RR Part 1 Perjodohan

1384 Words
“Malam, Om… Tante…” Sapa Riska ramah, sembari berjalan memasuki ruang makan. Pakaiannya sudah sedikit kusut karena dia baru selesai lembur malam ini. Biasanya Riska pulang ke rumah pada pukul lima sore, namun hari ini pukul delapan malam dia baru menginjakkan kakinya di rumah. Raut wajahnya terlihat lelah namun tetap tersenyum lembut dan ramah. Keadaan di meja makan malam ini terlihat berbeda. Bukan hanya dari jumlah orang yang duduk di kursi yang mengelilingi meja berbentuk oval itu, melainkan juga dari berbagai jenis masakan yang tersedia di atasnya. Terlihat meriah sekali jika dibandingkan makan malam biasanya. “Baru pulang kerja, Ris?” Tanya Layla yang merupakan sahabat dari kedua orang tua Riska. “Iya, Tante. Riska lembur hari ini.” Jawab Riska dengan sopan. “Kamu sudah makan? Kalau belum, ayo sekalian makan malam sama-sama.” Kali ini Sylvia, mamanya yang bertanya. Riska tersenyum, “Sudah, Ma. Riska sudah makan di kantor tadi kok. Mama, papa, om dan tante lanjut aja. Riska pamit mau ke kamar ya.” “Selamat istirahat, Sayang…” Riska pun melangkah menuju ke kamarnya untuk segera membersihkan diri dan beristirahat. Sambil melepaskan kancing-kancing kemejanya, Riska menatap wajahnya di depan cermin. Meskipun terlihat lelah, tapi dia tersenyum senang karena pekerjaannya hari ini selesai dengan lancar. Tangan Riska bergerak ke arah belakang kepalanya, untuk melepaskan penjepit rambut yang membuat rambut hitamnya selalu rapi. Setelah itu dia pun melangkah menuju kamar mandi, dan membasahi seluruh tubuhnya dengan pancuran air hangat yang membuat tubuhnya terasa lebih rileks. Sekitar lima belas menit kemudian dia lalu menyudahi kegiatan mandinya. Memakai piyama tidur dan mulai mengeringkan rambutnya. Senandung lirih terdengar dari bibirnya, meskipun tidak ada kata-kata yang keluar. Hanya sekedar untuk melawan kebisingan yang ditimbulkan oleh alat pengering rambut yang sedang digunakannya. Saat merasa rambutnya sudah tak lagi basah, Riska lalu merebahkan dirinya di tempat tidur. Tangannya bergerak meraih remot televisi di nakas, lalu mulai mencari-cari film apa yang akan dia nikmati malam ini sembari mengantarkannya ke alam mimpi. Tok… Tok… Tok… “Mariska... “ Siapa lagi yang akan memanggilnya seperti itu jika bukan mamanya. “Iya, Ma… Sebentar…” Sahut Riska sambil menyibak bed cover tebal dan hangat bermotif bunga-bunga yang sudah menyelimuti tubuhnya, lalu beranjak menuju ke pintu kamar. “Sudah tidur?” Tanya Sylvia saat pintu kamar putrinya terbuka lebar. Riska menggeleng, “Belum, Ma. Lagi rebahan aja.” Jawabnya sambil berjalan kembali ke arah tempat tidurnya diikuti oleh Sylvia. “Riska ingat sama Abang Riksa?” Tanya Sylvia saat mereka berdua sudah duduk berhadapan di tepi tempat tidur. Riska terlihat sedikit mengernyitkan keningnya, lalu mengangguk. “Anaknya tante Layla yang lagi kuliah S2 itu?” Sylvia mengangguk dengan semangat saat mengetahui bahwa Riska masih ingat dengan Riksa, meskipun mereka sudah cukup lama tidak bertemu. “Sudah selesai. Abang Riksa baru aja wisuda satu bulan yang lalu.” “Ooh…” “Jadi begini, Sayang. Kedatangan Tante Layla dan Om Bachtiar tadi itu dengan maksud melamar kamu buat Abang Riksa.” Telinga Riska seketika berdenging, refleks dia menoleh ke arah mamanya, karena sejak tadi pandangannya masih ke arah tayangan film di televisi. “Mm- Maksud mama apa? Riska nggak salah dengar?” Seketika itu juga kepala Riska dipenuhi dengan bayang-bayang sosok lelaki yang dimaksud oleh mamanya. Antariksa Tranggana, atau yang lebih sering dipanggil Abang Riksa di lingkungan keluarganya. Riska lalu membayangkan sosok Riksa, seraya mencoba memvisualisasikan apa yang ada di benaknya tentang laki-laki itu, mengingat bahwa mereka sangat jarang sekali bertemu. Hanya dari kepingan memori tak utuh Riska bisa membayangkan wajahnya. Riska dan Riksa berbeda dengan orang tua mereka, yang mana sejak lama sudah bersahabat. Tidak ada hubungan dekat antara Riska dan Riksa meskipun hanya sekedar pertemanan biasa. Mereka hanya berinteraksi jika kebetulan bertemu saat bersama dengan orang tua masing-masing. Selebihnya, tidak ada interaksi lain kecuali saling tersenyum ramah. Persahabatan antar orang tua yang sudah terjalin sejak lama itu, akhirnya melahirkan sebuah harapan dimana Riska dan Riksa akan lebih mempererat hubungan kedua keluarga itu. “Riska… Mariska… Kamu melamun pas mama ngomong?” Tanya Sylvia sambil menggoyangkan lengan Riska yang masih terdiam. Riska tersentak kaget, “Ehm… Enggak, Ma. Maaf…” “Ya sudah, kamu kayaknya capek ya? Istirahat aja ya.” “Iya, Ma.” Sylvia pun beranjak keluar dari kamar putrinya. Dan setelah sang mama menghilang di balik pintu kamar, Riska menjadi kebingungan sendiri. Ada rasa panas yang menjalari wajahnya. Ada debar halus yang terasa di dadanya. Namun kemudian... "Kok, mama pergi gitu aja? Mama serius atau bercanda? Tadi bilangnya Om Bachtiar sama Tante Layla ngelamar aku buat Abang Riksa. Tapi… Tapi kenapa mama nggak tanya jawaban aku? Atau… Minimal tanyakan pendapatku dulu? Kalau nggak cocok kan aku bisa saja melakukan banding. Hihi… Sudah kayak lagi di pengadilan aja pake naik banding segala. Ngawur kamu, Riska." Riska menggeleng sambil tersenyum menyadari apa yang baru saja terlintas di pikirannya. Malam itu, Riska yang semula ingin beristirahat dengan tenang akhirnya tidak bisa tidur karena memikirkan tentang lamaran orang tua Riksa. Dia memikirkan dan menimbang-nimbang harus memberikan jawaban seperti apa nanti pada kedua orang tuanya. Karena untuk saat ini, menikah bukanlah hal yang menjadi prioritas baginya. Saat ini Riska masih ingin bebas untuk bekerja dan melakukan hal lain yang dia sukai. --- Satu minggu berlalu sejak lamaran itu datang, Riska tidak pernah lagi ditanyai pendapatnya oleh sang mama. Riska sendiri sudah lupa akan lamaran itu, jika hari ini dia tidak bertemu dengan Layla di sebuah pusat perbelanjaan. Sahabat dari kedua orang tuanya itu rupanya sedang berbelanja dengan didampingi oleh putranya, Riksa. Lelaki yang seharusnya menjadi calon suaminya, jika lamaran itu memang benar adanya. Namun mengingat bahwa kedua orang tuanya tidak pernah lagi membahas mengenai hal itu, Riska menganggap lamaran kemarin mungkin hanya halusinasinya. Atau mungkin hanya sebagai bahan candaan antara orang tua yang memiliki anak berlawanan jenis. Riska sudah akan melangkahkan kakinya untuk menjauh, berbalik arah karena dia tidak ingin bertemu dengan Tante Layla dan Abang Riksa. Bagaimanapun juga, ada sepercik rasa senang saat pertama kali dia mendengar bahwa Riksa akan menjadi calon suaminya. Namun kali ini Riska mencoba untuk berpegang pada kenyataan bahwa hal itu tidak mungkin terjadi mengingat bagaimana hubungannya dengan Riksa selama ini. Tidak ada hubungan apapun diantara mereka berdua. Saling mengenal saja hanya sebatas nama. Tidak ada sesuatu yang lebih dari itu. “Riska…” Suara itu secara mendadak menghentikan langkah kaki Riska yang sudah berbalik membelakangi kedua orang yang sedang dia hindari. Riska lalu berbalik dan memasang wajah pura-pura terkejut, seolah tidak menyangka akan bertemu mereka saat ini. “Tante… Lagi shopping ya?” Sapa Riska dengan senyuman. Setelah sedikit melirik ke arah lelaki yang ada di samping Tante Layla, Riska lalu kembali mengalihkan pandangannya ke arah Tante Layla. “Enggak. Ini loh si Abang minta temenin Tante buat pilih cincin pernikahan kalian nanti. Tante kan udah suruh dia pilih sendiri, ajak kamu sekalian. Supaya tahu kamu suka atau nggak. Ukurannya cocok atau nggak. Tapi katanya kamu sibuk.” Cerocos Layla lancar sekali, sehingga tidak sadar bahwa wajah Riksa sudah berubah. Kedua matanya membulat sempurna dan rahangnya terlihat mengeras. “Mah… Nggak usah keras-keras, malu dilihat orang.” Tegur Riksa pada Layla yang masih cuek melanjutkan omongannya. “Padahal kan Tante sudah bilang, kalau kamunya sibuk harusnya Abang lebih peka. Paling nggak ya antar jemput kamu kerja supaya kamu nggak kecapekan. Iya kan, Ris? Masa sama calon istri nggak perhatian gitu.” Riska hanya bisa terdiam demi mencerna kata demi kata yang ditangkap oleh indera pendengarannya. Kepalanya terasa kelebihan muatan untuk bisa menangkap ucapan Layla dengan cepat. Riska sebenarnya orang yang cerdas dan cepat tanggap, namun entah kenapa kali ini dia mendadak lemot. “Cincin? Pernikahan? Apa? Siapa yang mau menikah?” pikirnya bingung. Lalu kemudian Riska terngiang satu kata yang diucapkan Layla tadi. “Apa tante bilang tadi? Sibuk? Aku sibuk? Ini aku bisa cuci mata karena lagi nggak banyak kerjaan. Siapa yang bilang aku sibuk?” “Terus tadi, Tante Layla bilang apa? Calon istri?” Hingga akhirnya, saat dia bisa memahami dengan sempurna semua yang dikatakan oleh Layla tadi, tanpa sadar Riska mengerjapkan matanya berkali-kali. “Ap-apa ini maksudnya lamaran kemarin itu beneran? Aku kan belum jawab? Aku belum terima. Kenapa sudah mau beli cincin buat pernikahan?” Hai semua, aku datang lagi dengan cerita baru. Semoga bisa daily secepatnya ya. Jangan lupa tap love dan tinggalkan komentar. Love, Sweet July 27 November 2021 21.10 WIB
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD