BANYAK DRAMA

1012 Words
"Ada apa?" "Kau ... tidak ikhlas?" Kedua mata Mathew menyipit mendengar sahutan sang istri. Pertanyaan apa, dijawab apa. Tanpa merubah posisi Mathew melipat kedua tangannya di d**a. Sudah lima menit dia berdiri setelah mendapar pesan, tapi sampai detik ini Sheilla belum buka suara mau apa. "Kalau aku mau sesuatu, kau bisa wujudkan? Permintaan simple, kau pasti bisa." Sheilla menaik-naikan alisnya menatap Mathew. Anggap saja saat ini Sheilla tengah menguji kesabaran sang suami. Tubuh Mathew membungkuk mensejajarkan wajahnya dengan Sheilla. Dari jarak yang lumayan dekat Mathew bisa melihat binar kecil di mata indah itu. Entah dari mana usulnya, seulas senyuman tipis tercetak di wajah Mathew. "Bahkan kau belum menjawab pertanyaanku, Sheilla Watson." "Pertanyaan? Pertanyaan apa?" "Kau benar-benar hamil?" Seketika Sheilla bungkam mendengarnya. astaga, ternyata sejak tadi otak suamunya tidak langsung menangkap pembahasan? Wajah Mathew yang semakin dekat, refleks membuat tangan Sheilla sigap menahan. Setelah menjauhkan tubuuh Mathew, Sheilla turun dari atas kasur menuju lemari. Dirasa barang cariannya dapat, wanita itu kembali mendekati Mathew. Wajah datar tanpa senyuman, kedua tangan berada di belakang, jangan lupa pula jantung Sheilla kini berdisko walaupun dia sudah tahu reaksi suaminya akan seperti apa.. Sekilas Sheilla melirik ke arah kanan, ternyata di sana masih ada Rubby dengan wajah tak kalah penasaran. Tinggi badan yang kontras, membuat Sheilla harus mendogak menatap wajah tampan di depnnya. Entah Elena ngidam apa waktu hamil, tetapi ketampanan Mathew harus disandingkan dengan tingkah menyebalkannya. "Bagaimana dengan ini? Lalu ini?" Tiga test pack bergaris dua, ditambah selembar kertas hasil pemeriksaan rumah sakit terpampang nyata di wajah Mathew. Sheilla juga baru sadar kenapa tubuhnya tidak enak saat di Swiss lalu aftaer pulang dari sana. Hamil. Iya, kehamilan yang merubah semuanya. Empat benda di depan wajahnya Mathew rampas, alu dia melihatnya seksama. Pada akhirnya, semua jelas nyata adanya. Daisy tidak berbohong, Sheilla memang sedang hamill. Rubby yang mendengar itu ikut kaget, namun dia sadar posisi lalu pergi dari kamar. Kehamilan memang kado spesial untuk asangan suami istri dan Rubby paham itu. "Ingat kata-kataku, jaga anakku dengan baik, dengarkan perintahku, jangan sekali-kali kau melanggar." Mathew berbisik, lalu mengecup singkat pipi Sheilla. Tubuh pria itu kembali menegak, akan tetapi di tak ada niat untuk pergi. Sekilas Mathew melirik ke arah nakas, ada pizza serta pasta yang sudah pasti pesanan istrinya. Tanpa banyak bertanya, Mathew mengambil satu potong pizza lalu memakannya santai. Melihat itu Sheilla hendak protes, tetapi dia mengurungkan niat. "Jadi, ada apa kau memanggilku? Bukankah ada Bibi? Mau minta apa dariku? Mau melakukannya sekarang?" "Otakmu! Astaga, aku rasa di dalam otakmu terlalu banyak sampah, Math! Apa tidak bisa bahas hal lain selain ranjang?!" sentak Sheilla dengan menggebu. Mathew terkekeh. Ternyata kesenangannya dalam hal menggoda Sheilla masih menjadi candu. "Malam ini temani aku ya? Ada undangan dari kolega atas rampungnya projeck yang beliau jalankan." "Kalau aku tidak mau?" Tatapan keduanya kembali beradu. Seperti biasa, Sheilla tetap kembali kesetelan pabrik jiwa menantangnya. "Aku tidak butuh persetujuan atau jawabanmu." Setelah mengatakan itu Mathew berdiri, meninggalkan Sheilla yang kini sedang mencak-mencak. Undangan itu memang mendadak, dan Mathew tidak bisa menolak demi menjaga nama baiknya. "Math!" Saat hendak menutup pintu, tubuh Mathew kembali berputar ke belakang. Lagi-lagi kekehan Mathew tak bisa dihindarkan terlebih saat dia melihat Sheilla mengangkat tangan menyerupai bentuk love. Setelah itu, tubuh mungilnya masuk ke dalam selimut putih yang tebal. Tidak ada sahutan, sebisa mungkin Mathew menahan diri agar tidak berbelok masuk lagi. Bukan apa-apa, di bawah sana Victor masih ada. *** Sudah beberapa hari ini media online maupun offline sedang ramai kasus perceraian. Mungkin untuk warga biasa tidak akan heboh, pasalnya yang kini bercerai adalah Alexander—salah satu pengusaha ternama di kota New York. Bosan melihat berita, Daisy mematikan saluran televisi serta melempar asal ponselnya. Pada akhirnya, pernikahan hancur yang selama ini dia coba genggam, menemui titik akhir. Perceraian itu terjadi setelah Sheilla—putri satu-satunya memilih pilihan yang Alexander berikan. Entah harus merasa lega atau sedih, yang jelas perasaan Daisy teramat gamang. Setelah resmi bercerai, Daisy memilih tinggal di apartemen pribadinya. Sebetulnya Sheilla sempat mengajak tinggal bersama, akan tetapi Daisy menolak. "Semoga saja bukan boomerang untuk siapapun," guman Daisy. Berhubung hari ini dia tidak ke kantor, maka dari itu menghabiskan waktu di apartemeb sendirian adalah pilihan. Kedua mata Daisy terpejam, ingatannya seketika terlempar pada kejadian lusa kemarin. Rasa kaget, syok, tidak sangka, semua beradu jadi satu. Bagaimana tidak kaget, saat dia kesal karena Sheilla terus mengeluh, lalu dinyatakan positif hamil dari mulut dokter. Putri kecilnya akan menjadi ibu. Lebih dari itu, Daisy juga sempat memikirkan kemungkinan yang akan terjadi nanti. Apa anak manja seperti Sheilla sudah mampu memikul status sebagai ibu muda? Saat sedang asik membayangkan, suara notifikasi ponsel terdengar. Daisy kembali mendudukan tubuhnya lalu mengambil ponsel yang tadi dia taruh di sisi sebelah kanan. Chat from : Sheilla. Sheilla : 'Mama!' Sheilla : 'Kenapa Mama beritahu Mathew? Bukankah aku sudah bilang akan beritahu sendiri?' Isi pesan yang sudah bisa diduga. Daisy menghela napas, dia juga tak langsung membalas. Anaknya ini ada saja tingkahnya. Toh yang dia beritahu sudah selayaknya tahu karena berstatus suami. Sambil memandangi isi pesan otak Daisy terus berfikir balasan apa yang sekiranya bisa Sheilla terima. Baru saja jari-jarinya ingin mengetik balasan, nama Sheilla sudah kembali terpampang. Kali ini bukan pesan, melainkan video call. Tanpa menunggu lama Daisy mengangkat panggilan tersebut. 'Kenapa Mama lama mengangkatnya? Apa pesanku tidak masuk?' "Masuk." 'Lalu? Kenapa Mama memberitahu lebih dulu?' Mendengr itu Daisy berdecak. Jika situasinya seperti ini tentu Daisy ikut gemas, ingin rasanya meraup wajah cemberut itu menggunakan telapak tangannya yang kini gatal. "Memang kenapa? Mathew itu suamimu, dia wajib tahu. Memang apa gunanya kamu menutupi? Dengan tahunya Mathew, dia bisa mengawasimu ekstra." Kesantaian Daisy dalam berucap sangat berbeda dengan Sheilla di sebrang sana. Walaupun terhalang jarak, Daisy bisa menyimpulkan jika putrinya sudah badmood bahkan ingin mencak-mencak. Tak apa, Daisy membiarkan. 'Mama, are you okay?' "Jangan fikirkan Mama, fikirkan saja hidupmu. Sudah menjadi istri orang, akan segera menjadi ibu. Dengarkan dan turuti apa perimtah yang Mathew berikan." Tepat di ujung sana Sheilla mengerutkan kening. Dengarkan dan turuti? Beruntung pria itu tidak ada, otomatis tidak mendengar. Andai Mathew mendengar, pasti wajahnya sudah menyebalkan. 'Jaga dirimu dari Ayah, Sheil.' ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD