Bab 85

1135 Words
“Mau kamu datangin?” Stevan menawarkan. Novan menggeleng. “Nggak usah, tempat rame nih,” tolak Novan. Stevan menatap Karyo dengan tatapan tajam. “Jangan di lihatin.” “Biarin aja, biar dia sadar. Bicara lewat mata aja. Kamu juga, coba.” Stevan menunjuk Karyo dengan dagunya. Novan yang penasaran ikut melirik. Mereka duduk di bar sushi yang tidak jauh dari family restoran. Bisa- bisanya habis nilep uang joki dia makan sushi di tempat mahal seperti itu. Novan menatapnya dengan tatapan tajam menahan amarahnya. “Wah, dia pergi ke sushi bar. Mahal loh itu,” ujar Stevan. “Hem, banyak ya uangnya,” tukas Novan. “Uang hasil tilepnya lumayan juga ya kayaknya.” Novan mengangguk. “Lumayan dong, tuh lihat belanjaannya lumayan bermerek juga.” Stevan tersenyum sinis. “Hebat ya kamu, bisa hasilin uang sebanyak itu. Itu uang kamu tuh, punya dia sebagiannya aja.” “Ah, udahlah.” Novan mengalihkan pandangannya. “Makanannya belum datang ya?” “Lapar? Tuh, kamu makan aja dia.” Stevan menunjuk Karyo. Novan mendengus kesal. “Permisi mas, pesanannya. Spaghetti bolognese, nasi kari jepang, dan spring roll.” Pelayan datang dan menaruh semua pesanan mereka di meja. “Ada yang kurang mas?” “Nggak, udah semuanya. Makasih banyak ya mas,” jawab Stevan. “Baik. Sama- sama mas. Selamat menikmati.” Pelayan itu sedikit membungkukkan badannya dan pergi meninggalkan mereka. Novan mengambil sepiring nasi kari jepang dan memakannya dengan lahap. “Hei, itu pesananku,” gerutu Stevan. “Gantian!” Novan menyodorkan spaghetti bolognese ke Stevan, yang dengan terpaksa menerimanya. Ia melirik Novan. “Kamu makannya pelan- pelan, nanti keselek.” Stevan menyodorkan segelas air pada Novan. “Selaw, jangan kayak mau makan orang gitu.” “Memang mau makan orang!” Gumam Novan kesal. Semakin panas rasanya melihat Karyo di ujung sana bisa makan yang lebih mahal dengan uang hasil kerja kerasnya. Ia berhasil menghabiskan nasi kari Jepang itu tanpa bersisa, lalu meneguk segelas air hingga habis. Stevan geleng- geleng kepala melihatnya. “Eh, temenmu pergi tuh.” Stevan menunjuk Karyo dengan dagunya. “Eh, dia ke arah sini.” Novan menoleh ke arah yang di tunjuk oleh Stevan. Karyo sudah selesai makan dan jalan melewati family restoran. Mata mereka saling bertemu sesaat. Karyo memalingkan wajahnya dan membicarakan sesuatu dengan perempuan di sebelahnya. “Lah, lah, mereka kemari.” Stevan menyikut Novan. Mereka jalan menghampiri Novan dan Stevan. Novan segera memalingkan wajahnya. “Hai, Van,” sapa Karyo. Novan hanya mengangguk tanpa melirik Karyo. “Ya, hai juga Yo.” “Kamu ngapain di sini?” Karyo melirik kantung belanjaan yang ada di lantai. “Kamu belanja ya?” “Oh enggak, itu aku. Aku yang minta temenin dia belanja,” timpal Stevan. “Ah, anu. Maaf, anda …” “Oh, aku saudaranya Novan.” “Oh, omnya Novan yang kemarin. Siang om.” Karyo hendak menyalim Stevan, tapi Stevan menarik tangannya. Ia hanya mengangguk dan menyinggungkan senyum kecil. “Iya, saya om Novan yang kemarin ketemu di BK.” Stevan melirik perempuan yang menggandeng Karyo. “Siapa nih? Pacar?” “Ah, iya. Pacar saya om, hehe …” Stevan mangut- mangut. “Oh ya, kenalin yang. Ini temenku, Novan, dan ini omnya, om …” “Stevan, panggil aja Stevan.” Stevan mengulurkan jabatan tangan. Perempuan itu membalas jabatan tangannya. “Keila.” Ia menyinggungkan senyum kecil. “Om tapi masih nampak muda ya.” Stevan nyengir lebar. “Iya, saya juga belum setua itu kok. Masih kepala dua kok.” “Ya, tapi kan hampir kepala tiga,” timpal Novan yang di balas dengan sikutan oleh Stevan. Perempuan itu melirik Novan dan mengulurkan jabatan tangan. “Hai, aku Keila.” Ia memperkenalkan diri. “Novan,” balas Novan tanpa membalas jabatan tangannya. Keila tersenyum masam dan menurunkan tangannya. “Kamu teman Karyo yang katanya diskors ya?” Timpal Keila. Novan terbelak kaget. Ia menatap Karyo dengan tatapan tajam. “Wah, ganteng gini ternyata berandalan sampai bisa diskors. Duh, kasian deh sama tampangnya.” “Yang, jangan gitu ngomongnya, yang …” Karyo coba merelai. “Lah kan tapi bener kan yang? Katanya kamu diskors juga gara- gara dia kan ya?” “Ah iya, tapi bukan gitu yang. Emang iya aku diskors tapi …” Karyo menelan ludah. Novan dan Stevan menatapnya dengan tajam, seakan hendak menerkam Karyo kapan pun. “Yang, kita balik yuk. Katanya kamu mau lihat- lihat tas lagi kan di atas?” “Loh, jadi nih mau lihat tas? Katanya kamu udah nggak ada duit lagi?” “Ada kok yang. Apa sih yang nggak buat kamu?” Gombal Karyo. Novan dan Stevan merasa mual mendengar gombalan yang sudah basi. “Ayang bisa aja deh emang.” Keila menggelendot manja di lengan Karyo. “Ya udah yang, ayo kita cari tas yuk.” “Oke oke. Kami duluan ya Van,” pamit Karyo. Ia melambaikan tangannya, yang di balas oleh Stevan. “Wah, itu temenmu beneran bucin sih,” gumam Stevan setelah Karyo dan pacarannya menjauh. “Bucin b**o sih. Aku denger gombalannya aja geli.” Bulu kuduknya merinding geli mengingat gombalan basi Karyo. Ia mengelus kedua lengannya. “Seumur kalian kalo udah bucin emang gitu, lupa diri lupa ingatan. Nanti nyesel dan malu ingat masa- masa bucin itu.” “Kamu nggak bucin gitu kan ya?” Tanya Novan penuh selidik. Stevan mendengus. “Ya nggak mungkinlah! Aku ini orang dewasa, mana ada bucin kayak gitu! Nggak level!” Stevan membusungkan dadanya. Novan mangut- mangut. “Iya dah, iya. Jangan sampai aja sih bucin kayak gitu, entar aku tampol.” “Eh tapi tadi ceweknya kayak ada bilang sesuatu dah … bilangnya kamu yang diskors ya?” Tanya Stevan. “Iya, ceweknya bilang tuh Karyo kena skorsing juga gara- gara aku,” jawab Novan. Stevan terbelak. “Padahal kena skorsing gegara cowoknya. Buset dah si Karyo, mutar balikkan fakta dia.” “Ya udahlah, biarin aja.” Novan memotong spring roll dan memakannya. “Namanya juga bucin, kan dia mau terlihat paling baik di mata si doi.” Stevan mangut- mangut. “Yah, bener juga sih kamu. Namanya juga cinta ya, kadang bikin b**o. Kotoran pun rasa coklat jadinya,” ujar Stevan. “Hei, orang lagi makan nih!” Protes Novan yang sedang mengunyah spring roll. “Lah, jijikan toh?” Novan mendengus masam. “Memangnya siapa yang nggak jijik kalau di bilang begitu?!” Protes Novan. “Aku.” Stevan menunjuk dirinya. “Maaf deh, maaf. Makan aja udah, enak nih spring rollnya.” Stevan mengambil potongan spring roll yang lain dan memakannya. “Walaupun ini ujung- ujungnya bakalan jadi kotoran juga, ya kan?” Novan menatap tajam Stevan. “STEVAN!” Protes Novan. Stevan cekikian melihatnya. Novan menaruh kembali potongan spring roll ke piring. Ia mendengus kesal. Hilang sudah nafsu makannya. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD