Bab 94

1155 Words
Akhirnya jam pulang sekolah tiba. Novan menghela napas panjang. Hari ini jauh lebih lelah daripada biasanya. Semua orang menatapnya dengan tatapan penuh curiga. Novan bisa mengabaikannya, tapi ia tidak bisa menghalau rasa risih. Andi mengingatkan agar tidak terpancing. Ya, Novan tidak akan terpancing untuk membalas omongan mereka, itu akan semakin memperkeruh. Biarkan saja dulu mereka dengan asumsi itu, sampai kebenaran terkuak. “Ayo Van,” ajak Andi sambil menggendong tasnya. “Eh, bentar.” Novan bangkit dari duduk. Ia mengeluarkan smartphone dan menekan nomor Stevan. Terdengar nada sambung di ujung sana. “Ya, hallo,” ucap Stevan di ujung sana. “Van! Aku udah pulang nih…” “Oh ya udah, aku jemput sekarang ya,” potong Stevan. “Nggak usah, aku pulang sendiri aja. Aku habis ini ada rapat sebentar sama anak OSIS, jadi telat pulangnya.” “Oalah. Oke. Hati- hati nanti pulangnya.” “Iya, iya, udah dulu ya.” Novan mematikan telpon dan kembali mengantongi smartphone di saku celananya. “Laporan dulu ke rumah ya? Papamu?” Tanya Andi. “Bukan, hem, om? Paman aku,” jawab Novan. “Oh, yang datang jemput kemarin ya?” Novan mengangguk. “Bukannya kamu bilang itu abangmu ya?” “Hem, ya, om rasa abang? Aku bilang aja abang biar dia senang, katanya dia belum tua, nggak mau di panggil om,” jawab Novan. “Masih muda? Yah, emang kelihatan masih muda sih kemarin. Umur berapa?” “Hem, 20-an akhir sih, kayaknya. Pokoknya nggak sampai beda 10 tahun sih.” Andi mangut- mangut. “Kasian tuh om kamu.” Novan mengernyitkan alisnya. “Kasian kenapa?” “Ya, kasian. Kalau gitu kan, tandanya dari dia kecil udah jadi om. Masih kecil udah di panggil om, kan nampak lebih tua gitu ya …” Novan cekikian mendengarnya. “Benar juga sih kamu.” ***** Mereka tiba di ruang rapat OSIS. Ruang rapat ini tidak besar, karena hanya di gunakan untuk rapat penting dengan petinggi OSIS saja. Andi menutup pintu ruang rapat. “Kayaknya baru kita yang datang ya,” gumam Andi. Novan mengangguk. “Siapa bilang?” Timpal seseorang di belakang. Mereka tersentak kaget dan menoleh ke belakang. Valdi berdiri di balik pintu. “Aku udah di sini daritadi.” “Ya Tuhan, Valdi …” Mereka menghela napas lega dan mengelus d**a. “Buat kaget aja.” “Cepat amat. Perasaan bel pulang baru bunyi dah,” ujar Andi. Ia menaruh tasnya di salah satu kursi di sana. “Bu Laras tadi izin pulang lebih cepat, jadi aku langsung ke sini,” jawab Valdi. Ia duduk di kursi paling besar di sana. “Mana yang lain?” “Palingan nyusul sih,” jawab Andi. “Kamu taruh aja tas kamu dimana aja Van,” pinta Valdi. Novan menaruh tasnya di kursi sebelah Andi. “Sambil nunggu yang lain, nih.” Valdi mengeluarkan sekantung gorengan dan menaruhnya di tengah meja. “Makan dulu, makan.” “Katanya nggak boleh makan di ruang rapat OSIS …” Gumam Andi. “Bukan ngga boleh makan di ruang rapat OSIS …” Valdi mengunyah pisang goreng. “Tapi nggak boleh makan waktu lagi rapat. Beda. Dah, dah, makan dulu.” “Yaelah.” Andi mengambil tahu isi dari sana. “Kalau nanti ruangannya bau, kamu jangan ngomel ya.” “Tenang aja, tenang. Udah antisipasi kok. Aku udah beli ini!” Valdi menunjuk pewangi ruangan otomatis yang tertempel di sudut ruangan. “Ruangan kita bakal wangi terus setiap saat!” “Beneran jadi kamu beli ya. Pakai uang kas?” Valdi menggeleng. “Nggak dong, pakai uang sendiri.” Valdi mendengus. “Mending uang kas di tabung dulu dah buat event ini. Banyak request, tapi anggaran nggak mencukupi.” “Yang ada ajalah Val, jangan yang terlalu heboh kali. Ingat, habis ini kita masih ada event loh.” Valdi menghela napas panjang. “Ya makanya, ini juga kan lagi getol kumpulin dana biar lancar juga event selanjutnya.” Valdi melirik Novan dengan ujung matanya. “Tapi malah ada kejadian pula.” “Ya, kan aku nggak tahu bakalan kejadian kayak gini,” timpal Novan. “Jujur nih ya, kabar itu benar nggak?” Tanya Valdi. “Menurutmu?” Novan mengunyah risol. “Apa anak baru kayak aku bisa nyuri soal di ruang guru, yang ruangannya banyak itu? Aku aja sampai sekarang masih sering nyasar kalau ke ruang guru.” “Hah? Yang bener? Kan ruang gurunya cuma ada 4 di sini,” ujar Valdi tak percaya. “Cuma? Kamu bilang ‘cuma’? Itu banyak tahu! Mana ruangan guru IPS dan IPA berbeda, terus guru kelas 10, 11, dan 12 juga beda.” Novan geleng- geleng kepala. “Ah, iya juga sih ya. Sekolah kita emang lumayan ramai gurunya ..” Gumam Valdi. “Kalau di pikir- pikir iya juga ya …” “Tapi soal kamu buka jasa joki itu, bener?” Tanya Valdi. Novan mengangguk. “Bisa- bisanya kamu kepikiran cara begitu. Itu ide dari kamu kan?” Novan kembali mengangguk. Valdi melipat kedua tangannya di d**a. “Sebenarnya itu caranya keren sih, nggak biasa. Tapi emang harus main aman, susah kalau ketahuan sama guru- guru di sini. Peraturan soal contek menyontek di sekolah ini ya, agak lumayan ketat juga.” “Berarti sebelumnya nggak pernah ada yang buka jasa joki gitu?” Tanya Novan. Valdi dan Andi menggeleng. “Nggak. Karena guru- guru biasanya tanda sih, kalau udah ada jasa kayak begituan bisa tercium. Emang gampang curigaan sih.” Valdi mengangguk setuju. “Kalau ujian, udah pasrah aja. Nggak bisa itu contekan apalah segala macam, udah pasti nggak bakalan kepake. Apalagi kalau yang jaga tuh bu Julia, pak Gunawan, udah deh. Pasrah aja.” “Bu Julia ikutan ngawas juga kalau ujian?” Tanya Novan kaget. Valdi dan Andi mengangguk bersamaan. “Setidaknya, sekali ada beliau jaga selama ujian. Kalau udah kena beliau itu apes banget sih,” jawab Valdi. “Sekolah kita ini memang nggak perlu lagi dah CCTV buat ujian, nggak perlu. Cukup bu Julia aja tuh keliling, semuanya bakalan ketangkap,” tukas Andi. “Makanya tuh pak kepsek nggak jadi mau pasang CCTV, padahal kemarin udah di bahas soal itu. Katanya sekalian pasang speaker juga di setiap kelas, biar kalo ada pengumuman lebih gampang,” ujar Valdi. “Yah, beliau kan penghematan kayaknya itu. Biasalah ya.” Valdi menggeram. Ia berdecak kesal. “Ah, udahlah. Capek aku bahas soal dana- dana itu apalah segala macam. Pusing.” Ia mengambil sepotong pisang goreng dan memakannya dengan sekali lahap. “Mending makan aja dulu dah, nanti kita bahas sama- sama kalau udah pada datang yang lain.” “Kamu!” Valdi menunjuk Novan. “Ceritain semuanya, yang jujur, jangan ada yang di tutupin. Kalau kalian mau berantem di sini pun nggak apa, asal jangan ada yang kelihatan bonyok aja.” Novan agak tersentak kaget karena di tunjuk oleh Valdi, namun ia tetap mengangguk. “Iya, ngerti. Nggak akan ada yang aku tutupin.” ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD