BUKAN PRIORITAS

1008 Words
"Eughh, aku lelah! Kenapa rasanya sangat menyiksa?" "Aku mengutuk kehadiranmu!" Rasa ngantuk yang dibarengi mual begitu menyiksa Sheilla pagi ini. Hari masih teramat pagi, saking paginya matahari masih enggan menampakkan sinarnya. Jika biasanya jam segini Sheilla masih asik di dalam selimut, tidak dengan hari ini. Mual hebatlah yang memaksa wanita cantik itu bergegas lari ke kamar mandi. Tubuh lemas Sheilla bersandar ke dinding, tatapannya terus tertuju pada pantulan dirinya di cermin. Perutnya memang masih terlihat rata, pasti tidak lama akan membesar. Itu artinya ... apa harus tersiksa seperti ini setiap hari sampai anaknya lahir? "Diminum dulu." Kelopak mata Sheilla terbuka, seketika dia dihadapi segelas air mineral di depan mata. Sheilla menoleh, kini tatapannya tertuju pada sosok pria yang notabenya adalah suami. Sheilla yang enggan ribut mengambil gelas itu lalu meneguk air hangat pemberian Mathew sampai setengah. Tenggorokan yang awalnya tercekak, kini kembali sejuk. Dirasa cukup, Sheilla memberikan gelas itu pada Mathew. "Butuh ke rumah sakit? Kenapa tidak membangunkanku?" "Untuk apa aku membangunkanmu?" Mathew tertawa kecil. Alih-alih merasa kesal, pria itu justru merengkuh tubuh mungil sang istri ke dalam dekapannya. Tidak ada penolakan, Sheilla menerima pelukan hangat dari Mathew. Cukup lama keduanya saling berpelukan sampai Sheilla kembali melepaskan karena rasa mual yang muncul. "Apa semua orang hamil seperti ini? Kenapa banyak wanita ingin hamil setelah menikah? Hamil itu menyusahkan, menyiksa!" Sheilla kembali mencak-mencak, tangannya tak sungkan memukul d**a bidang milik Mathew. Apa yang Sheilla katakan memang seperti yamg dia rasakan saat ini. Memang dimana enaknya hamil? "Itu menurutmu, menurut otak dangkalmu. Sayangnya, wanita dewasa serta bijaksana tidak akan berfikir random seperti tadi. Memang apa yang diharapkan setelah menikah? Tentu keturunan untuk menjadi penerus," ucap Mathew dengan sabar dan tenang. Menanggapi otak Sheilla yang masih remaja memang susah ditebak. Mendengar kata demi kata yang Mathew lontarkan membuat otak serta mulut Sheilla buntu. Jawabannya tidak salah, justru lebih banyak benarnya. Akan tetapi bukan Sheilla namanya kalau menolak paham. Bagi pasangan siap moment ini sangat dinanti bahkan ada yang bertahun-tahun. "Tapi dalam perjalanan hidupku, menikah dan memiliki anak bukan prioritas! Semua perjalanku terhambat karna mengenalkau!" Tangan bebas Sheilla mencubit kecil pinggang Mathew sampai pria itu mengaduh kesakitan. Walaupun rasanya perih, tawa Mathew tetap saja terdengar renyah di telinga Sheilla. *** "Hari ini kau ke kantor? Atau mau ke mana?" "Bagaimana denganmu?" Kedua tangan Sheilla berhenti mendadak saat sedang mengoles selai. Sesaar tatapannya tertuju pada pria yang kini duduk di sampingnya. Menyebalkan memang, halal sekali untuk dipukul. Memang ... apa pantas pertanyaan dibalas pertanyaan? Melihat wajah Sheilla berubah Mathew ketawa seraya berkata, "hari masih pagi, kau terlalu sensitif. Tentu pagi ini aku ke kantor karna ada beberapa meeting serta pekerjaan yang belum aku cek. Kenapa? Kau mau ke mana? Jangan main kucing-kucingan, karna satu langkah kau ke luar, aku tetap tahu." Sheilla menghembuskan napasnya. Menyebalkan. Bukankah itu menyebalkan? Tiada hari tanpa menyebalkan serta ancaman. Tidak membalas, Sheilla memilih melanjutkan kegiatannya memberi roti tawar dengan selai cokelat. Itu bukan untuknya, tetapi Mathew yang meminta. Setelah selesai, roti itu Sheilla taruh di piring. Berbeda dengan kelahapan Mathew, sedangkan Sheilla tidak nafsu makan. "Jadi, kau mau ke mana? Jadi kuliah?" Sheilla berdecak. "Bagaimana bisa aku kuliah dalam kondisi hamil?" "Ya sudah, nanti saja setelah lahiran," sahut Mathew santai. Keheningan kembali menyapa saat Sheilla membiarkan suaminya menikmati sarapan. Sebetulnya dia sendiri tidak ada agenda ke mana-mana, tidak ingin pergi juga. Hanya saja, entah kenapa Sheilla kefikiran dengan Daisy serta Chelsea yang mengajaknya bertemu. Entah mana dulu yang Sheilla ingin temui. "Berita perceraian orang tuamu sedang ramai, bagaimana menurutmu? Mamahmu baik-baik saja?" Disela-sela suapan Mathew berranya. Lagi-lagi Sheilla menolak paham, wanita itu mendelikan bahu tanda acuh. Selagi otaknya merancang jawaban, Sheilla meminum cokelat panas miliknya. Sesekali lewat ekor mata Sheilla melirik Mathew. Tidak ada ekspresi apapun dari pria itu, wajahnya tetap sama. "Apa-apa yang sudah hancur memang tak selamanya bisa didaur ulang. Salah satunya pecahan kaca. Mau seusaha apapun, pecahan itu tidak akan bisa utuh kembali selayaknya kaca pada umumnya." "Entah, aku bingung, tidak paham. Apa harus aku merasa senang? Atau sedih?" Kedua tangan Sheilla menopang dagu, tatapannya masih tertuju pada Mathew. Sheilla penasaran, apa lagi yang akan pria itu katakan. Selain menyebalkan, Sheilla tidak bisa munafik jika otak serta pembawaan Mathew jauh sangat matang di luar perkiraan otaknya. "Rasakan saja keduanya. Hatimu gamang karna tidak mendapat peran mereka sejak dulu. Jadi, wajar saja." Bibir mungil Sheilla mengerucut, otak mininya kini sedang mencerna perkataan Mathew. Omongan Mathew memang menohok hati, sayang semuanya fakta. Tubuh Sheilla menegak kembali, tetapi mulutnya tidak memberi jawaban apapun. "Aku tidak mau ikut campur urusan mereka, lagipula bukankah sekarang aku bukan putrinya? Entah pilihanku waktu itu benar atau tidak, yang jelas...." Kata-kata Sheilla terhenti, sedangkan Mathew menunggu apa yang akan wanita itu katakan lagi. "Memilih bersamamu sepertinya opsi terbaik daripada aku harus jadi gembel." Sangat di luar perkiraan, Sheilla tersenyum lebar sambil memakan anggur segar yang sangat menggodanya. Kurang lebih setengah jam menghabiskan waktu di meja makan, Mathew bergegas pergi ke kantor. Setelah mengantar serta memastikan, Sheilla kembali masuk. Sheilla tidak langsung masuk ke dalam, tetapi dia duduk di teras sembari memperhatikan Yuki—asisten rumah tangganya yang kedua. Dibandingkan Rubby, umur Yuki jauh lebih muda sekitar dua puluh empat tahun, bahkam lebih tua dia daripada Sheilla sendiri. "Nona, mau dibuatkan sesuatu?" Lamunan Sheilla buyar, tatapannya beralih ke sebelah kiri. Tepat di sampingnya Rubby berdiri sambil menatapnya teduh. Melihat Rubby mengingatkan Sheilla pada sosok Emma—wanita yang sejak dulu mengurus dirinya dengan baik. "Tidak, Bi, aku tidak mau apa-apa. Ah, iya, bagaimana kesan Bibi bekerja di sini? Senang atau menyesal?" Rubby terdiam. Beberapa detik terdiam, wanita paruh baya itu menjawab, "tidak ada kata menyesal, nona Sheilla. Terlebih Bibi memang membutuhkan uang. Bertemu dengan tuan Mathew membuat harapan Bibi kembali terang. Kalian berdua orang baik, Bibi tidak menyesal." Jawaban simple namun sukses membuat hati Sheilla terenyuh. Baru ingin menjawab, suara klakson serta gerbang terbuka mengalihkan fokus Sheilla. Siapa yang datang? Apa mungkin ada barang tertinggal maka dari itu Mathew kembali? Sheilla masih tidak beranjak, dia menunggu orang di luar sana masuk. Bukan hanya Sheilla, Rubby pun ikut penasaran siapa yang bertamu. "Hai, Sheill!" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD