"Woy Zuki, kesambet jin apaan lu." Itu Firza yang baru datang dan menepuk pundak Reza. Keduanya berjalan di depan sekolah. Berhubung jam masuk masih agak lama mereka jalan santai.
"Mentang-mentang nama gue ada Zukildinnya, ringan banget tuh mulut mangap."
Agaknya Reza kesal dan hanya lirikan sekilas yang Firza lihat dari teman oroknya ini. Gelagat Reza sedikit lebih tenang biasanya, nauzhubillah pengen Firza tampol sampe mampus. Eh, gak begitu juga.
"Za, kenapa sih? Masih kepikiran soal kemaren?"
"Soal kemaren apa emangnya?"
"Tentang tetangga baru gue itu kan?"
Reza menggeleng sebentar, kemudian hening kembali. Sepertinya mood-mood Senin pagi memang selalu begini. Mereka sudah masuk di penghujung kelas tiga SMA. Tugas semakin banyak, jadwal tambahan belajar semakin bertambah pula, waktu bermain ikut berkurang, dan hari Senin adalah jadwal legend tingkat akhir jurusan IPA.
Kelas Biologi dengan berbagai macam hafalan dan serentetan nama ilmiah yang sering kali membuat Firza mual. Praktikum ini-itu beserta cicitnya, tugas kelompok Bahasa Indonesia sembari bermain peran, sampai mendengar alkisah Pak Cahyo dengan segala wejangan di kelas bimbingan konseling. Berikut les sore menuju Ujian Nasional.
"Ampun dah."
"Gue yang galau lo yang tepuk jidat," sambar Reza setelah memasuki koridor sekolahan.
"Emang lo aja yang galau, gue juga. Monday problem kan?"
Reza mengangguk samar. "Kapan sih UN, biar cepet lulus gue."
"Kayak yang bakal lulus aja lo, Za," semprot Firza datar. Sedatar paras tampannya yang selalu lempeng kayak aspal.
"Setidaknya gue hafal satu nama senyawa di tabel periodik unsur," ujar Reza menepuk bahu kiri Firza.
"Apaan!"
Lantas keduanya tertawa bersama. Namun, baru sampai seperempat langkah mereka memasuki kelas, segerombolan orang-orang di depan sana mengalihkan perhatian dua sekawan itu.
Reza yang lebih sensitif dengan lingkungan sekitar menghampiri keramaian di sana sementara Firza mengikuti di belakang.
Parah, satu kata itu yang melintas di pikiran Reza saat ini. Gadis kepang dua berkacamata bulat yang biasa dipanggil "Kambing sekolahan" itu tampak tak berdaya dengan lelehan telur di kepalanya. Beberapa gadis lain ikut menaburkan tepung ala-ala chef yang sedang demo membuat cake.
Ini bukan kejutan ulang tahun atau acara merayakan UN yang semakin dekat tapi, bullying yang sudah biasa dilakukan Sarah dan kawan-kawan. Gadis berperawakan tinggi semampai dengan proporsi tubuh seperti model itu sering kali menindas kaum lemah dan anak baru. Menunjukkan diri siapa seorang Sarah Agatha tersebut.
"Masih gila aja ya lo, mikir situ manusia apa binatang? Kelakuan gak ngotak banget." Meski Reza cenderung prampangan dan terkesan bad boy, dia bukanlah bagian dari manusia-manusia yang suka berbuat sesuka hati dan menyebabkan kericuhan. Apalagi sampai melukai fisik dan psikis orang tersebut. Sudah dipastikan Reza dijadikan kambing guling oleh Mama Yuna.
"Ck, gak usah ikut campur deh Za. Ini tuh urusan kita cewek-cewek, nimbrung aja lo."
"Urusan seperti apa yang membuat sebelah pihak sampai seperti itu," sambung suara lain dari arah luar menuju keramaian.
Semua tampak melihat kehadiran suara tersebut. Firza yang berdiri di belakang Reza memberi akses untuk gadis yang baru datang dengan ransel Hijau lumut.
"Kenapa sama dia? Segala dilemparin telur sama tepung gini."
Gadis itu membantu cewek berkacamata bulat berdiri dan sedikit menarik ke belakang tubuhnya. Raga kurus beroles tepung dan telur itu masih menangis memeluk beberapa buku dalam dekapannya.
Sarah menyeringai memperhatikan penampilan gadis yang berdiri tegak di hadapannya dari ujung kaki sampai rambut. Ia maju selangkah dengan tampang meremehkan yang membuat kumpulan siswa lainnya was-was. Sarah terkenal bar-bar.
"Mau sok-sokan jadi pahlawan kepagian lo, atau ibu peri bersayap putih kayak di sinetron." Satu jarinya menunjuk, bukan, tapi mendorong bahu gadis berponi tipis.
"Mau dicap orang baik? Iya? Huh?" Sarah tolak cukup keras kali ini.
Reza yang melihat Annara hanya diam tanpa melawan gemas sendiri. Ya, gadis itu Annara, tetangga baru Firza.
Lengan putih ramping milik Sarah melayang bebas di udara. Mengeluarkan bangga smirknya dengan senyum kemenangan. Sarah bangga, pagi ini dirinya bisa mempermalukan dua makhluk sekaligus namun, belum sampai telapak tangannya mengukir jejak di pipi Annara. Lengan lain menghalangi.
"Kamu gak berhak dan gak pantas nyentuh aku pake tangan kotormu itu."
Semua terperangah, Sarah yang lengannya baru saja dihempas kuat oleh Annara mengaduh kesakitan. Gerombolan siswa lainnya mengikuti arah pandang kepergian Annara bersama gadis kepang dua di sampingnya. Sarah jelas terlihat emosi, kulitnya yang putih tampak merah padam menahan amarah. Terlebih sepatah lagi kalimat yang sempat Annara sampaikan sebelum beranjak.
"Manusia kayak kamu, menjijikan."
"Cewek gak waras! Belum tau aja siapa gue, huh." Geraman Sarah terdengar sangat mengerikan di telinga siswa lain. Lantas keramaian menyebar dengan sendirinya. Menyisakan Sarah dengan ketiga teman-teman gengnya dan Firza serta Reza yang masih berdiri di sana.
Beda halnya dengan Sarah yang tampak mengepalkan tangan geram. Reza justru tersenyum santai sebelum berucap.
"Yang gak waras itu elo, tau rasakan gimana euforia dipermalukan di hadapan banyak orang. Manusia kayak kamu, menjijikan." Kalimat terakhirnya ia ucapkan dengan gestur dan nada yang sama dengan Annara keluarkan tadi.
"Tobat gih, hidayah tuh dijemput bukan menunggu sampai datang dengan sendirinya," sambung Firza mulus. Semulus wajah tampannya yang mempesona.
Kemudian, kedua sekawan Firza-Reza angkat kaki meninggalkan Sarah yang menggerutu tidak jelas. Dari makiannya, sedikit Firza dengar ia akan balas dendam pada Annara.
"Tetangga gue tuh tadi," sombong Firza menyikut perut Reza dan dibalas dengusan lelaki tan tersebut.
"Kamu gak apa-apa kan? Ada yang sakit?"
Gadis kepang dua itu menggeleng masih menundukan wajahnya. Air matanya semakin deras saja, sesekali ia seka dengan punggung tangan. Annara membawanya ke toilet perempuan membantu gadis itu membersihkan tubuhnya dari tepung dan bau amis telur.
Tidak main-main, Sarah dan teman-temannya niat sekali menggunakan telur busuk untuk dilemparkan ke gadis berkacamata ini.
Huh, bau banget. Tapi, Annara tidak menunjukkam reaksi apa pun selain diam. Ia takut menyinggung gerangan.
Rambutnya tak lagi putih karena sudah dibasuh dengan air tapi, bau amis telur busuk itu. Astaga sejujurnya Annara juga mual tapi, gadis ini membutuhkan pertolongannya.
"Aku bisa mengambilkan seragam olahragaku untuk kamu. Kebetulan aku anak baru jadi masih ada di loker. Sebentar ya."
Kemeja putih itu lusuh dan basah, dua kancing atasnya copot. Sementara rok kotak-kotak selulut itu robek di bagian belakang. Menyedihkan sekali, Annara sangat tak tega melihatnya.
"Ga-gak usah."
Langkah Annara terhenti, ia putar balik tubuhnya menghadap gadis berkepang dua ini. Jemari lentiknya menahan lengan Annara. Gadis ini gemetaran.
Annara membalas lembut menggenggam jemari lemah itu. "Gak masalah, jangan sungkan. Aku pernah ada di posisi kamu dan aku gak akan ngebiarin hal yang sama terjadi sama sahabatku." Annara tersenyum ramah. Ia menyimpan buku yang masih dalam pelukan gadis itu ke atas washtafel.
"Kamu tunggu di sini jangan ke mana-mana, okey. Aku gak akan lama. Kamu gak mungkin keluar dengan keadaan kayak ini kan?"
Yang dibalas anggukan gadis kepang dua itu. Dengan cepat Annara melesat menuju lokernya dan mengambil baju olahraga.