18. Berpisah

2083 Words
Maria merasa risih, karena setiap kali harus direcokkan dengan berbagai jenis pemuda yang menurutnya tidak waras. Ia kesal. Hingga gadis itu akhirnya memutuskan untuk bolos kuliah. Namun lagi-lagi ketenangannya harus terganggu, oleh kedatangan sosok pemuda yang entah siapa, ia pun tak tau. "Maria kan?" tanyanya, memastikan. "Iya. Elo siapa?" tanya balik Maria. "Gue mau bicara sama elo, tentang Benz." ucapnya, yang mana membuat Maria mengernyitkan keningnya. Selanjutnya ia mempersilahkan pemuda itu untuk duduk. Maria semakin penasaran dengan apa yang akan pemuda itu katakan. "Sebelumnya kenalin, nama gue temennya Benz." ucapnya sebagai pembuka. Maria mengangguk. Pemuda itu menarik napasnya pelan, sebelum kembali berucap. "Gue selaku sahabat dari Benz. Gue cuma mau meluruskan tentang masalah yang elo sama temen gue hadapin. Gue nggak mau, gara-gara ke salah pahaman ini, elo jadi benci sama Benz. Gue tau, elo mutusin dia gegara vidio unfaedah itu. Gue sadar, ini emang salah gue sama temen-temen gue. Bener sih, awalnya kita buat taruhan dengan objeknya elo sama Benz. Tapi satu hal yang harus elo tau, Benz beneran cinta sama elo. Dia udah ngakuin kesalahannya. Gue harap, elo mau maafin kesalahan dia. Dia benar-benar tersiksa, saat elo mutusin dia. Sampai-sampai dia rela ninggalin negara ini, demi bisa lupain elo." kekeh miris pemuda tersebut. Maria menggigit bibir bawahnya, ia tak kuasa menahan sakit yang menderu di dalam hatinya. Kenapa ia baru mengetahui permasalahannya sekarang? Kenapa tidak dari dulu? Di saat sosok pemuda itu masih ada di dekatnya. Dan sekarang semuanya sudah terlambat. "Dan satu hal yang harus elo tau. Ada orang lain yang sengaja bikin hubungan elo sama Benz hancur." Maria menatap tajam ke arah pemuda di hadapannya. Seolah tatapan matanya siap menusuk sosok tersebut. "Siapa?" "Ray dan Jain." Kedua bola mata Maria membola lebar. Dia tak menyangka jika Ray adalah dalang dari semua apa yang telah terjadi. Benz sudah tak ada lagi, menyisakan luka yang membekas di dalam hati. " Elo punya nomor HP nya Benz nggak? Gue mau minta maaf ke dia." "Sorry, gue nggak punya. Keknya memang Benz sengaja nggak punya HP, atau mungkin dia sengaja nggak ngasih tau. Biar nggak ada yang hubungin dia." Hati Maria terasa tertohok. Sakit banget, ketika rasa penyesalan itu selalu datang di akhir cerita. Kalau awal itu pendaftaran, Maria. Maria menangis sesenggukan, ia benar-benar menyesal. Dan ingin meminta maaf pada Benz, tapi sosok itu bagaikan hilang dari muka bumi. Tak bisa dijangkau. "Maria. Elo nggak usah sedih. Gue percaya, jika kalian di takdirkan buat bersama, suatu saat nanti pasti kalian bakal ketemu lagi." tutur Sona, memberi ketenangan pada sosok di hadapannya. "Kenapa gue bodoh banget? Kenapa gue harus percaya sama video itu? Dan lebih milih buat mutusin Benz." racaunya. "Elo nggak bodoh kok. Semua cewek pasti akan lakuin hal yang sama, sepeti yang elo lakuin." Tak lama terdengar derap bunyi langkah kaki. Mereka menghentikan acara perbincangan. Dan menoleh ke arah pintu, bersamaan. Bagai kerasukan sosok dari negara api rasanya. Tubuh Maria terasa terbakar, saat melihat sosok lelaki yang kini terlihat tengah berdiri di ambang pintu tempat tinggalnya. Dengan senyuman tergaris apik di bibirnya. Namun Maria serasa ingin menampar wajah sok polos itu. Siapa dia? Jika bukan Ray. Sosok yang masih hangat diperbincangkan. Pemuda itu masuk ke dalam ruangan tempat Maria dan temen Benz duduk. "Elo di sini?" tanyanya basa-basi menunujuk ke arah lelaki yang sedang sama Maria. "Menurut elo?!" sahut pemuda itu dengan nada ketusnya. Maria masih diam, tak ingin mempersilahkan pemuda itu untuk duduk terlebih dahulu. Ia sibuk berperang dengan hati dongkolnya. Ray beralih menatap ke arah Maria. Yang sedari tadi hanya berdiam durja. "Maria. Ini buat elo." ucapnya lembut, sembari menyodorkan serangkaian bunga mawar putih ke arah sang gadis. Maria berdiri dari tempat duduknya. Ia tersenyum, sangat manis. Berlahan mengambil bunga yang disodorkan Ray untuknya. Meraih rangkaian bunga itu, dan mencium aroma semerbak dari bunga berwarna putih tersebut. "Kok baunya busuk, ya?" titah Maria, nyengir jijik. Ray tentunya terkejut dengan apa yang Maria katakan. Nggak mungkin dong bunganya berbau busuk, lagian itu masih fresh baru ia beli. "Masa sih?" Ray meraih bunga tersebut dari tangan Maria, dan mencoba mencium aroma bunga tersebut. Tak ada yang berbeda, baunya tetap sama, seperti bau bunga pada umumnya. "Enggak kok Maria. Ini wangi." ucapnya. Maria mengangguk. "Apa mungkin bunganya ngerti yang bawa siapa ya?" sindirnya. "Maksud elo?" Ray butuh penjelasan. "Ya, karena yang bawa berhati busuk. Jadi nular ke bunganya." sindir Maria lebih menusuk. "Bentar. Ini maksudnya apa sih, Maria? Gue bener-bener nggak ngerti yang elo omongin." "Yakin elo nggak ngerti? Atau cuma sok berlagak blo'on?" "Maria. Langsung aja jelasin, biar gue paham apa yang elo maksud." jengah Ray. Maria mengeratkan gigi-giginya, sungguh ia benar-benar marah pada pemuda di hadapannya ini. "Kenapa elo tega lakuin hal itu pada Benz? Elo tuh tega ya ama gue, bisa-bisanya elu sekongkol ama Jain? Gue nggak habis pikir, kenapa elo tega jatuhin temen elo sendiri." Ok! Sekarang Ray ngerti arah pembicaraan Maria. Ternyata semua ini menyangkut tentang apa yang ia perbuat pada Benz. "Oh, jadi elo udah tau." ucapnya, kelewat santai. Membuat Maria semakin naik pitam. "Apa tujuan elo ngelakuin hal itu ke gue ama Benz, elu tau kalau gue ama Benz saling mencintai?" tanya Maria, seraya bersedekap d**a. Ray menyunggingkan sebelah bibirnya. "Karena gue nggak suka kalau dia deketin elo. Dia nggak pantas bersanding sama cewek sebaik kamu. Dia cuma b******n. Elo tuh pantasnya cuma bersanding sama cowok baik-baik seperti gue." PLAKK!!! Sambutan dari telapak tangan Maria, mengakhiri ucapan tak bermutu pemuda bernama Ray itu. Sontak Pemuda itu membolakan kedua bola matanya. Ia tak percaya sekaligus malu, apalagi sosok lelaki yang sedari tadi duduk di sofa terlihat menertawakan dirinya. "Elo berani nampar gue? Selama ini nggak ada cewek yang berani berbuat kasar sama gue!" emosi Ray. Maria mengangguk sombong. "Jadi gue pemecah rekor dong? Karena berhasil nampar wajah elo untuk yang pertama kalinya." "Sialan lo!" Ray mengangkat tangannya tinggi-tinggi, siap membalas tamparan Maria. Jika saja! "Eitt!!! Jangan beraninya ama cewek Bro .... Elo nggak malu apa? Kek banci aja, main kasar sama cewek." cibir lelaki di samping Maria yang sudah menghalau tangan Ray, menurunkan tangan kanan Ray kasar. Ray menggerutu kesal. Ia malas berdebat, lebih tepatnya takut. Dan lebih memilih pergi dari tempat tersebut. Maria berseringai, berlahan mengambil bunga yang tergeletak di atas mejanya. Kemudian membuangnya ke dalam tong sampah. "Nyampah doang di rumah orang," gumamnya. "Oiya, gue pamit pulang dulu ya! Masih ada urusan, dikit. Kalau ada apa-apa, elo bisa hubungin gue." Pemuda tadi menyodorkan kartu namanya pada Maria. "Makasih ye! Elo dah baik sama gue." ucap Maria. Pemuda itu mengangguk. "Nggak apa-apa, temen Benz juga temen gue." Maria meluruhkan tubuhnya. "Elo lagi ngapain Benz, sekarang?" tanyanya, pada udara kosong. Berharap udara itu bisa menyampaikan pesan sesalnya pada Benz di negeri asalnya Jepang. . . Benz tengah sibuk bekerja di sebuah perusahaan milik sang kakek. Pemuda itu terlihat semakin tampan dan juga dewasa. Tidak lagi konyol seperti Benz yang dulu. "Benz, tar malem dateng ke studio musik yuk!" ajak salah satu temannya. Benz hanya mengangguk, ia juga merasa penat sebenarnya. "Cuma kita berdua doang?" tanya Benz kemudian. "Gue ngajak si Yora, noh yang kerja di restouran sebelah. Biar elo nggak mikirin mantan mulu." Benz hanya menggeleng kecil. "Dia nggak bakal bisa ada yang gantiin di hati gue." Malam pun tiba. Sesuai dengan yang direncanakan. Kini Benz sudah siap bersama teman-temannya. "Gue jemput si Yora dulu ye. Nanti gue nyusul, elo duluan aja." tutur salah satu teman Benz yang bernama Mark itu. Kebetulan tuh cowok sama-sama dari indo, temen Benz dari sana yang ikutan ke Jepang. Semua mengiyakan permintaan Mark dan bergegas pergi ke tempat studio musik tersebut. Sesampainya di sana. Benz dan kawan-kawannya segera mengambil posisi. Di bagian drummer, keyboard, gitaris dan lainnya, sedang Benz di posisi vocalis. "Si Mark lama amat yak?!" kesal salah satu pemuda di sana. Tak lama yang ditunggu pun akhirnya datang, bersama dengan seorang gadis cantik berhijab. Gadis itu tersenyum, namun tatapan matanya tertuju pada pemuda yang berdiri di belakang mikrofon di sana. "Cepet ambil posisi elo! Biar kita cepet mulai." sergah salah satu pemuda. Dengan cepat Mark mengambil posisinya. Sedang Yora sebagai vocalis. "Pen nyanyi apa lo Benz?" tanya Mark yang juga mahir bahasa Indonesia. "Gue lagi pen lagu melow." sahutnya lesu. Ingatannya tiba-tiba melambung pada gadis di negara Indonesia. Mark seakan sudah mengerti dan langsung saja memainkan musik pengiringnya. Benz memejamkan kedua matanya, membayangkan bagaimana rasa sakit saat terkahir kali ia bertemu dengan Maria. Saat gadis itu memutuskan dirinya, rasa itu masih begitu membekas di hatinya. Ditambah alunan musik sedih yang terdengar, semakin membuatnya sakit. Benz memulai mengambil suara dan menyanyi lagu kesukaan dia sama Maria. Benz tak sanggup lagi melanjutkan nyanyiannya. Pemuda itu terisak, dadanya gemuruh sakit. Bahkan tubuhnya terasa lemas, hanya sekedar mengingat sang mantan kekasih. Kakinya terasa kelu, hingga tak sanggup menopang berat badannya. Tubuh bergetar itu merosot ke bawah, tertumpu pada kedua lututnya. Dengan kedua tangan memegang erat batang mikrofon di hadapannya. Sembari mengatukkan keningnya dengan batang besi tersebut. Hanya isakan lirih yang terdengar dari bilah bibir pemuda itu, saat ini. Iringan musik mendadak berhenti, tergantikan kesunyian ditemani tangisan sedih, seorang Benz Bamantara Tsugiono "Maria ... gue rindu sama elo." isaknya. "Benz. Elo harus sabar. Gue yakin, elo bisa lupain Maria. Masih ada cewek lain yang bisa nerima elo setulus hati." timbal Mark. "Elo nggak ngerti gimana perasaan gue. Gue nggak bisa berpaling dari Maria. Gue cinta mati sama dia." "Apa dia juga cinta sama elo? Siapa tau sekarang Maria udah punya pengganti elo." kini Yora yang berucap. Ada maksud terselubung di balik ucapan menenangkan dari bibir gadis itu. Benz tak menghiraukan ucapan para teman-temannya. Otaknya terasa kacau saat ini. Rindu terhadap gadis di sebrang lautan sana, membuatnya tersiksa. Seakan rasa sakit itu sengaja menertawakan nasibnya. "Benz, kita pulang aja ya ... gue yang akan temenin elo." tawar Yora. Benz hanya mengangguk, mungkin gadis ini bisa membuatnya sedikit tenang. Batinnya. Mereka semua pun memutuskan untuk pergi dari tempat tersebut. Kini Benz sudah berada di sebuah wahana pasar malam, bersama Yora tentunya. "Elo orang mana?" tanya Benz. "Gue orang indo juga tapi udah menetap di sini. Kalau elo?" sahut gadis itu. "Gue orang asli sini, cuma pernah lama tinggal di Jakarta." sahut Benz kemudian. "Kenapa elo bisa datang ke sini?" tanya Benz selanjutnya. Yora tersenyum. Dan menjawab. "Gue bukan dari kalangan orang berada. Gue pengen ngubah nasib gue, gue pengen ayah sama ibuk gue bahagia." Benz tersenyum tipis, salut dengan pemikiran dewasa gadis di sampingnya ini. "Kalau gue, cuma mau hindari kenyataan." kekeh Benz. "Elo bener-bener mencintai mantan elo itu, ya?" "Sangat. Dia cewek satu-satunya yang bisa buat gue patah hati." tawa miris Benz, ia berpikir, mungkinkah ini karma karena ia dulu suka mainin hati cewek?. Hah, rasanya Benz kapok ngerasain jatuh cinta. Apa dia harus ngaktifin mode playboy cap kecoa-nya lagi ya? Biar nggak sakit-sakitan nih hati. Biar hati sehat walafiat. Kek nya harus gitu deh, baru saja mikir kena karma. Dan sekarang mau ngulang kesalahan yang sama lagi, dasar Benz. "Beruntung banget tuh cewek, bisa di demenin ama cowok setampan elo. Kalau gue jadi dia, gue nggak bakal sia-siain elo," modusnya. Benz tak bodoh untuk tak menangkap ucapan gadis di sampingnya ini. Dia mantan playboy yang sekarang mau kambuh lagi, guys. Jadi jangan salahkan Benz, jika dia terlampau hafal dengan berbagai sifat seorang keturunan hawa ini. "Elo mau gantiin dia?" tanya Benz. Beginilah cara pemuda itu untuk mengecek bagaimana sifat seorang gadis. Jika gadis itu langsung mengucap 'iya' artinya gadis itu gampangan. Jika gadis itu jual mahal, artinya gadis itu sulit untuk didapatkan. Yora tersenyum ke arah Benz. Ia merasa bangga bisa memenangkan perasaan Benz. Dengan senang hati gadis itu menjawab. "Iya, gue mau. Gue janji, bakal jaga perasaan elo. Gue nggak akan buat elo kecewa." ucap gadis itu menggebu. Seketika senyuman Benz memudar, digantikan dengan raut wajah malas. "Em," Benz mengangguk satu kali, seraya berpaling muka. "Mulai saat ini kita pacaran ya!" seru gadis itu. "Em," lagi-lagi hanya gumaman yang Benz lakukan. "Gue mau pulang. Pen tidur, capek." ucap pemuda itu selanjutnya. Sejujurnya ia sudah malas dengan gadis ngeyel ini. Benz berdiri dari tempat duduknya. Dan kemudian melangkah pergi, diikuti gadis yang sekarang menjadi kekasihnya itu, di belakangnya. Yora memandang telapak tangan Benz, berharap jika pemuda itu akan menggandeng telapak tangannya. Namun tidak, Benz justru memasukkan kedua telapak tangannya ke dalam saku celananya. Alhasil Yora merasa kecewa, namun ia tak hilang akal. Dengan berani, gadis itu merangkul lengan Benz. Menempelkan kepalanya di pundak kanan pemuda tersebut. Benz mendengus kesal, ia sebal dengan gadis ini. Tidak biasanya ia merasa risih, jika dekat dengan seorang gadis. Tapi, kalau gadisnya modelan kek gini. Sudah jelas Benz muak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD