Bab 98

1052 Words
Kopi sangat berefek pada Novan. Ia terjaga sepanjang malam tanpa merasa ngantuk. Semalam suntuk ia mengerjakan tugasnya dan akhirnya selesai tepat saat matahari baru terbit. Novan menghela napas lega. “Akhirnya …” Ia menenggelamkan wajahnya di meja belajar. Lelah juga. Tak lama kemudian, jam wekernya berdering kencang. Novan langsung mematikan jam wekernya. “Telat. Udah bangun duluan,” gumamnya mengejek jam weker. Ia merenggangkan badannya yang kaku karena duduk dalam waktu lama. “Mandi aja dah,” gumam Novan. Ia bangkit dari duduk dan mengambil handuknya. Ia masuk ke kamar mandi. Air dingin di subuh hari yang mengguyur badannya sangat menyegarkan. Selesai mandi, Novan tidak langsung memakai seragamnya. Ia memakai kembali baju kausnya tadi. Ia bingung harus melakukan apa saat ini. Ia melirik meja belajarnya yang berantakan. Ia membereskan meja belajarnya dan memasukkan tugasnya ke dalam tas. Ia mengecek smartphone, mungkin ada pemberitahuan lain dari grup kelompok atau grup kelas. English Lesson Ms. Efri Toro Ini semua udah kumpul ke aku? Biar di print Yudi Aku udah kumpul ya Efi Aku juga udah. Toro @Novan Andriansyah mana tugasnyaa Biar langsung aku print ini Yudi Woi Van @Novan Andriansyah Novan menepuk jidatnya. Ya ampun, saking sibuknya sampai lupa kalau dia belum mengirimkan tugasnya ke Toro. Ia kembali membuka laptop dan mengirimkan tugas secara personal ke Toro. Novan *sent file* Sori Tor, aku telat kirimnya. Lupa. Maaf. Ini udah selesai semua. Sori ya baru kirim pagi ini Toro Oalah Gak apa, masih sempat print kok. Makasih ya. Novan menghela napas lega. Ini jadi pelajaran untuknya agar mengecek kembali sebelum menyatakan tugasnya selesai. Karena bingung mau melakukan apa, akhirnya Novan memilih untuk mengenakan seragamnya. Ia merapikan kamarnya yang tidak terlalu berantakan itu. Menit demi menit berlalu, kegiatan beres- beres kamarnya berhenti saat smartphonenya berdering. Stevan menelponnya. “Hallo, Van.” “Lah, tumben udah bangun jam segini,” ujar Stevan di ujung sana. “Iya, kebetulan. Kenapa?” “Untung kamu bangun cepat. Aku mau ajak berangkat lebih cepat soalnya. Kamu siap- siap terus ya, bentar lagi aku jemput,” pinta Stevan. “Aku udah siap, kamu jemput aja terus.” “Oh, bagus. Ya udah tunggu ya, aku jemput sekarang. Nanti kalau udah sampai aku miscall.” “Iya iya.” Novan mematikan telpon. Ia lanjut membereskan sedikit kamarnya, tak lupa ia menyapu kamar. Kegiatan yang jarang ia lakukan, karena biasa ibu yang membereskan semuanya. Setelah semua beres, ia turun ke bawah. Tampak ibunya sedang menyiapkan sarapan, sedangkan papa menunggu sambil membaca koran di ruang tengah. “Cepat amat bangunnya,” gumam papa saat melirik Novan turun dari tangga. Novan hanya mengangguk. Ia melewati papanya dan hendak mengambil sepatunya dari rak sepatu. “Sarapan dulu baru pergi. Masih jam segini, belum telat,” pinta papa tanpa mengalihkan pandangan dari koran. “Iya pa.” Novan menaruh kembali sepatunya dan pergi ke ruang makan. Ia melirik adiknya, Mikel, yang duduk di kursi dengan wajah yang masih terkantuk- kantuk. “Pagi adiknya abang.” Novan menyapa adiknya ramah. Ia mengelus pelan rambutnya. Mikel mengerjapkan matanya dan menoleh pada Novan. Ia menyinggungkan senyum kecil. “Abang..” Sapanya dengan nada mengantuk. Ia hendak memeluk Novan, tapi malah hampir terjatuh. Untung saja Novan berhasil menangkapnya sebelum jatuh. Ia menggendong Mikel yang jatuh tertidur di gendongannya. Ia keliling rumah sambil menggemong Mikel. “Sarapan udah siap,” panggil ibu dari dapur. Novan kembali ke dapur bersama Mikel yang masih tertidur di gendongannya. Ia memangku Mikel dan menaruh roti bakar di piringnya. “Mikel bangun nak.” Papa membangunkan Mikel. Ia mengguncangkan badan Mikel pelan. Mikel mengerjapkan matanya sesaat, lalu kembali memejamkan matanya. “Mikel …” “Nanti aja pa, biarin aja dia tidur,” ujar Novan. “Ya udah,” balas papa. Mereka kembali melanjutkan sarapan. Novan sedikit kewalahan untuk sarapan karena harus menahan Mikel yang tertidur di pangkuannya agar tidak jatuh. “Udah, sama ibu aja dia,” pinta ibu. Novan menggeleng. “Nggak, nggak apa. Biarin aja dulu,” tolak Novan. Ia memakan potongan terakhir dari roti bakarnya, lalu menghabiskan segelas s**u yang sudah di siapkan. “Mikel, bangun,” bisik Novan di telinga Mikel. Mikel mengigau dan menepis Novan. “Hei Mikel, abang bawa es krim nih,” bisik Novan lagi. Seketika Mikel mengerjapkan matanya. Ia menoleh pada Novan dengan mata yang setengah terpejam. “Mikel mau es krim …” Ngigau Mikel. Novan tertawa kecil. “Iya, nanti ya. Pulang sekolah abang belikan.” Ia mengelus pelan rambut Mikel. “Mikel bangun dulu ya, abang mau pergi sekolah.” Mikel menggeleng. Ia memeluk Novan erat. “Mikel mau sama abang.” “Ya udah kalau gitu, es krimnya nggak usah aja ya,” ujar Novan. Mikel cemberut. “Mikel mau es krim!” Ujarnya tegas. “Nah, makanya. Mikel sama ibu dulu ya, abang mau pergi sekolah dulu. Pulangnya nanti abang beliin,” bujuk Novan. “Janji?” Mikel mengacungkan jari kelingkingnya. “Janji!” Novan ikut mengacungkan jari kelingkingnya. “Udah, kamu sarapan dulu sama ibu. Abang mau pergi sekolah dulu.” Mikel menuruti perintah Novan. Ia turun dari pangkuan Novan dan berjalan perlahan menghampiri ibu. Ia duduk di pangkuan ibu. “Abang berangkat dulu.” Novan meraih tas sekolah yang ia sampirkan di kursi. “Jam segini emangnya udah ada angkot?” Tanya papa. “Abang barengan sama teman, sekalian jilid tugas,” jawab Novan bohong. Papa hanya mangut- mangut mendengarnya. “Ya sudah, hati- hati ya.” Novan mengangguk. Ia melambaikan tangan pada Mikel dan mengambil sepatunya di rak sepatu. Bersamaan dengan itu, smartphone berdering nyaring. Ia mengambil smartphone dari kantung celananya. “Ya, halo,” sapa Novan sambil memakai kaus kakinya. “Aku udah di depan nih,” ucap suara di ujung sana. Oh, Stevan rupanya. “Oh oke oke. Aku pakai sepatu dulu, bentar.” Novan mematikan telponnya. Ia buru- buru memakai sepatunya dan pergi keluar rumah. Ia menyusuri lorong rumahnya yang mulai ramai dengan ibu- ibu yang mengerumuni gerobak sayur. Ia dapat melihat mobil Stevan terparkir di sebrang jalan dari lorong. “Oi!” Sapa Novan saat membuka pintu mobil. Ia masuk ke dalam dan memakai sabuk pengaman. “Tumben bangun pagi,” ujar Stevan. “Udah kapok terlambat,” balas Novan. Stevan mangut- mangut. “Ya udah, kita berangkat ya.” Stevan menyalakan mobil dan menginjak pedal gas. Perlahan mobil itu meninggalkan lorong rumah Novan. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD