Bagian 3

1136 Words
Bel pulang sekolah sudah berbunyi, segerombolan siswa-siswi berlomba-lomba menuju gerbang sekolah. Beberapa di antaranya tampak sangat senang dan bersemangat. Anak kelas sepuluh dan sebelas hilir mudik sibuk dengan wajah ceria dan obrolan mereka mengiringi langkah pulang. Lain halnya dengan wajah masam anak-anak kelas dua belas. Baik jurusan IPA maupun IPS akan melaksanakan rutinitas les sore mereka. "Untung tar malem, malem Selasa bukan malem Kamis," celetuk Reza sembari melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul tiga sore. "Gak usah halu Za, lo jomblo dari lahir." Yeah, this is Firza girl. "Tajem bener, setajem silet mulut lo Za," gemas. Firza memang tampan dan anak orang mapan. Tapi kalo ngomong suka gak ada akhlak. "Untung ganteng, untung sayang, untung cinta," ungkap Reza sembari mengapit lengan Firza. Dih amit-amit, maaf aja tapi Firza lurus-selurus lurusnya. Maka, ia piting kepala Reza. Gak kuat sih cuma sebel aja. Aksi mereka di lapangan membuat siswi-siswi seangkatan mereka dan adik kelas yang akan pulang melirik minat pada dua sekawan itu. Tidak hanya Firza yang diakui ketampanannya di muka bumi ini tapi, Reza yang dasarnya agak keling juga sering kali jadi buah bibir cewek-cewek SMA mereka dan di luaran sana. Reza itu tampang doang prampangan tapi, hati kayak spons cuci piring di rumah Firza. Lembek, lembut, fleksible, ramah lagi. Di waktu bersamaan Reza juga cowok cool yang gak suka gombal sana-sini. Walau mulutnya emang agak ember kalo sama Firza dan di keluarganya. Itu yang membuat duo tersebut menjadi most wanted yang dipuja kaum hawa seantero sekolahan. Ulah mereka mengundang bisik-bisik siswi yang sudah menerapkan diri menjadi bucin duo tersebut. Seperti, "Ya Allah jodoh gue, biar item tapi mempesona." "Duh kak Firza kenapa mirip banget sama Teyun tieksti sih, kan aku gak kuat." "Lucu-lucu banget sih calon mantu Mak gue. Jadi pengen cepet -cepet narik ke KUA." Begitulah saban harinya. Reza yang dengar kalimat terakhir karena memang jarak adik kelasnya itu tepat di belakang mereka. Meringis ngeri. Sefanatik itu, dan ini belum seberapa. "Btw lo kenal teyun tieksti Za?" Firza yang ditanya mengangguk samar "Kopi ABC EXO, gue udah nyoba. Enak." "Teyun tieksti, Firza dodol, bukan kopi ABC EXO. Jauh amat!" Suka kelewatan deh Firza oonnya. "Nggak, emang kenapa?" "Kata adik kelas yang tadi belok kanan sono, lo mirip Teyun tieksti," jelas Reza dengan tangan menunjuk ke depan arah siswi yang tadi menggosipi mereka. "Gak kenal gue, anak sekolah mana?" "Kalo gue tau juga gak bakal nanya elo Za, bluun maksimal sampean," ceriwis Reza. Begitu seterusnya sampai suara nyaring Bu Tessa menyapa gendang telinga mereka. Dengan tusuk konde yang Reza aminkan tidak jatuh saat beliau mengibas sanggul gurunnya. "Niat masuk gak kalian ini? Kenapa bisa sampai saya duluan? Jangan karena ini cuma les dan kalian anggap remeh ya, mau saya kurangi nilai kamu Reja-Firja." "Reza-Firza, pake Z bukan J Bu," koreksi Reza sedangkan Firza kalem. Toh Bu Tessa tetap keukeh dengan Reja dan Pirjanya. Cuma salah sebut nama doang gak bakal buat gantengnya luntur. Dan Firza sesantuy itu. "Maaf Bu, gak akan kita ulangi lagi." Keduanya diperbolehkan masuk karena permohonan maaf Firza yang kalem dan mengakui kesalahan. Padahal Reza di sebelahnya ngebet minta Bu Tessa lancar dulu menyebut namanya. Ck, dasar Reza. Semakin sore semakin panas. Terlebih di ruang kelas dua belas IPA satu, kelas unggulan yang selalu di press habis demi kemaksimalan UN. Annara yang duduk di kursi paling depan sesekali melongok ke belakang kanan. Tempat duduk di mana Lucy sedang menyalin tulisan di papan tulis. Lucy, nama gadis berkepang dua yang pagi tadi ia bantu dari serangan Sarah dan teman-temannya. Setelah memberi pinjaman seragam olahraganya, Lucy dengan wajah ketakutan berterima kasih dan meminta Annara agar tidak berteman dengannya. "A-aku target utama Sarah dan gengnya. Kamu jangan deket-deket sama aku, siapa pun yang berteman denganku akan ikut mereka bully juga. A-aku kambing sekolahan. Kamu gak pantes berteman denganku." "Kamu harus semangat Lucy!" ucap Annara bersungguh-sungguh tanpa sadar suaranya terdengar oleh Pak Lucas. "Kamu, jelaskan ulang apa yang Bapak jabarkan tadi." Habis sudah, jangankan menjabarkan ulang. Sekalimat saja yang Pak Citapon ucapkan tidak singgah di otaknya. "Maaf Pak sa-" "Keluar!" Duh masih hari kedua masuk sekolah baru, masa sudah kena hukum aja. "Ya ampun Annara begok banget sih." "Pak tap-" "Kamu keluar, pergi ke toilet cuci muka. Terus balik lagi ke kelas. Saya perhatikan dari tadi wajah kamu pucat dan tampak lesu," jelas Pak Citapon. Nada suaranya agak melunak. "Huh... kirain dihukum suruh keluar." "Iya Pak." Annara menatap pantulan wajahnya pada cermin yang menampilkan sosok serupa dirinya. Tetesan air masih berjatuhan sesekali karena hanya ia seka pelan. Disentuhnya potret yang mirip dengannya itu secara perlahan. Tanpa ia duga, tangannya gemetar nyaris berkeringat. Dengan cepat Annara tarik kembali tangannya. Segera merapikan seragam dan bersiap keluar toilet. Namun, suara tepuk tangan bersamaan dengan masuknya Sarah and the geng mengurungkan niatnya. "We meet again." Sarah mencipta jarak cukup jauh. Kaki kiri Dinda--teman sepermainan Sarah-- mendong pintu toilet sampai tertutup rapat. Kemudian dilanjutkan dengan Zaza yang mengunci dan memberinya pada Sarah. Semua diam di tempat kecuali Sarah yang maju mendekati Annara. Bibirnya mengeluarkan seringai tipis. Sementara jemari putihnya menarik rambut hitam panjang Annara yang dibiarkan terurai indah. "Aww sakit!" "Welcome to my game freak girl," sambung Sarah, lantas membuka paksa seragam putih Annara hingga beberapa kancingnya copot. Kaus dalam sewarna dengan seragamnya pun terlihat. Annara langsung menutup bahunya yang terlihat. Namun, kalah cepat dengan Zaza yang sudah menggunting tank top belakangnya sampai mengekspos punggung Annara. Gadis cantik itu memekik dan berusaha menahan air matanya. Ia berambisi agar tidak lagi mempertunjukkan ketakutannya. Ia tidak boleh menangis atau Sarah dan kawan-kawan akan semakin mudah mempermainkannya. "Sarah! Kamu gila!" bentak Annara berani. Hazelnya yang sengaja ia buat tajam menusuk netra lawannya. Ketika Sarah dan Dinda maju demi menggapai kakinya. Zaza yang masih berada di belakannya ia jadikan kambing hitam. Menarik cepat lengan Zaza kemudian mengarahkannya pada Sarah--oh tidak melainkan, menampar pipi Sarah menggunakan telapak tangan Zaza-- Sarah semakin meradang ketika ia hendak maju menghampiri Zaza, kaki Annara menghadang membuat Sarah meluncur dengan estetik. "Astaga Sarah!" heboh Zaza dan Dinda bersamaan. Mereka membantu Sarah berdiri namun, gadis sombong itu hempaskan sekali kedipan mata. "Dasar sinting kalian," murka Sarah berapi-api sembari mendorong brutal Annara dan Zaza. Sarah semakin maju dan berhenti tepat di hadapan Annara. Ia menampar wajah gadis itu berulang kali membuat Annara terkulai tak berdaya di marmer toilet. Rambut Annara kembali dijambaknya hingga wajah penuh lebam itu mendongak ke atas. "Lagi." Lewat aba-aba pada Dinda, ia membuka telapak tangan dan menerima sebotol pembersih toilet. Dibukanya tutup botol itu cepat. "Jangan berpikir lo itu manusia paling suci dan berhak masuk ke dalam urusan gue dengan mudahnya," ungkap Sarah memasang senyum miring. Sementara Annara sudah merasakan pusing yang luar biasa. Suara Sarah tak lagi mampu ia tangkap sepenuhnya. Ketika Sarah hendak menuangkan cairan yang Annara yakini berbentuk botol ke wajahnya. Dobrakan keras berhasil membuka pintu secara paksa dan suara berat terkesan tajam menyapa gendang telinganya. "HENTIKAN!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD