Bab 86

1175 Words
Stevan masih cekikian melihat Novan yang mendengus kesal. Nafsu makan Novan hilang ketika Stevan bercanda soal kotoran. Ia nyaris saja memuntahkan makanannya. “Masih jijik?” Tanya Stevan. Novan mendengus kesal dan jalan lebih cepat. Stevan cekikian. “Maaf deh maaf. Kamu mau makan lagi nggak?” Stevan menawarkan. Novan melirik sekitar. “Beliin itu.” Novan menunjuk ke stand frozen yoghurt yang terkenal. “Oke.” “Aku yang pilih toppingnya.” Stevan mengedikkan bahunya. “Silakan.” Mereka menghampiri salah satu stand itu dan ikut mengantre di sana. Mereka mendapat giliran setelah menunggu beberapa saat. “Baik mas, mau pesan apa?” Tanya pegawai perempuan di sana. “Black frozen yoghurt 6 topping yang di take away,” bisik Novan pada Stevan. “Black frozen yoghurt 6 topping mbak.” Stevan mengulangi pesanan Novan. “Oke, baik.” Pegawai perempuan itu mencatat pesanan mereka di tablet. “Toppingnya mau apa aja mas? Ini pilihan toppingnya ada di sini.” Pegawai itu menunjuk ke meja etalase di sebelahnya. “Marshmallow, choco chips, mangga, yang itu, terus ini, terus ini. Oh ya, pakai sausnya bisa nggak? Kalau bisa pakai sausnya salted caramel ya.” “Oke, baik mas. Kami siapkan dulu.” Pegawai perempuan itu dengan telaten mengambil setiap topping yang di tunjuk oleh Novan dan menyiapkan pesanan mereka di belakang. Tak lama, pegawai yang lain datang membawakan pesanan mereka. Stevan terbelak kaget saat melihat paper bag yang lumayan besar. “Pesanannya mas. Ini totalnya Rp220.000,00,” ujar pegawai itu. “Hah?!” Stevan melongo mendengarnya. Ia melirik Novan yang senyam- senyum di sebelahnya. “Mas? Ini pembayarannya mau cash atau pakai kartu debit?” Tanya pegawai di kasir. “Hah, debit aja bisa kan mas?” Stevan mengeluarkan kartu debit dari dompetnya. “Oh bisa mas. Silakan gesek kartunya di sebelah sini.” Stevan sibuk dengan pembayaran, sedangkan Novan sudah mengambil paper bag dan mengintip isinya. Frozen yoghurt ini di masukkan ke dalam ice box ukuran sedang, sedangkan bagian toppingnya di taruh dalam plastik yang lain. “Lumayan juga ya ternyata,” gumam Stevan. “Bah, tempatnya aja pakai ice box gitu. Pantesan mahal, udah agak curiga memang dari awal.” Novan nyengir lebar. “Hehe … nggak apalah sesekali …” Gumam Novan. “Ah, ya udahlah. Lagian banyak juga isinya. Udah kamu buka belum?” Stevan mengintip paper bag. “Belum.” “Ya udah, nggak usah di buka dulu. Bukanya nanti aja di rumah.” Stevan mengeluarkan kunci mobil. “Kita pulang sekarang ya?” Novan melirik jam tangannya. “Oh, udah hampir sore. Ya udah pulang aja.” **** Mereka terjebak di jalanan yang padat merayap. Yah, ini memang jam pulang sekolah. Mereka terjebak macet di tengah mobil dan kendaraan bermotor yang lain. Novan menatap keluar jendela, memperhatikan anak- anak yang memakai seragam putih abu- abu di luar sana. “Besok kamu udah sekolah kan,” gumam Stevan. Novan mengangguk pelan. “Kangen sekolah nggak?” “Lumayan,” jawab Novan. “Tapi agak takut.” “Hadapin aja dulu. Tapi kalau kamu nggak kuat, kamu bilang aja. Aku bantu.” Novan mengangguk. “Mau pulang besok atau nanti?” “Ya nantilah. Kalau pulang besok di bantai duluan nanti sama papa.” “Oke, oke. Tapi kamu hubungi dulu papamu, kalau kamu bakal pulang telat. Ini macet agak lama kayaknya.” “Iya, iya.” Novan mengeluarkan smartphone. Ia malas menelpon papa, jadi ia memilih untuk chat saja. Yah, semoga aja papanya membaca chat itu. “Jangan di chat, telpon. Nanti nggak di baca itu kalau chat doang,” timpal Stevan. “Malas.” “Nanti di bantai sampai rumah. Atau nggak minimal kamu miss call aja dah gitu, biar di baca chatnya,” saran Stevan. Novan mendengus dan akhirnya mengikuti saran Stevan. Ia menelpon papa. Setelah terdengar nada sambung, lalu langsung menutupnya. “Nanti kamu baliknya pakai seragam, kayak baru pulang sekolah. Besok aku antar ya ke sekolah kayak biasa.” Novan mengangguk. “Iya, makasih.” “Perlu aku antar sampai ke kelas nggak?” “Nggak. Nggak usah yang aneh- aneh deh Van, bukan bocah lagi.” “Ya, kali aja kamu takut pergi ke kelas sendiri.” Novan hendak menampol Stevan, tapi langsung di cegatnya. “Becanda, becanda.” Stevan cekikian. “Tapi aku tetap antar kamu ke sekolah kok. Kalau kamu takut, nanti aku antar balik aja ke apartemen.” “Jangan ngajak bolos dah, baru siap diskorsing juga.” “Kan kamu belum siap ke sekolah,” ujar Stevan. “Nggak usah nambah hukuman aku dah.” “Iya iya, ya udah. Pokoknya kalau kamu mau bolos sehari, nggak apa. Telpon aja aku, nanti aku jemput. Minta izin.” “Dih, emangnya boleh gitu?” “Nggak apa, sesekali.” Ia mengacak- acak rambut Novan. “Terlalu banyak belajar juga nggak bagus, sesekali healing ada bagusnya juga kan.” **** Sesampainya di apartemen, Novan langsung berkemas. Ia mengambil seragamnya yang di jemur dan memakainya tanpa di setrika lebih dulu. “Setrika dululah bentar, kusut banget itu,” saran Stevan. “Halah, lama nanti,” tolak Novan. Ia memasukkan buku- buku ke dalam tasnya dan menenteng tasnya. “Kamu antar aku pulang kan?” “Ya iyalah. Bentar.” Stevan membuka lemari di bawah televisi dan mengambil salah satu kunci di sana. “Udah, ayo.” Mereka keluar dari kamar apartemen. Stevan menguncinya. Mereka masuk ke dalam lift dan turun ke lantai paling bawah. “Aku nggak antar kamu naik mobil ya. Macet soalnya.” “Lah? Jadi naik apa?” Stevan menunjukkan kunci yang ia pegang. “Motor.” **** Lift berhenti di lantai paling bawah yang tidak jauh dengan parkiran. Mereka pergi ke parkiran sebelah kanan, tempat dimana motor- motor terparkir. Novan tidak pernah masuk ke parkiran ini sebelumnya. Motor- motor gede berjejer di sana. Ada juga beberapa vespa antik yang harganya lumayan juga. “Motor kamu mana Van?” Tanya Novan. Stevan celingak celinguk memperhatikan sekitar. Melihat jejeran motor gede di sana, sepertinya salah satunya ada milik Stevan. Atau mungkin vespa? Entahlah, tapi sedari tadi mereka mengelilingi parkiran. “Belum ketemu juga Van?” Tanya Novan. “Bentar, aku lupa dimana …” Stevan mengedarkan pandangannya. “Oh, itu dia!” Stevan menunjuk ke jejeran motor gede di sana. Kan, sudah di bilang. Kalau Stevan mah, pastinya demen sama motor gede begitu. Stevan melewati jejeran motor gede itu dan pergi ke sudut paling belakang. Loh? Motor gede itu bukan punya Stevan? Berarti Stevan bawanya vespa gitu? Novan tercengang saat Stevan datang menghampirinya dengan motor yang ia kendarai. Klakson nyaring dari motor itu menggema di parkiran. “Yuk Van! Naik!” Stevan memberhentikan motor di sebelah Novan. Novan melongo melihat sebuah motor bebek keluaran lama yang di kendarai oleh Stevan. “Kenapa? Kok bengong? Ayo naik!” “Ini aman Van?” Tanya Novan ragu. “Aman. Walaupun udah tua begini dia masih kuat kok. Udah ah buruan naik.” Novan naik ke boncengan belakang dengan ragu. Stevan menyalakan mesin motor dan mengatur kopling gigi. Motor itu pun melaju meninggalkan parkiran. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD