8- Di UKS

1640 Words
~♥~♥~♥~♥~     "I'll keep being in front of you so you can't forget me I'll keep shaking your heart so you can't escape me I will steal your lips and run far away I'm a Trouble Maker" -- Trouble Maker (Trouble Maker)   ~♥~   Azel masih tercengang di tempatnya berdiri hingga sebuah, ralat dua buah bisikan memenuhi indra pendengarannya yang tadi secara ajaib berdengung. "Lo kenal sama Iqbal?" "Azel, seriusan? Gue lagi nggak mimpi kan Iqbal barusan nyapa lo?" Azel menggelengkan kepalanya seolah tidak setuju dengan dua buah pertanyaan sekaligus yang dilontarkan kedua sahabatnya. Azel menatap Iqbal lekat-lekat. "Maaf, salah orang kali." Dan setelah ia mengucapkan kalimat singkat itu ia bergegas meninggalkan area kantin sekolah. Oh jangan lupakan dua sahabat Azel yang senantiasa mengekori Azel kemanapun gadis itu pergi. "Eh, Zel? Kok kita ditinggal sih?" "Tungguin!" Mereka berdua memandang Iqbal sekali lagi sebelum benar-benar meninggalkan kantin. Iqbal tersenyum senang dan malah semakin melebarkan senyumnya. Di samping kirinya, Adit, menepuk pelan bahunya seraya mempertanyakan pertanyaan yang sejak tadi bercokol di pikirannya. Mungkin bukan hanya di pikiran Adit saja, namun di pikiran semua siswa yang masih asik menonton peristiwa barusan. "Lo kenal sama dia?" tanya Adit. Cowok itu mengernyit menatap Iqbal dari samping. Iqbal hanya bergumam dan meneruskan langkahnya. Diikuti keempat cowok yang baru dikenalnya. "Gue jarang ngeliat dia deh," kata Adit. Adit menyenggol lengan temannya yang lain yang juga mengedikkan bahunya. "Dia kayaknya bukan siswi populer di sekolah ini." Kali ini Erza menyahuti. Erza membenahi kacamata hipsternya dan mendudukkan dirinya di atas kursi kantin favoritnya. Meja mereka letaknya di tengah kantin kelas X. Persis di tengahnya. Benar-benar membuat siapapun yang ingin memesan makanan harus melewati meja mereka. Dan itu yang membuat Azel sebal melihat tingkah geng mereka yang sukanya tebar pesona, seolah menunjukkan kekuasaan orang tua mereka yang profesinya pejabat itu. "Mau dia populer kek, kuper kek, gue nggak peduli." Iqbal berkata sinis sambil menatap Erza. Erza yang ditatap begitu hanya memasang cengirannya. "Tapi gue sering ngeliat dia di ruang dance sekolah," kata Deon. Setelah semenjak tadi ia hanya bungkam. Deon menepuk-nepuk lengan teman yang duduk di sampingnya membuat cowok bernametag Reyhan itu mengaduh. "Lo juga sering ngintipin Kak Mega di ruang latihan dance itu kan, Han?" tanya Deon. Matanya berbinar setelah mendapat ingatannya. "Iya, sih. Tapi nggak sering juga, coeg! Lo kan yang maksa gue ikut ngintip mereka lagi latihan!" Reyhan menggeplak kepala Deon. "Dance?" tanya Iqbal. Membuat ulah Reyhan dan Deon yang tengah bertukar geplakan itu menoleh serempak. "Iya. Ekskul dance. Yang ruangannya ada di situ, tuh." Deon menunjuk koridor di sebrangnya, dan tepat di ujung koridor itu terdapat sebuah ruangan dengan pintu yang biasa kita jumpai di supermarket itu. "Oh iya, ngomong-ngomong tentang ekskul, lo mau ikut ekskul apaan, Bal?" lanjut Deon. Deon ini memang yang paling cerewet di antara mereka berempat, sebelum kedatangan Iqbal. Iqbal tampak berpikir sejenak. "Yang ikut ekskul dance itu ada cowoknya?" Reyhan hampir tersedak aqua gelasnya saat dengan antusias menjawab, "Ada. Ada." sahutnya. "Tapi cowoknya kebanyakan pada melambai gitu, deh," lanjutnya sambil tertawa. "Yep, cuy! Mereka sukanya lagu kpop sih. Makanya cowok yang ikut, gemulai semua." Deon tertawa sambil menepuk tangannya. Tawanya bersahutan dengan Reyhan. Reyhan lebih parah lagi. Cowok itu kini tertawa sambil mempraktekkan tangannya yang dicolek-colekkan pada Deon. Yang malah ditanggapi tawa Deon. Adit dan Erza yang melihatnya hanya menggeleng sambil tersenyum. "Oh ya? Ish, kayaknya nggak asik kalo gitu." Iqbal mengambil segelas air mineral itu dan menusukkan sedotannya. "Ada ekskul taekwondo nggak disini?" tanya Iqbal menatap lurus-lurus Adit dan Erza. Adit memiringkan kepalanya. "Lo ikut taekwondo?" Iqbal mengangguk sambil meringis. "Gue emang suka taekwondo dari SMP." Mereka serempak mengangguk. "Ada, kok. Lo gabung aja. Entar gue bilang ke Bang Yudis ketuanya." Adit menjelaskan. Mata Iqbal berbinar dan langsung tersenyum. "Thanks bro! Loph you pul deh pokoknya!" Mereka tertawa mendengar perkataan Iqbal. Mereka benar-benar tidak menyangka akan langsung akrab dengan pemuda itu. Padahal Iqbal baru saja masuk ke kelas mereka satu setengah jam yang lalu, tapi perangainya yang supel dan santai membuat pemuda itu mudah akrab dengan mereka. "Kenapa lo nggak gabung bareng kita aja, Bal?" tanya Deon. "Ikut tim basket." Reyhan menambahkan. Erza menempeleng kepala dua cowok itu sebelum menyahuti. "Kalian emangnya apaan, eh?! Orang kalian juga baru masuk tim ekskul biasa, bukan tim basket inti sekolah kayak Adit. Sombong amat!" Erza berdecih. Reyhan mendengus. "Ya kan kita masih kecil, kakak... macih halus belajal," kata Reyhan dengan mulut dimajukan. Sontak Deon tertawa girang. "Lo masuk tim inti, Dit?" tanya Iqbal. Pemuda itu membenarkan rambutnya yang sempat miring. "Iya." "Kok bisa?" tanya Iqbal lagi. Adit mengedikkan bahunya. "Kan setiap siswa kelas X yang ikut basket diseleksi sama senior buat masuk tim inti, dan gue kepilih. Jadi gitu deh," jelas Adit. "Iya, dia emang jago basket dari masih kecil." Deon menatap sinis Adit. Adit hanya diam tidak menanggapi. "Mungkin sejak dalam kandungan emaknya, Adit udah jago main basket," canda Reyhan. "Si b**o! Mana bisa?!" Erza menggeplak kepala Reyhan sekali lagi. "Eh, Bogel! Ini kepala udah difitrahin, jangan maen geplak aja!" Reyhan balas menggeplak kepala Erza. "Gue nggak bogel!" sungut Erza. "Oh ya? Disini yang tingginya cuman 170 cuma lo, kucrut! Gue sama yang lain lebih dari itu!" "Tapi jangan panggil gue bogel, t*i!" "Eitz.. Dilarang bicara kasar Reynaldi Erza Perwira!" Deon melerai keduanya. Iqbal yang menyaksikan tingkah keempat teman barunya menggelengkan kepalanya. Dan ia harus mengakui, ia senang berada di sekeliling mereka.   ~♥~   "Azel, tungguin!"   Azel menutupi kedua telinganya sambil terus melangkahkan kakinya. Hinga ia sampai di depan pintu toilet, ia memeletkan lidahnya ke arah dua cewek yang sedang mengejarnya. Azel memasuki toilet itu dan masuk ke salah satu biliknya. Menguncinya dengan rapat kemudian menenangkan dirinya di sana. "Lo kenal sama Iqbal, Zel?" Azel dapat mendengar Irma bertanya di depan pintu biliknya. Azel menekan tombol push di closet, sebagai alibi untuk tidak menjawabnya. "Si Kampet! Ditanyain, juga!" Azel bergidik mendengar Irma menggebrak pintu didepannya. "Udah lah. Dia mah gitu orangnya, suka main rahasia-rahasiaan ke kita. Lo kayak nggak kenal dia aja sih!" Ica membasuh kedua tangannya di wastafel. "Tapi kok Iqbal bisa kenal ya sama Azel?" Irma kembali bersuara. "Mungkin mereka temen facebook." Ica membenarkan lip cream di bibirnya, lalu mengoleskan sekali lagi. "Mana mungkin! Ini tuh kayaknya mereka udah kenal deket!" sergah Irma. "Nggak ada adek kelas yang tau panggilan kecil Azel. Biasanya juga mereka manggil Azel dengan sebutan Kak Fazlina, malah ada manggil dia Kak Nindy," sambung Irma. Ica mengeringkan tangannya dan menatap Irma lamat-lamat. "Betul, juga!" Jemarinya membuat suara Klik. Irma mengangguk-anggukkan kepalanya. Kedua cewek itu langsung bergegas mendekati bilik Azel dan mengetuk-ngetukkan tangan mereka di pintunya. "Lo nggak bisa bohongin kita." "Gue udah bilang kalo gue nggak kenal sama Iqbal!" "Lo boong, Fazlina!" Azel menyeka keringat dingin di pelipisnya. Ia duduk di atas closet dengan gelisah. "Gue serius nggak kenal sama dia!" Azel berteriak sekali lagi. Beruntung toilet di gedung kelas XI sedang sepi, jadi suara teriakan mereka bertiga yang bersahutan tidak mengganggu siapapun. "Kalian lebih baik duluan ke kelas," kata Azel setelah suara-suara di luar biliknya tidak terdengar lagi. Azel tahu mereka tengah berbisik sekarang, tapi Azel tidak bisa mendengarnya. "Lo mau hindarin kita kan?" "Nggak, sumpah! Perut gue mules, sakit banget ini! Jadi kalian duluan aja ya." Azel berdoa dalam hati agar perkataannya tidak menjadi nyata. Ia berharap agar perutnya masih baik-baik saja. "Ya udah, kita balik." Setelah mendengar kasak-kusuk di luar bilik Azel mengira kedua sahabatnya sudah akan meninggalkan toilet. "Ijinin gue, jangan lupa! Gue mau langsung ke UKS abis ini!" Teriaknya sekali lagi. "Sip! Pokoknya lo harus jelasin semuanya ke kita, nanti!" Azel menghela napasnya saat mendengar pintu tertutup. Ia mulai membuka pintu di depannya dan berjalan mengendap ke arah pintu toilet,  Azel membuka pintu itu dan melongokkan kepalanya ke luar. Dan menghembuskan napasnya sekali lagi saat tidak ada siapa-siapa di luar. Azel berjalan meninggalkan toilet dan mulai berjalan menyusuri koridor yang sepi. Jarang yang masih berkeliaran di luar kelas mereka karena bel masuk telah berbunyi 10 menit yang lalu. "Gue mau ke mana ini?" Azel bermonolog. Tidak canggung berbicara sendiri karena ia yakin tidak ada orang yang memperhatikannya. "Ke kantin? Ah nggak, gue udah kenyang plus kembung." Azel melewati ruang dance dan berjalan ke koridor penghubung kantin. "Kalo ke perpus? Bosen juga. Nggak ada apa-apa di sana juga! Cuma wifi gratis doang, dan kuota gue masih banyak." Azel melangkahkan kakinya ke sudut sekolah, tatapannya mengedar, bisa gawat kalau sampai ada guru yang memergokinya membolos jam pelajaran sekarang. "Kayaknya gue beneran ke UKS aja deh. Anjir itu pasti Irma sama Ica doain supaya gue bener-bener ke UKS sekarang!" Azel melangkahkan kakinya menuju ruangan yang ditujunya. "Lumayan gue bisa tidur di dalem." Ia membuka pintu berlogo palang merah itu perlahan. Aroma obat-obatan langsung merasuki penciumannya. "Eh, sepi?" Azel melangkah masuk dan menutup pintunya. Matanya menelisik seisi UKS. Ia mendekati lemari besar yang berisikan piala kepunyaan ekskul PMR. Kemudian mengamati tulisan yang tergores di piala itu satu-persatu. "Enak ya yang punya banyak piala nasional," gumam Azel. “Ekskul dance tahun ini belum ada prestasi apa-apa.” Bibirnya mencebik samar. Azel melangkahkan kakinya ke dalam bilik yang berbataskan sebuah tirai berwarna hijau. Azel menyibaknya dan langsung merebahkan tubuhnya di atas brankar. "Gue tidur aja ah!" Azel memiringkan tubuhnya menghadap tirai berwarna lain di depannya. Tirai berwarna biru tua itu di sebrangnya juga berisi brankar. Jadi pemisah dua brankar itu hanyalah sebuah tirai. Azel yakin jika tidak orang di dalamnya. Gadis itu menyangga kepalanya dengan kedua tangannya sebagai pengganti bantal. Ia mulai memejamkan matanya. "Sstt...." Azel terusik dalam pejaman matanya. Azel dengan perlahan membuka matanya dan menajamkan pendengarannya barangkali ia salah dengar. Namun suara itu tidak kunjung datang kembali, jadi Azel simpulkan kalau tadi ia hanya berhalusinasi. Azel kembali memejamkan matanya. "Ssttt..." Lagi-lagi suara itu datang. Azel membuka matanya kembali dan langsung menegakkan tubuhnya hingga duduk. Tiba-tiba ia jadi merinding sendiri. "Azel ...." Azel membelalakkan matanya dan mengambil selimut untuk menutupi tubuhnya. Emang beneran ada setan siang bolong begini gitu?! "Azel...." Kali ini Azel mengernyitkan keningnya. Itu ... seperti suara Iqbal? Azel menggelengkan kepalanya dan menepis semua pikiran buruknya. "Ini pasti halu." Sekali lagi menganggap kalau ini hanya halusinasinya. "Gue pasti udah gila karena sampai halusinasi suara Iqbal!" "Bukan halu, kok...." Azel terkesiap kecil dan hampir terlonjak. Ia menatap tirai biru itu, dan memposisikan duduknya menghadap tirai tersebut. Tangan Azel bersiap membuka tirai itu, sambil memejamkan matanya erat-erat. Takut juga.   SRASH!   "Kyaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!"   Azel menjerit sambil memejamkan matanya erat-erat. Ia menutupi wajahnya dengan telapak tangannya bersamaan dengan tirai yang dibuka oleh sesosok itu. "Haha...." Azel mengerutkan keningnya mendengar tawa itu. Iya, benar. Itu suara Iqbal. Dengan cepat ia menyingkirkan tangannya dan langsung melongo melihat Iqbal yang duduk berhadapannya sambil memasang cengirannya. Iqbal juga memposisikan duduknya miring, sejajar dengan duduk Azel. "Hi, Kak Azel! Kita ketemu lagi, ya."   ~♥~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD