karena aku tau, memilikimu dalam hidupku hanyalah sebuah mimpi. Hanya lewat mimpiku, aku bisa menggapaimu. Aku bahagia jika kamu bahagia bersama pemuda lain. Walaupun aku tersakiti, biarlah ... aku rela. Aku bahagia sekedar melihat senyuman indahamu." batin Rama di ujung kalimatnya.
Maria merasa bersalah pada pemuda di hadapannya ini. Namun mau bagaimana lagi? Ia juga tak ingin memberikan harapan palsu padanya. Jika ia menerima Rama dalam hidupnya dan lagi-lagi tanpa cinta. Bukankah semua akan semakin menyiksa?. Rama memang anak orang kaya. Tapi entah mengapa, Maria sama sekali tak ingin menggunakan kesempatan itu untuk mempermainkan pemuda tersebut. Pemuda itu begitu baik padanya.
"Maafin gue, Ram." lirihnya.
Rama tersenyum, menangkup wajah gadis di hadapannya.
"Kamu nggak usah minta maaf. Kamu nggak salah kok. Sekarang kita jalan-jalan lagi yuk!" ajaknya, mengalihkan topik pembicaraan.
Maria hanya mengangguk dan mengikuti pemuda itu pergi.
"Ram. Elo tetep mau jadi sahabat gue kan?"
Rama mengusak poni depan gadis imut itu. "Tentu," singkatnya.
Sedang Benz tengah bersama sahabatnya Roxy. Pemuda itu enggan untuk bertemu dengan istrinya, semenjak kejadian malam itu.
"Elo nggak jalan ama cewek gebetan elo?!" tanya Roxy.
"Lagi nggak mood." sahutnya malas.
"Misal cewek elo jalan ama cowok lain lagi gimana?" pancing Roxy.
Benz termenung, tiba-tiba teringat dengan Maria ada rasa gelisah di dalam hatinya. Bagaimana jika apa yang Roxy ucapakan benar? Bagaimana jika Maria selingkuh darinya?. Pertanyaan-pertanyaan bodoh mulai terngiang di dalam benaknya.
Dengan segera Benz menghubungi gadis tersebut. Mengingat hari ini libur, pasti Maria ada di tempatnya, nggak keluar.
Terhitung sudah tiga kali, Benz menghubungi istrinya itu. Namun tetap tak kunjung ada jawaban. Yang terakhir malah sengaja di rijek oleh sang istri.
"Sialan!" geram pemuda itu. Meremat erat ponsel di tangan kanannya.
Roxy diam-diam mengulas senyum.
"Pasti dia lagi jalan ama cowok lain tuh!" Roxy memanas-manasi Benz.
"Bacot lo!" sentak Benz.
Tanpa berucap apapun lagi, Benz pergi menuju ke rumah mereka berdua. Memastikan jika gadis itu ada di tempatnya atau tidak.
Tak butuh waktu lama bagi Benz untuk sampai di tempat Maria.
TOK ... TOK ... TOK ...
"Maria! Buka pintunya!!" teriak Benz. Ia semakin tersulut emosi, saat mengetahui jika istrinya tersebut tak ada di rumahnya. "Brenggsekk! Elo di mana Mae!" geramnya.
Benz memutuskan untuk mengintai istrinya dari jarak jauh. Ingin melihat, dengan siapa gadis itu pergi?.
Setelah satu jam lamanya Benz menunggu. Akhirnya sosok yang sedari tadi ia tunggu pun datang. Benz menyunggingkan senyum evilnya. "Ternyata elo masih suka main-main di belakang gue."
Maria menuruni motor yang ia tumpangi. Tersenyum manis, ketara sekali jika gadis itu begitu bahagia bersama pemuda tersebut.
"Makasih udah ngajak gue jalan-jalan. Gue seneng banget hari ini." tawa Maria.
"Sama-sama. Aku juga seneng kalau kamu seneng." timbal Rama. Ia menundukkan wajahnya, agar sejajar dengan gadis di hadapannya. Menyelipkan anakan rambut yang menutupi area mata gadis tersebut. Sehingga dari kejauhan terlihat seperti tengah berciuman.
Maria tersenyum malu. "Em, gue masuk dulu ya." ucapnya, yang mana mendapat anggukan dari sang pemuda.
Selepas kepergian Rama.
Benz datang dan masuk ke dalam rumahnya tanpa permisi.
Maria yang tengah mengganti baju, sontak terkejut. Dan segera meraih handuk yang tersampir di gagang lemarinya.
"Elo udah gila ya?! Ini tempat gue! Setidaknya ketuk pintu kek!" marah Maria.
Benz mengeratkan gigi-giginya. Tatapan mata tajamnya begitu menusuk ke arah sang istri.
"Elo udah buat hati gue sakit, Mae!"
DEGG!!!
Hati Maria tersentak kaget, ketika mendengar ucapan Benz yang tidak seperti biasanya. Kenapa pemuda itu terkesan begitu kasar padanya.
"Gue nggak lakuin apa-apa," elak Maria, meringsut mundur.
"Elo penghianat! Gue liat dengan mata kepala gue sendiri. Kalau elo pergi sama cowok lain. Udah habis kesabaran gue buat elo Mae! Gue tanya sama elo ... sudah berapa kali elo dikelonin sama tuh cowok?! Sudah di bayar berapa, elo sama dia?!!" bentak Benz.
Maria tak tahan menahan rasa sakit berkat hinaan dari pemuda di hadapannya ini. Benz begitu merendahkan harga dirinya. Ia benci diperlakukan seperti ini.
"Elo jahat Benz, elo jahat." lirih Maria meringsut duduk di pinggiran kasurnya. Hatinya terlampau perih, hingga terasanya tak mampu lagi untuk sekedar berkata-kata.
Benz mengambil langkah lebar, mendorong tubuh istrinya hingga terlentang di atas kasurnya. Membuang handuk yang kini menutupi area tubuh gadis tersebut.
Maria hanya bisa menangis, tubuhnya terasa lemah.
Pemuda itu sudah diselimuti oleh kabut nafsu. Dengan kasar melepas penutup di area dadda Maria. Hingga menampilkan dua gundukan daging kenyal, berkulit putih begitu menyegarkan mata.
Benz meneguk ludahnya sendiri, nafasnya terasa memburu. Tanpa basa-basi, pemuda itu meremas dan mengulum daging kenyal itu.
"Benz, sakitt ...," rintih Maria. Berusaha mendorong kepala pemuda itu dari area dadanya. Namun bukannya menjauh, Benz justru semakin menggila. Ia bahkan meremas dan menggigit daging kenyal gadis tersebut.
"Benz, jangan kek gini. Ini salah ...,"
Benz semakin emosi, bagaimana bisa Maria bisa berucap benar ataupun salah. Jika nyatanya saja, dia sudah bermain dengan banyak lelaki. Pikir Benz, bertarung dengan otak kotornya.
"Elo udah nggak perawan lagi kan Mae?!" teriak Benz.
Maria tidak menjawab ia hanya bisa menangis sesenggukan.
"Jawab Mae!!" teriak Benz. "Hanya dengan satu cara buat ngebuktiin semuanya."
Maria merobek paksa kain yang menutupi area bawah gadis di kungkungannya. Tanpa aba-aba pemuda itu segera melakukan fingering, dengan memasukkan dua jari besarnya pada lubang sempit milik sang gadis.
Membuat gadis itu memekik kesakitan.
Benz menghentikan aktivitasnya, saat merasakan aneh pada kedua jarinya. Ia berlahan mengeluarkan kedua jarinya dari dalam lubang kenikmatan sang istri.
Kedua bola matanya bergerak gusar, menatap jemarinya yang bergetar.
"Mae e-elo ...--"
Ucapnya tertahan, menatap dua jemarinya yang kini terlihat berlumuran darah.
Maria hanya bisa terisak pilu, merasakan perih dan sakit secara bersamaan. Hatinya hancur, ia teringat pada mendiang sang ibu. Semasa belia hidup, Maria selalu diberi pesan agar menjaga kesuciannya. Lalu, bagaimana bisa ia melakukan hal b***t seperti ini sekarang?.
"Mama ... maafin aku," tangisnya.
Mendengar rintihan Maria, Benz segera meraih handuk yang tadinya ia lempar. Menutupi tubuh naked sang gadis.
"Mae, maafkan aku," sesalnya memeluk tubuh sang gadis.
Benz menyesal dengan apa yang ia lakukan pada Maria. Kenapa dia tidak mempercayai ucapan istrinya itu?. Benz merasa jika dirinya sudah menjadi lelaki b******n seutuhnya.
"Elo jahat Benz!"