3.8

2115 Words
 Danis lupa kalau ia sudah berjanji pada Abi untuk selalu menjemputnya. Berhubung Abi masih saja keras kepala dengan ingin berangkat dan pulang sekolah bareng dirinya, Danis berniat menjemput Abi ke sekolahnya dulu lalu kembali ke Bina Bangsa. Abi bisa menungguinya di pinggir lapangan selagi Danis main bola dengan teman-temannya. Itu adalah kesepakatan final di antara mereka berdua. Danis tau hal ini hanya membuang-buang waktu dan bensin tapi mau bagaimana lagi? Ia tidak bisa mengabaikan bayi kesayangan Mama. Hanya saja tadi Danis keasikan main sampai melupakan adiknya itu. Itulah alasan kenapa sang Abang berlari ke dalam rumah sambil meneriaki nama adiknya. Memanjat tangga ke lantai atas, Danis masih tidak menemukan adiknya itu di kamarnya. Mama juga tidak menyambutnya seperti biasa. Kini Danis kembali menapaki anak-anak tangga itu dan berjalan ke dapur. “Ngapain Om di sini?” tanya Danis yang mendapati Om Fatehnya, sendirian, minum es kelapa muda di meja makan. “Nih, kamu ga liat Om lagi apa?” “Di sana ga ada kelapa?” “Maunya yang di sini, ga boleh?” balas Fateh dengan pertanyaan. “Tante hamil lagi?” “Lagi??” tanya Fateh tersinggung. Kenapa semua orang selalu saja menyangkut pautkan semua kelakuannya dengan istrinya yang hamil lagi? Dan tidak! Istri Fateh tidak sedang hamil. Dia bahkan tidak mau membuat istrinya hamil lagi. “Ugh.. perutku mulas gara-gara makanan yang kamu bawa, Teh!” ucap seseorang yang masuk ke dalam ruang makan sambil memeluk perutnya. “Tante di sini juga?” “Dulu kamu panggil Mommy, loh, Mar..” “Mommy atau Tante Pacar yang Tante suka?” tanya Danis sambil memutar matanya bosan. Tante ini sama saja repotnya dengan Om Fateh. Bian menggerak-gerakkan telapak tangannya kemudian duduk di kursi yang tadi sudah ia tempati sebelum lari ke kamar mandi gara-gara panggilan alam. “Tadi kamu teriak-teriak kenapa?” “Abi pulang siapa yang jemput? Terus, dimana dia, Nte?” “Ammar, kamu udah punya pacar ya? Sampai lupa jemput adek sendiri. Om saranin kamu ga usah pacar-pacaran dulu. Sekolah aja yang bener. Liat Om, nih.. ga pernah pacaran tapi tetap dapat istri kok.” Danis yang lebih sering dipanggil Ammar di rumah itu melihat Tante Bian mengangguk-anggukkan kepala, menyetujui omongannya Om. “Dua lagi, ya ‘kan Teh?” ujar Tante Bian yang dihadiahi dengan tatapan tajam oleh Om Fateh. “Aku lupa waktu gara-gara main, Om.” Danis menarik keluar sebuah kursi kemudian menghempaskan dirinya di sana. Alamat Abi sudah meraung ini sama Mama. Tamat, habis cerita. “Main cewek?” tanya Fateh yang kesulitan menyendok daging kelapa mudanya. “Main bola! Cewek dimainin? Apanya yang bisa di mainin?” celetuk Danis. Fateh selesai dengan investigasinya, ponakannya masih sepolos dulu. Eh dulu Ammar tidak terlalu polos sih, belakangan saja yang semakin menjadi-jadi polosnya. Perasaan dulu waktu bergaul dengan dirinya, Runa, Agam dan Gilang, anaknya Fay ga sepolos ini. Fateh jadi penasaran dengan siapa ponakannya ini bergaul selama sekolah. “Ganti baju sana, Om beli nasi Padang tadi.” “Hm..” Fateh terpikir sesuatu, “Mar, kamu bukannya suka sesama jenis, ‘kan ya?” tanya nya. Mengingat dengan siapa Ammar tumbuh, apalagi dengan kehidupan percintaan Gilang yang selalu bermasalah harusnya Ammar punya banyak ilmu untuk mendapatkan hati cewek di umurnya yang segini. Namun tidak ada satupun di keluarga mereka yang pernah mendengar Ammar membuat PR dengan cewek, Ammar belajar kelompok dengan cewek, apalagi Ammar hangout dengan cewek. Danis menatap Omnya tanpa ekspresi? Apa mereka akan membahas ini lagi? Hanya karena tidak terlibat apa-apa dengan cewek lalu Om menuduhnya suka sesama jenis? Berarti dulu sebelum menikah Om suka sesama jenis dong? Mengingat Om hanya bergaul dengan Om Adri. Dan siapa bilang Danis tidak terlibat apa-apa dengan cewek? Dia selalu terlibat dengan Amira belakangan ini, meski tidak secara langsung. “Maksud Om.. apa ga aneh? Kamu dibesarin sama Gilang yang tukang pacaran.” “Asal Om tau, cewek jaman sekarang ga kaya Tante Adin yang disuruh A pasti langsung ngerjain A. Om Gilang terlalu beruntung aja kenal sama Tante Adin.” “Oke,” sahut Fateh sambil mengangguk-anggukkan kepala. >>>  Berkat ceplas ceplos mulut Amira, Ucup jadi mengetahui apa alasan dibalik sikap ceria Divya siang ini padanya. Tadi setelah mengantarkan anak-anak gadisnya ke rumah kemudian mengecek kondisi istrinya, Ucup sempat kembali ke kantor. Hanya saja pikiran soal Divya kembali mengganggunya, makanya Ucup meminta Yudis menunda semua kegiatannya hari ini. Kini Ucup sudah kembali di rumah, berhadapan dengan kedua putri dan istrinya. melalui sikap Amira yang terbuka hari ini Ucup belajar sesuatu, bahwa ia dan Divya juga harus terbuka satu sama lain. Divya bukan bocah yang bisa ia tipu, Divya sudah sangat besar untuk ia ajak bertukar pikiran. Mungkin Ucup harus mencoba mengenal sosok Haris bagi Divya. Setelah mendengarkan betapa berharganya seorang Haris dalam hidup putrinya itu, Ucup memulai versi betapa semua yang Haris lakukan sangat melukai baik ia dan istrinya. Oke Ucup akui kalau Haris memang melakukan semua yang ia bisa demi kesembuhan Divya, dan sangat-sangat bersyukur atas itu. “Ayah memang sempat meminta pengacara untuk menuntut Haris.” Ucup memulai semuanya tanpa basa-basi. “Aku ke kamar mandi bentar,” ucap Amira ketika Ayahnya berbicara dari hati ke hati dengan Divya. Bukannya ke kamar mandi, Amira justru lari ke kamarnya sendiri. Jujur saja ia merasa iri pada Divya yang masalahnya bisa didiskusikan bersama Ayah dan Bunda. Amira menutup pintu kamarnya dengan helaan napas berat. Tadi sewaktu jam olahraga teman-teman sekelasnya kembali berbisik-bisik soal dirinya. Mereka bahkan jauh lebih berani dengan langsung menyindir Amira di ruang ganti pakaian. Egin hari ini memang tidak ikut olahraga karena badannya sedikit tidak sehat, jadilah Amira sendirian menerima semua omongan buruk dari mereka. Amira juga tidak mau mengadukan hal ini pada Egin. Toh dengan mengadu pada sahabat barunya itu tidak serta merta masalah selesai. Hikmah yang bisa Amira petik  soal teman-teman sekelasnya ini adalah, bahwa hanya Egin yang tulus padanya. Juga Danis. Amira tidak percaya ini kalau bukan dari mulut para tukang gosip itu yang mengatakan Danis membelanya. Yang tidak mengenakkan dari omongan mereka adalah begini: “Danis belain dia mungkin karena dia udah ngerayu Danis juga tuh. Di kasih upah cium juga kali.” Namun yang masih membingungkan soal Danis adalah, kalau memang dia anak sebaik itu bahkan sampai mau membela Amira yang bukan temannya sama sekali, kenapa mulutnya masih saja tajam pada Amira? Amira menggaruk kepalanya gemas, kenapa mereka menganggap ciuman ini begitu tabu sehingga semua orang yang melakukannya langsung dipandang hina. Sumpah, Amira dan Kevin tidak pernah lebih dari sekedar kecupan. Mereka juga tau batasan-batasan dalam pacaran. Kalau batasan yang Amira berikan pada Aldi berupa jaga jarak, tangan dan mulut, untuk Kevin adalah jaga tangan dan lidah. Amira tidak mau lebih dari sekedar pelukan dan ciuman yang mau ia terimapun ciuman ringan yang menunjukkan Kevin menyayanginya. “Ini semakin buruk gara-gara komentar si Kepin nih,” gerutu Amira. Lagian aneh-aneh saja, kalau tidak boleh melakukan skinship apapun selama pacaran, lalu apa gunanya pacaran? Amira jadi penasaran dengan gaya anak-anak Bina Bangsa yang mulia itu selama pacaran. “Mereka yang awalnya jalan bareng pas PDKT, pacarannya mungkin jalan sendiri-sendiri. Kalau memang harus jalan mungkin yang cowok jalan di trotoar jalan raya sebelah kiri dan ceweknya jalan di trotoar sebelah kanan.” ucap Amira sambil menghempaskan punggungnya ke ranjang. “Dan mungkin kencannya ga pake mobil, tapi pake bus kota. Yang cewek duduk di samping Pak supir dan yang cowoknya duduk paling belakang sama penumpang bus yang lainnya.” Amira tau ia jadi suka bicara sendiri saat kesal, makanya ia memutuskan untuk menjauh dari Ayah dan Bunda. Amira membuka kolom chatnya dengan Kevin. Last seen enam menit yang lalu. Amira tidak perlu malu-malu apalagi berpikir panjang hanya untuk menghubungi cowok itu. Dia Kevinnya Amira ingat? >>>  Ucup melihat baik-baik perubahan mimik putrinya selama ia bicara. Tampak Divya sedikit tidak suka dengan apa yang barusan ia minta. Setelah meminta Divya memikirkan perasaan Ucup dan Vanis selama ini yang tiap hari merindukannya, berharap bahwa kejadian di masa lalu hanyalah mimpi sehingga mereka sekeluarga bisa berkumpul dan bercanda bersama, memikirkan enam belas tahun Divya yang terenggut dari mereka berdua, Ucup meminta Divya untuk menjaga perasaan mereka dengan tidak berhubungan dengan Haris dulu. Ucup berpikir, egois kah dirinya jika Ucup meminta waktu yang sama yang telah Divya habiskan dengan Haris? Tidak bolehkah ia membuat permintaan seperti ini bahkan pada darah dagingnya sendiri? Melirik pada istrinya, Ucup menunjukkan gelengan pelannya. Sebagai gantinya Ucup melingkarkan tangan kanannya di sekeliling pinggang sang istri. Vani adalah orang paling tidak senang dengan masalah pembatalan tuntutan untuk Haris. Tidak, Ucup sendiri sebenarnya masih tidak yakin dengan keputusannya, seolah membiarkan Haris sama saja seperti membiarkan seorang pendosa berkeliaran di dalam surga. Ucup merasa seperti berdiri di antara persimpangan, menuruti keinginannya dan Vani yang dibutakan oleh amarah atau menuruti omongan Mama. Meski selama hidupnya Ucup tidak pernah dibuat kecewa dengan menuruti kata-kata Mama, kali ini entah kenapa ia masih saja ragu-ragu. Namun kemudian ia ingat, Tuhan tidak akan membiarkan pendosa berkeliaran di surga-Nya sebelum hambanya itu mendapat ganjaran yang setimpal dengan apa yang telah diperbuatnya. Dan soal siapa saja yang berhak berada di surga-Nya, itu sama sekali bukan urusan Ucup yang hanya manusia biasa. “Tapi.. Yah,” sanggah Divya dengan suara bergetar, ketika ia mengangkat kepalanya Divya yakin kedua orang tuanya itu akan melihat air mata yang mulai turun melalui pipi dan terus ke batang leher jenjangnya. Membayangkan dirinya yang tidak akan bertemu Papa untuk waktu yang sangat lama membuat Divya merasa sesuatu yang paling berharga dan sangat penting direbut paksa darinya. Bagaimana caranya hidup tanpa Papa ketika beliaulah yang Divya perlukan untuk membuka atau menutup harinya? Meski tidak bisa bertemu seharian, Divya akan memastikan setidaknya ia mendengar suara Papa di telepon. Namun semua kalimat yang sudah mantap di otaknya itu tidak bisa Divy ucapkan, penglihatannya yang blur karena genangan air mata mendapati bagaimana sepasang manusia dewasa di depannya saling menggenggam tangan satu sama lain. Entah kenapa Divya bisa merasakan kalau Ayah dan Bunda takut dengan apa saja yang akan ia katakan. “Bo- boleh aku ketemu Papa? Boleh aku ketemu Papa untuk yang terakhir kalinya? Aku belum bilang makasih sama Papa karena beliau udah jagain dan sayangin aku yang bukan siapa-siapanya.” Oh, apakah Ucup tidak melihat kemiripannya dengan sang putri? Keduanya sama-sama tidak sanggup untuk membantah omongan orang tua. Kelegaan menjalari seluruh pembuluh darah Vani, ia bangkit dan menghambur pada putri cantiknya, memeluk Divya sayang. Mengucapkan untaian kata syukur karena Tuhan menjawab doanya begitu cepat. Apa yang semalaman Vani takutkan sehingga ia baru bisa tidur pukul setengah dua pagi ini adalah, bagaimana kalau Divya tidak bisa menerima keadaan ini? Bagaimana kalau selama putrinya tinggal bersama mereka, dia merasa seperti orang asing di rumah ini. Divya meneguk ludahnya kasar, pelukan ini sampai kapanpun adalah kelemahannya. Ia mungkin rela melakukan apa saja untuk berada di antara kedua lengannya Bunda. Sebagian dari hati kecilnya mengatakan bahwa mungkin memang harus mengorbankan sesuatu yang penting seperti Papa untuk terus merasakan halus kulitnya, hangat tubuhnya, serta wangi tubuhnya bunda. >>>  Aldi yang pulang belakangan menemukan rumahnya kosong. Dita yang merupakan penjajah tetap TV rumah mereka bahkan meninggalkan benda itu begitu saja. Mama juga tidak tampak di sudut rumah manapun. Papa tentu tidak akan berada di rumah jam segini. Beberapa menit setelah duduk diam di rumahnya yang hening untuk pertama kalinya karena tidak ada lagi ocehan Mama yang menanyai Divya ini itu, memintanya untuk menempeli Aldi terus dan bahkan dengan terang-terangan berharap Divya lah yang menjadi menantunya, Aldi merasa ada yang salah. Ketidak hadiran Divya di rumahnya sepulang sekolah adalah hal yang mungkin sulit untuk Aldi biasakan. “Ngelamunin Didi ya, A’?” tanya Mayang pada putranya yang duduk dengan tatapan kosong. “Mama ga ada rencana tobat gitu? Mau jodoh-jodohin anak sendiri di zaman serba canggih gini?” cibir Aldi. Karena tidak mendapat sahutan dari Mama, ia mengikuti wanita kesayangannya Dokter Firman itu menuju dapur. Aldi diminta Mama untuk mengantarkan makan siang untuk Om Haris yang katanya sakit. Ternyata alasan kenapa rumahnya kosong melompong begini karena semua orang berada di rumahnya Om Haris. “Om Haris sakit apa, Ma?” tanya Aldi yang sudah memegang nampan. Di dalam nampan itu sudah ada sepiring nasi panas, teh panas, sup daging dan Aldi kini tengan menunggu Mama selesai mengupaskan apel. “Sakit gara-gara kepikiran Didi. Om mu belum pisah sehari aja sama Divya masa udah kangen berat?” “Kan bisa telfon, Ma.. orang tua barunya-” Aldi menyadari salah bicara. Orang tuanya Amira bukan orang tua barunya Divya bukan? Mereka anak kembar. “Orang tuanya ga maksa ganti nomer ponsel kok.” “Gengsi lah si Haris,” cibir Mayang. Lagian menurut Haris, kalau dirinya tetap saja muncul di hidup Divya, ini hanya akan memperlambat proses penerimaan Divya akan kedua orang tuanya. Mayang pun tau kalau kembalinya Divya pada wanita yang sangat dicintai oleh sahabatnya itu adalah apa yang sudah ia idamkan sejak lama. “Sudah sana!” Aldi mencebikkan bibirnya dan langsung balik kanan, membawa setumpuk nutrisi untuk Om Haris. Dan Aldi ingat kalau dia harus menyiapkan buku-buku Divya seperti semalam. “A’!” panggil Mayang pada putra sulung juga putra semata wayangnya. “Kamu yakin ga mau pacaran sama Divya?” Aldi paham sekali bahwa ia telah berdosa karena mendecih pada orang tua. Tapi dirinya tidak bisa menghentikan refleks tubuhnya ini. pacaran dengan Divya? Mama tidak tau saja kalau dia sudah membuat perjanjian dengan Amira untuk jadi pacar palsunya Divya. “Aldi! Tega ya kamu sama mama? Cuma dengan kamu yang pacaran sama Divya, mama bisa ketemu sama anak cantik itu lagi. DI! MAU YA? PACARAN AJA DULU, NANTI CINTANYA PASTI DATANG BELAKANGAN!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD