Maria tetap melanjutkan aktifitasnya, mengambil barang-barang yang perlu ia bawa pulang. Dia memutuskan untuk kembali ke rumah sang ayah. Mengabaikan pertanyaan pemuda yang sedari tadi mengekor di belakangnya.
"Mae! Jawab pertanyaan aku. Kenapa kamu bisa begini? Pasti ada yang tidak beres."
Maria menghentikan langkahnya. Dan mengambil amplop yang tergeletak di atas meja nakasnya. Memberikan benda tersebut pada Benz.
"Liat ini! Sekarang elo pulang! Dan jangan ganggu hidup gue lagi. Elo kan udah dapet apa yang elo inginin. Kerja bagus Benz. Gue akui, elo emang tampan. Rajanya cowok b******k!" bentak Maria.
Benz terdiam, ia masih mencerna perkataan gadis yang masih menyandang sebagai kekasih sekaligus istri boongannya ini.
"Maksud kamu apa Mae?"
"Elo masih nggak ngerti juga? Ok! Kita Udah nggak ada hubungan lagi selain sebagai pasutri boongan. Jangan pernah mengusik hidup gue lagi!" final Maria.
Bagaikan terhantam bongkahan batu beton di pagi hari. Tubuh Benz terasa melemas, kedua kakinya terasa tak mampu untuk menyangga berat tubuhnya. Hingga membuatnya terhuyung jatuh di atas lantai. Tertumpu pada kedua lutut kakinya. Perkataan Maria bagaikan kejutan buruk untuknya, baru tadi malam mereka bersama. Menghabiskan waktu indah mereka berdua. Dan pagi ini tiba-tiba saja kata 'Pisah' yang gadis itu lontarkan. Sakit mana lagi yang tidak Benz rasakan?. Dia sudah memutuskan untuk menjadi cowok baik-baik. Memutuskan semua gebetannya demi Maria. Tapi apa hasilnya? Maria justru menjauh. Dan memutuskan hubungan dengannya.
Benz mendongakkan kepalanya, menatap sendu sosok gadis yang berdiri dihadapannya.
"Mae, jangan mutusin aku. Aku sayang sama kamu. Aku serius sama kamu. Bukankah kita pernah berjanji bakal nikahin kamu beneran, suatu hari nanti? Tapi kenapa sekarang kamu mengakhiri hubungan kita? Aku benar-benar tulus, cinta sama kamu. Aku rela bersujud di hadapan kamu, asal kamu mau nerima aku dalam hidup kamu."
Maria meledakkan tangisannya, hatinya kembali teriris perih. Kenapa pemuda ini selalu membuat hatinya di lema? Sebenarnya Benz itu makhluk yang bagaimana? Kenapa sulit sekali untuk di mengerti akal sehat?. Ingin ia percaya dengan ucapan pemuda itu, tapi ingatan tentang video di mana Benz tertawa bangga, masih terngiang di dalam otaknya. Yang mana semakin membuat hatinya sakit.
"Elo nggak usah lakuin itu. Gue bukan Tuhan yang patut buat elo sembah. Berikan sujud elo pada yang kuasa, bukan ke gue. Mulai detik ini, hubungan kita berakhir Benz. Gue udah mutusin buat nggak mengenal arti cinta lagi. Cinta hanya buat diri gue semakin tersiksa. Gue harap, elo ngerti apa yang gue inginin."
Benz menangis sejadinya, baru kali ini ia menangis hanya karena seorang gadis. Malu? Tidak, karena Benz benar-benar merasa sakit.
"Mae, aku udah berjanji sama kamu. Kalau aku bakalan tanggung jawab sama apa yang udah aku lakuin ke kamu."
"Benz! Dengerin gue! Elo lupain tentang apa yang udah terjadi pada kita berdua. Gue nggak nyuruh elo buat tanggung jawab sama gue. Jadi, elo lupain aja semua apa yang udah terjadi. Tentang tanggung jawab elo, udah gue lupain. Gua nggak butuh semua itu. Lagi pula kek abis ngapain gue aja lo. Pakek tanggung jawab segala. Elo belum ngelonin gue, jadi nggak usah tanggung jawab." ucap Maria santai, meski hatinya justru sebaliknya. Sakit tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Benz kembali ke apartemen pribadinya.
Dengan segera ia menyetel CD yang baru saja Maria berikan.
Benz tertegun, ia ingat, dengan kejadian ini. Di mana awal dirinya mendapatkan Maria. Semua benar, dirinya membuat taruhan dengan teman-temannya diluar keinginan dirinya sendiri. Tapi sekarang semua sudah berbeda, dia benar-benar jatuh cinta pada gadis tersebut. Semua sudah berakhir, Maria sudah pergi meninggalkan dirinya.
"Pasti hati elo sakit banget Mae. Gue emang b******k, tapi gue juga sakit di sini. Gue cinta sama elo, Mae." isak pemuda itu kian semakin menjadi.
Benz menghapus air matanya, kasar.
Ia segera mendial nomor para sahabatnya. Dan menuju ke markas mereka.
Sesampainya di tempat tersebut.
Benz langsung mendudukkan tubuhnya di kursi yang sudah ia taruh di atas meja, bak seorang raja. Raja bobrok lebih tepatnya.
Dengan tatapan tajam, bak seekor elang tengah mengintai mangsanya. Benz memperhatikan satu-persatu para sahabatnya.
"Gue tanya sama elo pada. Siapa yang udah berani ngerekam percakapan kita berapa bulan yang lalu?!" tanya pemuda itu to the poin.
Semua sahabat Benz hanya saling pandang. Mereka tidak mengerti dengan apa yang Benz ucapkan.
"Rekaman apaan sih Benz?! Kalau rekam saat elo c**i di kamar mandi sih ada." celetuk salah satu sahabatnya.
Benx semakin kesal, bukan rekaman itu yang ia maksudkan.
"Apaan sih lo! Bukan rekaman itu yang gue maksud."
"Jadi apa Benz? Apa ...? Cepat katakan pada kita semua! Biar kita paham, biar kita ngerti apa yang tengah engkau risaukan wahai sahabatku ...," ucap dramatis salah satu teman Benz.
Benz mengusak rambutnya kasar, gini amat yak nasip punya temen kagak ada yang waras. Benz jadi berpikir, keknya nggak mungkin deh kalau sahabat bobroknya ini yang ngerekam. Dan ngasih tuh rekaman pada Maria. Terus siapa kalau gitu? Pasti ada pihak orang luar, yang sengaja lakuin hal itu. Dengan tujuan ngehancurin hubungan mereka. Tapi siapa?? Aishh!!! b******k!. Benz mengumpat dalam hati. Di balik dirinya yang terpandang sebagai dosen tampan di sisi lain tersimpan sosok Benz yang punya geng bobrok.
"Emangnya ada apaan sih Benz? Jangan bilang kalau ada yang nyebarin video panas elo!"
"Weih keren!! Berapa detik Bro! Jangan cuma 19 detik kek mbak artis itu. Elo harusnya bisa lebih panjangin durasinya."
Anjim bat dah nih temen, nggak ada yang bener.
"Bisa diem nggak?! Pada ngeselin ya lu pada. Mana ada gue video laknat kek gitu. Gue Benz Bamantara Tsugiono, bakal menjaga keperjakaannya buat calon istri gue nanti." mantap pemuda itu, menekankan setiap katanya.
Disambut tepuk tangan riuh dari sang sahabat.
"Wuihhh ... keren!!"
Nah kan pada absurd bin bobrok.
"Benz ! Benjol ... coba deh cerita ama kita. Jan ghosting kek jamet gini. Biar kita bisa bantuin elo. Gini-gini kita juga manusia yang berguna, berbudi pekerti, bermartabat, berpendidikan ...--"
"Terus aja bacot ampek gue lumutan dengernya!" potong Benz.
Sosok pemuda yang berucap tadi hanya terkekeh geli.
"Sorry, canda gue. Yaudah, sekarang cerita gih, bakal kita dengerin dengan seksama, dan penuh perhatian."
"Ok! Gue cerita ye! Jan pada ada yang motong ucapan gue."
Semua hanya diam.
"Kok elo pada diem? Jawab iya kek." emosi Benz.
"Lah tadi elo kan bilang, kagak ada yang boleh motong ucapan elo."
Iya juga ya ... bener apa kata sahabatnya ini. Eh, kok Benz mendadak ikut o'on gini sih?.
"Jadi gini ...," Benz mengambil napas dalam.
"Oh begitu ...."
"Anjir gue belom mulai cerita Bambang!!! Gag jadi cerita ah gue, mau ngambeg aja." Benz bersedekap d**a, bak gadis lagi ngambeg.
"Nah kan ... dah persis jamet lampu merah." cerca salah satu sahabatnya.
"Abisnya kalian nggak pernah serius sih."
"Iya-iya ... maafin kita ye, Mas Benz Bamantara Tsugiono yang tampan seantero jagat raya, nggak ada tandingannya. Sekarang mulai ceritanya, gue penasaran bangetthh pakek H."
Benz memasang raut wajah seriusnya. Dan mulai bercerita.
"Jadi, gue diputusin Maria." mulainya.
Semua pemuda yang ada di sana tak berani menyela, mereka hanya membekap mulutnya masing-masing.
"Dan kalian tau? Kenapa alasan Maria mutusin gue? Semua gara-gara video ini." Benz mengambil remot dan menekan tombol play, hingga muncul gambar vidio di layar TV, yang berada di samping mereka.
Sontak mereka terkejut bukan main, bagaimana bisa ada yang merekam percakapan mereka?.
"Dan yang jadi masalah di sini. Siapa dari kalian yang berani ngerekam percakapan kita?!" lanjut Benz, mengintimidasi.
Semua saling menukar pandang. Dengan menghedikan kedua bahu mereka.
"Kami nggak ada yang ngelakuin itu, Benz. Lagipula buat apa? Nggak ada faedahnya."
"Kami berani bersumpah demi langit dan bumi beserta isinya, kalau kita benar-benar nggak ngelakuin hal itu. Kita udah sahabatan sejak lama."
Benz mengangguk, ia percaya pada para sahabatnya.
"Gue masih penasaran, siapa sebenarnya orang yang berani main di belakang gue?" Benz menerka-nerka.
"Benz! Elo punya temen lain nggak? Selain kita. Yang tau markas kita, dan dia deket sama elo?" tanya salah satu teman Benz, terlihat begitu serius.
"Jain. Tapi nggak mungkin dia ngelakuin hal itu. Dia baik sama gue, dan untuk apa dia lakuin hal itu?" Benz menolak percaya.
"Elo! Hanya satu alasan orang itu menghancurkan hubungan elo. Ingin elo hancur dan ngambil alih elo dari Maria!" analisisnya.
Emang bener para sahabat Benz kelewat bobrok. Tapi jika masalah menganalisa, mereka jago.
Benz membelalak lebar.
"Apa mungkin Jain masih punya rasa ama gue?"
"Benz! Jangan terlalu percaya sama orang lain. Banyak jaman sekarang serigala berbulu biri-biri."
"Domba, ogeb!" instruksinya.
"Di sound the sheep kan serigala berbulu biri-biri."
"Cie yang tontonannya film anak-anak ...."
"Dah ah, gue mau cabut." ucap Benz, malas mendengarkan candaan tak bermutu dari teman-temannya.
Selepas kepulangan Maria ke kampung halamannya.
Maria pikir, dengan jauh dari Benz. Maka bayangan pemuda tersebut akan ikut menjauh. Tapi nyatanya tidak, justru semakin ia menjauh dari Benz, bayangan pemuda itu semakin dekat dengan dirinya. Bahkan jadi penguasa di dalam otaknya. Senyumnya, recehnya, tampannya. Semua tergambar jelas di dalam otak Maria. Rasanya ingin ia restart isi otaknya jika saja bisa.
"Benz ... pergi dari otak gue!" ucapnya, seraya memukul kecil kepalanya sendiri.
"Aku nggak akan pergi kemana-mana Mae!" suara Benz jelas terdengar di pendengaran Maria.
"Elo nggak puas ya? Udah menuhin otak gue. Dan sekarang suara elo mau menuhin telinga gue. Emang b******k ya elo!" umpat Maria. Ia berpikir jika itu hanya halusinasinya saja. Tak sadar jika yang berucap tadi benar-benar sosok Benz. Yang kini sudah berdiri di belakangnya.
"Karena aku nggak akan pergi dari hidup kamu Mae!"
Ok! Ini bukan lagi halusinasi. Maria diam membatu. Dengan segera ia menoleh ke arah belakang. Yang kini terpampang nyata sosok Benz Bamantara Tsugiono.
"Benz?!" beo Maria tak percaya. Bagaimana bisa pemuda ini sudah ada di rumahnya? Perasaan ia tak pernah memberi alamat pada pemuda ini? Gumam Maria, bingung.
"Elo tau alamat rumah gue?" tanya Maria lagi, dengan raut cengonya. Sudah jelas pemuda itu ada di rumahnya. Tanpa dijelaskan pun sudah pasti pemuda ini tau alamat rumahnya.
"Mae. Tanya yang lebih sulit deh! Pertanyaan kamu mudah banget buat aku jawab. Alamat rumah kamu di planet lain pun akan aku temuin, jangankan cuma satu kecamatan."
Maria meneguk ludahnya, ia mencoba menetralkan ekspresinya dalam mode cuek.
"Ngapain elo ke sini?!" ketusnya.
"Mae. Udah aku bilangin kan. Tanya yang lebih sulit lagi. Aku ke sini ya jelas-jelas nyariin kamu lah. Masa iya aku nyariin bapak kamu."
"Benz. Nggak usah basa-basi deh. Langsung aja! Elo mau ngomong apa?!" jengah Maria.
"Mau minta maaf sama kamu, sekalian mau ngajak balikan kalau mau."
Maria sedikit membuka mulutnya hingga membentuk huruf O.
"Enggak! Gue enggak mau balikan sama elo."
"Ya udah kalau nggak mau. Aku boleh ketemu sama bapak kamu nggak?"
"Buat apa???"
"Udah pokoknya aku mau ketemu. Sekalian minta ijin."
Maria semakin tak mengerti dengan apa yang pemuda itu ucapkan.
"Ijin apaan?"
"Urusan antara aku sama kedua orang tua kamu. Kamu nggak perlu tau, masih kecil."
"Anjir lo! Pergi pulang sono! Buang-buang waktu gue aja!" usirnya.
Namun tiba-tiba sosok wanita paruh baya keluar dari dalam kediamannya. Sosok wanita yang tak lain dan tak bukan adalah pelayan pribadi Maria yang udah dia anggap sebagai ibunya sendiri semenjak sang ibu sudah tiada.
"Loh, ada temannya kok nggak disuruh masuk?" tanyanya ramah.
"Bukan temen kok Bi. Cuma orang nyari sumbangan doang!" ketusnya.
Ibu angkat gadis itu mendekatkan dirinya kearah pemuda tersebut.
"Bener Nak? Kamu nggak kenal sama Maria?" tanyanya lagi.
Benz tersenyum tipis dan meraih telapak tangan wanita tersebut. Mencium punggung telapak tangannya. Dan berkata.
"Saya mantan pacar Maria dan calon suaminya kelak." Padahal mah udah nikah.
Maria memelototkan kedua bola matanya. Sialan nih orang. Batinnya.
"Bukan Bi! Jangan percaya sama dia!" elak Maria.
Benz tersenyum ramah ke arah sang bibi. Tanpa menghiraukan ucapan gadis di sampingnya.
Wanita itu hanya tersenyum dan meminta Benz untuk masuk ke dalam rumahnya. Sedang Maria memilih berdiam diri di luar rumah.
Hampir tiga puluh menit lamanya, Benz berbincang dengan pelayan Maria. Entah apa yang mereka bicarakan, Maria tak mau tau.
Tak berapa lama Benz keluar dari kediaman Maria. Dan menghampiri gadis itu.
"Mae. Aku pulang ya ...," pamitnya.
"Ya udah. Dari tadi kek!" sinisnya, mengibaskan tangannya, pose mengusir.
Benz mengangguk tanpa berucap sepatah katapun. Membuat Maria mengernyitkan keningnya. Sebenarnya ada apa dengan Benz? Kenapa dia terlihat sangat sedih? Gumamnya.
Maria menatap kepergian Benz. Kenapa ia merasa kesepian? Ia benci jika pemuda itu ada di dekatnya. Tapi ia juga tak ingin pemuda itu menjauhi dirinya. Sungguh sulit pemikiran Maria untuk ditebak.
Pelayan Maria menghampiri putri angkatnya.
"Tadi Bibi ngomongin apa sama tuh anak?" tanyanya penasaran.
"Nggak ada, Nak Benz cuma mau pamitan." sahut sang ibu.
Maria menolehkan kepalanya cepat.
"Pamitan? Kek mau mati aja."
"Nggak boleh gitu ih. Dia baik loh, kamu nya aja yang nggak bisa nilai."
"Apaan sih Bi? Kenapa jadi belain Benz?"
"Kasian dia, gara-gara kamu putusin jadi milih pergi jauh."
"Apa Bibi bilang? Pergi jauh? Bibi nggak usah becanda deh!" tak percaya Maria.
"Buat apa Bibi bohong? Nak Benz tadi yang pamit sama Bibi."
Maria terdiam beribu bahasa. Ia masih belum bisa mengerti dengan apa yang diucapkan sang bibi. Kenapa begitu mendadak? Kenapa Benz tidak mengabari dirinya? Sebenarnya apa maksud pemuda itu pergi dari negara ini? Masa hanya karena dirinya, Benz pergi? Begitu bencikah pemuda itu padanya? Hingga memilih pergi menjauh sejauh-jauhnya?.
"Kenapa Bibi tidak memberitahuku?"
Sang bibi hanya bingung, memandang heran ke arah sang putri.
"Memangnya Nak Benz tidak bilang jika mau pergi?" tanyanya.
Maria hanya menggeleng pelan. Kenapa ia merasa gelisah? Seakan telah kehilangan sesuatu yang begitu berharga. Tapi Maria kembali berpikir, lagipula dia juga tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan Benz. Jadi, ya sudahlah ... biarkan dia pergi. Bukankah sebuah keuntungan besar untuk Maria, jika lelaki itu menghilang dari pandangannya? Tak ada lagi yang mengganggu kehidupannya.
***
Hari semakin hari silih berganti. Tak terasa sudah beberapa bulan ini Maria tak lagi berhubungan dengan Benz. Entah mengapa Maria tiba-tiba ingin mengetahui kabar pemuda yang sudah berstatus sebagai mantannya itu.
Gadis itu berinisiatif ingin mengintip beranda sosial media pemuda tersebut, ingin mengetahui apa saja yang dilakukannya di luar negri. Apakah dia sudah punya pacar? Ah, pemikiran aneh itu terngiang di dalam benak gadis tersebut. Rasanya ia tak rela, jika ada gadis lain yang menggantikan posisinya.
Namun sayang, Maria tidak mengetahui nama akun Benz. Hah! Andai saja ia seorang hacker handal. Tidak akan sulit pasti, hanya sekedar mencari akun seseorang.
Maria menggeletakkan ponselnya lagi. Ia merebahkan tubuhnya di atas kasur. Akhir-akhir ini ia sering memimpikan Benz.
Hingga getaran ponsel mengalihkan lamunan gadis tersebut.
DRTTT ... DRETTT ...
Dengan malas Maria mengambil kembali ponselnya. Melihat siapa yang baru saja menghubunginya. Ada nomor baru yang mengirim pesan chat padanya.
+XXXXX ....
"Maria."
Anda
"Siapa?"
+XXXXX ....
"Gue Ray."
Anda
"Oh, elo. Ada apa?"
+XXXXX ....
"Cuma pen tau kabar elo."
Maria mematikan layar ponselnya. Malas meladeni perbincangan chat itu.
Pikiran otaknya melambung tinggi, membayangkan bagaimana keadaan Benz sekarang.
Hari-hari yang Maria jalani hanyalah ada kata kesepian. Ia ingin mencari pengganti sang mantan. Namun hatinya seolah menolak.
Maria melangkahkan kakinya, menyusuri jalan, menuju ke tempat ia berkuliah. Hingga tanpa sengaja ia menabrak seseorang di hadapannya.
BRUGG!!
Tubuh Maria terhuyung ke belakang. Seketika ia menegakkan kepalanya, menatap siapa sosok yang baru saja ia tabrak.
"Ray?"
Sosok yang bernama Ray itu tersenyum simpul ke arahnya.
"Ngelamun aja. Mikirin apa sih?" tanyanya, seraya mengusak pucuk poni gadis di hadapannya.
Maria memundurkan kepalanya, ia sedikit risih dengan sentuhan pemuda itu. Tidak biasanya Ray bersikap berlebihan terhadapnya. Semenjak Benz tidak ada, dia semakin berani mendekati dirinya.
"Nggak kok. Gue nggak mikirin apa-apa." sahut Maria, sedikit mengambil jarak.
"Mau berangkat kerja?" tanya pemuda itu, sejak Benz tidak bekerja di kantor itu, Rofiq memutuskan untuk ikut keluar.
"Em," gumam Maria sebagai jawaban.
"Gue anterin ya!" pintanya.
Maria hanya nyengir tak berdosa.
"Nggak usah. Gue bisa berangkat sendiri. Lagian deket juga." tolaknya.
Namun Ray tetap bersikeras ingin mengantarkan Maria. Terpaksa gadis itu mengiyakan permintaan pemuda tersebut. Malas berdebat.
Di tengah perjalanan menuju ke tempat kuliah Maria.
"Maria. Kamu udah putus sama Benz kan?" tanyanya, lebih tepatnya memastikan.
"Iya. Emangnya kenapa?" bingung Maria.
"Em ... gue boleh gantiin posisi dia nggak, di hati kamu?"
Maria mendelik tajam. Ia tak percaya jika Ray akan mengucapkan hal ini padanya. Mengingat dia merupakan teman baiknya.
"Maksud elo?" tanya Maria, meminta penjelasan.
"Gue suka sama elo. Elo mau nggak jadi cewek gue? Gue janji bakal buat elo lupa sama si Benz b******n itu." tuturnya.
Maria menarik ujung bibirnya, ia benar-benar benci dengan tipe lelaki seperti Ray. Yang menurutnya begitu pengecut. Berani menikung temannya sendiri.
"Sorry! Gue masih belom pengen pacaran!" ketus Maria, meninggalkan Ray.
Ray menggigit bibir bawahnya, menahan kesal. Ia benci mendapat penolakan dari Maria.
"Sialan!!" umpatnya, memukul udara kosong.
Maria langsung menuju ke ruang para wanita. Menaruh tasnya dalam loker dan kemudian melanjutkan aktifitasnya seperti biasa. Maria menjadi sosok yang lebih pendiam saat ini. Dia tak lagi banyak tertawa seperti Maria yang terdahulu.
Tepat hari ini, universitas yang Maria tempati kedatangan sesosok pemuda. Dia melamar sebagai dosen mapel di sana. Pemuda itu berprofesi sebagai guru mapel IPA.
Ares, nama sosok pemuda tersebut. Memiliki wajah tampan, berkulit putih dan juga menggunakan tindik di bagian lidahnya. Terlihat begitu menggoda, namun tidak untuk Maria. Maria seakan mati rasa dengan yang namanya cinta.
Semua wanita di sana berlomba-lomba mencari perhatian sosok pemuda tersebut. Kecuali Maria yang terkesan cuek dan tidak peduli.
Ares beristirahat di ruang istirahat biasanya para dosen berkumpul. Sosok itu terus saja memperhatikan Maria. Entah mengapa, ia tertarik pada gadis itu. Dia terlihat berbeda dari gadis yang lainnya. Membuat Ares semakin penasaran.
"Boleh kenalan?" tanya pemuda itu, memberanikan diri. Mendekati sosok Maria.
"Maria." jawab gadis itu tanpa ekspresi. Ia justru sibuk meminum minuman rasa jeruk di botol yang ia pegang.
Ares sedikit mati kutu karena tak ada respon dari sang gadis. Maria beralih meninggalkan sosok pemuda tersebut.
Pemandangan itu tak luput dari pandangan para gadis di sana. Semua berdecak kesal, bagaimana bisa Maria bersikap acuh pada pemuda setampan Ares. Namun mereka juga bahagia, setidaknya Maria tidak menjadi penghalang mereka.
Ares tidak akan putus asa, justru dengan sikap Maria yang seperti ini. Yang mana semakin menguji nyalinya, untuk menaklukkan sosok gadis tersebut.
Bahkan saat ini Ares ikut masuk ke ruang kelas tempat Maria. Padahal mereka beda ruangan seharusnya.
Semua dosen terutama para wanita menatap nyalang ke arah Maria. Awas saja kalau gadis itu berani menerima perhatian Ares, mereka tak akan tinggal diam. Monolog hati mereka.
"Maria. Tunjukin kelas-kelas di sini, ya." modusnya.
Maria hanya diam, ia tetap fokus bekerja.
"Maria ...," panggil pemuda itu kalem.
Maria memejamkan kedua matanya, sungguh, ia sangat malas.
"Kamu tinggal minta satpam buat nunjukin jalan. Gampang kan? Bayi aja bisa lakuin. Masa elo nggak ngerti." ucap Maria panjang lebar.
Ini kali pertama Maria berucap panjang pada Ares. Meski terkesan kasar, namun Ares menyukainya. Ia berharap bisa semakin dekat dengan gadis ini.
"Gitu, ya?"
"Ya!" malas gadis itu, merolling bola matanya.