~♥~♥~♥~♥~
"This is a chance from God
What are you doing? Run over here
If you don’t catch me, if you don’t hold onto me
I’ll fly away like a balloon
If you kick away this chance
It’ll make you kick your blankets" -- Whatta Man (IOI)
~♥~
"Jadi gini ...."
Azel menatap takut-takut dua cewek yang tengah bersidekap di hadapannya. Ia memilin rok selututnya hingga kusut sangkin gugupnya.
Saat ini jam istirahat sedang berlangsung, dan begitu bel berdering tadi, kedua sahabatnya ini bergegas membawa, ralat, tepatnya menarik paksa Azel ke kantin ketika gadis itu hendak kabur.
"… Iqbal itu ..." Azel berujar lirih.
Ia memutar kepalanya ke belakangnya, ke samping kanannya, dan ke samping kirinya, memastikan tidak ada siapapun yang akan menguping.
Beruntungnya mereka memilih tempat duduk paling pojok, dan berhubung ini masih awal istirahat, jadi kantin belum ramai.
Azel mencondongkan tubuhnya ke depan dan direspon baik oleh kedua cewek di depannya yang juga ikut memajukan tubuh mereka. Penasaran dengan kelanjutan ucapan Azel.
".... adik kelas gue."
Kedua cewek itu mengerjap seketika dan terbatuk ringan.
"Anjir! Itu mah gue tau. Kalo gitu Iqbal juga adek kelas gue sama Irma," sergah Ica sambil menoyor kening Azel.
Azel merenges.
"Lagian lo pada lebay amat sih!" sungut Azel. "Gue kan udah bilang kalo gue nggak ada apa-apanya sama Iqbal!"
Irma menggeleng cepat. "No! Impossible kalo lo nggak punya hubungan apa-apa sama Iqbal tapi dalam keadaan seperti tadi di UKS!"
Azel memutar bola matanya. Jika dalam posisi seperti ini, percuma saja ia mengelak semua tuduhan yang memang sudah mengarah ke arahnya.
"Ya udah, iya, gue ngaku!" seru Azel. Gadis itu sekali lagi melakukan gerakan memperhatikan sekitarnya sebelum menarik kedua gadis di depannya dan membisikkan sesuatu.
"Iqbal itu tunangan gue," akunya. Azel menatap kedua cewek itu dengan serius. Sedangkan Irma dan Ica malah mengedip-ngedipkan mata mereka, memastikan apa yang barusan di dengar mereka tidak salah.
"Lo serius?" tanya Irma.
Azel mengangguk mantap sebagai responnya.
Kedua cewek itu melepaskan rangkulan Azel dengan cepat dan menatap gadis di depan mereka dengan nanar. Sekali lagi memastikan pendengaran mereka.
Sedetik kemudian tawa mereka menggelegar seketika memenuhi kantin yang semula senyap. Beberapa murid memandang aneh kedua cewek di hadapan Azel yang tengah memegangi perut mereka.
"Are you kidding me, Fazlina?"
"Lo kebanyakan nonton drama korea makanya banyak halu!"
Irma mengusap air mata yang menggenang di kelopak matanya dengan napas yang sudah tidak lagi beraturan.
"Aduh... sakit perut gue." Irma meredakan tawanya dan menatap Azel dengan tatapan geli.
Azel mendengus dan memutar bola matanya. "Katanya suruh ngomong yang sebenarnya, kalian kok malah ketawa sih?" gerutu Azel. "Kalo nggak percaya ya udah!"
Azel mencebikkan bibirnya dan mengaduk jus apel di gelasnya. Ia menyedot jus itu sampai tersisa setengahnya dan memilih mengabaikan kedua sahabatnya yang tengah berceloteh meledeknya.
"Gini aja, deh.... Kalo kalian mau percaya sama omongan gue, pulang sekolah nanti, ikut gue ke rumah." Ia menyeringai.
~♥~
Azel tertawa terbahak menyaksikan tayangan stand up dalam layar tipis yang terpajang apik di ruang keluarga. Sesekali tangannya mencomot kripik singkong dari dalam toples yang dipeluknya.
Ia bahkan mengabaikan suara pintu ditutup dari pintu masuk rumahnya, dan derap langkah kaki yang menuju ke arahnya. Tawanya masih berderai hingga sosok itu duduk di sebelahnya dan mengambil alih toples di dekapannya.
"Ish! Beli sendiri sono!" sergahnya.
Iqbal mendengus dan memilih mengalah. Ia menggeser tas punggungnya dan memindahkannya di bawah, sejajar dengan kakinya.
"Pelit amat, sih!" cibir Iqbal.
Iqbal mengamati Azel yang masih asik tertawa sambil menguyah kripik singkongnya. Azel sudah mengganti seragam batiknya dengan baju rumahan yang biasa gadis itu kenakan.
Kaos kebesaran berwarna pink dan celana jeans di atas lutut. Azel mencepol rambut hitamnya asal hingga menyisakan rambut halus yang berterbangan di sekitar wajahnya.
Iqbal memandang puas wajah gadis itu. Ia menopang dagunya dengan telapak tangannya.
"Lo cantik," celetuk Iqbal.
Celetukan itu membuat Azel yang sedang mengunyah terbatuk kecil dan langsung meminum air yang sengaja disiapkannya.
Azel mengernyit ke arah Iqbal yang saat ini tersenyum.
"Lo gila," sahut Azel. Gadis itu menggelengkan kepalanya dan melanjutkan kegiatannya.
"Gue serius." Iqbal menarik tangan Azel yang hendak mengganti saluran di televisinya. Azel menghela napas kasar.
"Ya kalo lo serius, lo mau apa?"
Jawaban yang diberikan Azel membuat Iqbal menatap tidak suka ke arahnya.
"Gue baru pertama kali ini muji cewek," sergah Iqbal.
Azel memutar bola matanya.
"Ok, makasih, Iqbal!" ujar Azel dengan nada yang dibuat-buat. Azel menggelengkan kepalanya dan mengalihkan tatapannya ke layar tipis di depannya lagi.
Iqbal mencebikkan bibirnya dan dengan sekali tarik, Iqbal menarik toples di dekapan Azel, membuat Azel menjerit kaget.
Iqbal berdiri dan berlari sambil memamerkan toples itu ke arah Azel yang kelabakan di duduknya.
"Balikin nggak! Lo kurang kerjaan banget sih! Sini balikin toples gue!"
Iqbal meledek Azel yang berjinjit hendak menggapai toples di atas tubuhnya.
"Nanti jadi gendut lo kalo kebanyakan nyemil."
"Bodo amat! Sini balikin, Bal!"
Azel meloncat-loncat tetap berniat meraih toples tersebut. Iqbal ini tinggi banget, sih. Dan harusnya Azel sadar dengan tingginya yang nggak seberapa tentu saja nggak akan bisa membuatnya meraih toples di atas kepala Iqbal itu.
"Jangan berantem! Iqbal, balikin toplesnya," sela Reina yang jengah mendengar suara bising dari ruang keluarga.
Iqbal meredakan tawanya sebelum menyerahkan toples itu ke arah Azel. Senang karena kali ini ia dibela, Azel memeletkan lidahnya ke arah Iqbal. Lalu gadis itu berlari ke sofa sambil tertawa riang.
Iqbal mendengus dan memilih mengambil tas ranselnya kemudian beranjak ke kamarnya.
"Mama mau ke rumah temen, sebentar. Ada perlu," ujar Mamanya ketika Azel mengernyit memandang Reina yang sudah berganti pakaian rapi.
Azel berbicara di sela kunyahannya. "Ok!"
Reina menggelengkan kepalanya dan bergegas menuju pintu. Azel melihat Mamanya menutup pintu sambil berkata, "Assalamualaikum."
Yang langsung disahutinya dengan lebih antusias. "Waalaikumsalam."
Azel kembali hanyut dengan tayangan dalam layar datar itu. Ditatapnya serius layar tersebut yang tengah menampilkan adegan drama kesukaannya.
Baru sepuluh menit Azel memasang wajah seriusnya ia sudah harus kembali mendesah saat bel rumahnya berdering.
Azel berdecak karena ia harus meninggalkan adegan yang sedang seru itu.
"Siapa?"
CKLEK
"Hehe....."
Azel mencebikkan bibirnya dan memutar bola matanya dengan jengah.
"Kalian toh ternyata. Ngapain pake mencet bel segala? Biasanya juga pada nyelonong," ujar Azel sarkastik.
"Demi kesopanan," kata Irma yang langsung disambut dengusan oleh Azel.
"Kesopanan kalian bukannya udah luntur dari jaman baheula?"
Irma memasang raut datarnya. Dari belakangnya, Ica menoyor kepala cewek itu.
"Tau noh! Gue udah bilang tinggal masuk aja, eh dia malah pencet belnya. Ngabisin batre aja lo!"
Azel mendengus sekali lagi. Sepertinya ia harus sering-sering tersenyum agar wajahnya tidak keriput karena sering mendengus.
"Ya udah masuk!" serunya.
Irma dan Ica bergegas mengekori Azel dan langsung duduk di sofa, samping gadis itu.
"Wah, abang Seung Gi!"
"Eh episode berapa nih? Kok ditayangin mulu sih? Bosen gue."
Azel mencibir perkataan Ica. "Kalo bosen nggak usah nonton, gih balik sono!"
Ica memanyunkan bibirnya. "Ih, jaad aned cih, kamu!"
Irma langsung tergelak. Cewek itu menepuk tangannya antusias. Menyoraki wajah Ica yang mirip bebek.
"Wajah lo najis amat, deh!"
Ica kembali memasang raut datarnya. "Ah kalian nggak asik, ah!"
Azel tertawa dan berhigh-five dengan Irma.
"Zel?"
Azel sudah kembali larut dalam kegiatannya menyemili kripik singkong. Disingkirkannya tangan Irma yang berulang kali ingin ikut masuk ke dalam toples gadis itu.
Ica kembali bersuara. "Iqbal beneran tinggal di sini?" tanyanya.
Ica mengedarkan tatapannya ke penjuru ruangan di rumah Azel. Kemudian menggerutu saat ia diabaikan saat ini.
"Ho-oh," gumam Azel singkat.
"Yah, kepotong! Kalo nonton di tv emang udah dipotong, nggak asik!" Irma berseru.
Azel meraup wajah Irma dan terkekeh. "Dasar omes!"
"Iqbal kamarnya di mana, Zel?" tanya Ica lagi.
"Di atas," sahut Azel.
Ica menyeringai kecil dan hendak beranjak dari sofa. Siapa tahu Ica bisa ngintipin Iqbal, eh pas waktu ngintip Iqbal lagi ganti baju, kan lumayan.
Begitu pemikiran Ica.
"Selangkah lo naik tangga, gue kasih tunjuk kecoa lo!"
Ancaman itu membuat Ica bungkam. Cewek itu menghentikan langkahnya dan berjalan kembali menuju sofa dengan wajah kesal.
"Ntar juga turun sendiri, udah sabar aja," seloroh Azel. Ia mengganti saluran televisi dengan kesal.
"Ih, pake iklan segala!"
Suara derap langkah kaki di tangga mengalihkan perhatian tiga sahabat itu. Irma dan Ica serempak menolehkan kepala mereka ke arah tangga. Mereka langsung terperanjat bangun dari duduk saat mendapati Iqbal si Adek Kelas Baru itu tengah berjalan ke arah mereka dengan rambut basah yang masih dikeringkan.
Dahi Iqbal mengernyit melihat dua cewek yang lupa caranya menutup mulut mereka itu dalam keterkejutan mereka. Pemuda itu menggeleng dan bergegas melewati keduanya begitu saja, dan duduk di samping Azel. Hal itu tidak luput dari mata Irma dan Ica, bagaimana si Adek Kelas Baru mereka itu tengah menggoda Azel yang bersungut-sungut pada pemuda itu.
"Gue bilang beli sendiri!"
"Gimana kalo kita suap-suapan aja?"
"Lo itu kurang kerjaan banget sih!"
PLAK
Irma dan Ica meringis menyaksikan Azel yang dengan tidak berperikemanusiaannya menggeplak lengan pemuda itu. Iqbal bukannya kesakitan malah tertawa.
Mereka masih berdiri dengan pandangan nanar memandang keduanya sampai Azel tersentak dan ingat dengan keberadaan mereka.
Baru inget, dia!
"Bal, kenalin noh, temen gue."
Azel menatap sekilas ke arah mereka sambil menunjuk keduanya.
"Yang baju merah namanya Irma, yang baju ijo namanya Ica," lanjutnya seraya mengunyah kripik singkong.
Iqbal memperhatikan keduanya dan beranjak dari duduknya. Pemuda itu tersenyum sambil membenarkan kacamatanya dan mengulurkan tangannya ke arah mereka. Tapi Iqbal harus langsung menaikkan alisnya kala dua cewek itu tak kunjung menjabat tangannya.
"Kok bengong, Kak?" tanya Iqbal begitu Irma dan Ica masih mematung. Ini efek pesona Iqbal. Ingatkan dua cewek itu untuk bernapas sangkin terpesonanya dengan senyum Iqbal yang langka itu.
Iqbal ini orangnya ramah. Bukan semacam pemuda dingin nan cool seperti kebanyakan yang lainnya. Sifat dari kecilnya.
Sifat ini juga yang membuat Iqbal mempunyai banyak teman selain didukung paras gantengnya.
Azel menengadah dan ikut menatap dua sahabatnya. Ia melirik tangan Iqbal yang masih mengambang di depan mereka. Azel beranjak dan mengamankan toplesnya.
Dua cewek itu masih mematung saat Azel ikut-ikutan berdiri di samping Iqbal.
"Temen lo kenapa?"
Iqbal mengernyit lagi.
Azel mengedikkan bahunya dan mengibaskan tangannya di depan wajah mereka. Azel mendengus sebal saat tidak mendapat respon.
Sangkin sebalnya, Azel menepukkan tangannya tepat di depan mereka, dan ajaibnya, mereka langsung tersadar. Lengkap dengan latah yang secara reflek keluar.
"Ayam!"
Azel tersenyum geli. Iqbal di sampingnya juga ikut terkekeh.
"Irma."
"Ica."
Dan sekarang mereka tengah berebut menjabat tangan Iqbal yang sejak tadi mereka abaikan. Iqbal tersenyum.
"Gue Iqbal," kata Iqbal. "Tunangan Fazlina," sambungnya.
Irma dan Ica yang mendengar hal itu jatuh pingsan dan mimisan.
~♥~