"Hallo Nona cantik."
"Ah... emh... hallo. Apa kau datang untuk menyambut ku?"
"Yaa! Kami datang menyambut Nona, hehe." Laki-laki itu mengulurkan tangannya. "Silahkan Nona. Kami akan menunjukkan jalan menuju neraka."
"Neraka?" sahut Ziya kebingungan. "Tapi aku ingin ke pabrik es. Bukan ke neraka." Ziya menoleh ke samping. Mencari Rahel. Alih-alih menemukannya, Ziya melihat pintu sisi kiri terbuka lebar. Dan di semak-semak sana Rahel memberi isyarat dari mulutnya. "B.a.n.d.i.t."
"Dia ngelawak kan?!" gumam Ziya. Keringat dingin mulai membasahi keningnya. "A-anu Tuan. Se-sepertinya saya tidak ingin pergi ke neraka. Emh... sa-saya punya anak yang belum diberi nama. Jadi- agh!"
Ziya ditarik paksa. Berkat sepatu yang sengaja ia lepas tadi. kakinya kini menapaki tanah berbatu. Sekilas ia melihat dua pengawal yang sudah pingsan di depan sana. Bersamaan dengan itu banyak orang asing dengan senyum mengerikan menatap ke arahnya. Oh Tuhan! Ziya janji jika nyawanya selamat. Ia akan berbuat baik ke Rahel. Ia tidak akan menjahilinya. Ia akan menganggap Rahel sebagai saudaranya. Ya! Ziya berjanji!
"Rahel...." gumam Ziya lirih seraya menoleh ke Rahel di semak-semak. Genangan air matanya mulai tampak. Ah, kenapa Ziya baru menyadarinya sekarang? Ia sudah banyak menyakiti Rahel. Membuatnya repot setiap hari. Selama itu apa Ziya sudah mengucapkan terimakasih atas perhatian Rahel?
Tidak! Ziya tidak pernah! Mungkin ini waktunya. Ya, tidak ada yang bisa memastikan apakah Ziya akan hidup atau mati. Tapi Rahel masih punya kesempatan kabur. Dia masih bersembunyi di sana pasti karena khawatir. Ziya harus melepaskan Rahel!
"Rahel.... Pergilah," pinta Ziya hanya dengan gerakan bibirnya tanpa suara. Setidaknya Rahel bisa selamat.
"Aku... aku.... Mana mungkin aku.... Menolak! Haha!" Setelah itu Rahel kabur tanpa dosa.
Kepergian Rahel membuat Ziya cengo. Tuh orang semangat banget kabur. Seenggaknya terharu dikit kek!
Kesal! Ziya pun berteriak, " WOI Bandit nganggur di sana! Tuh ada yang kabur satu!" tunjuk Ziya ke arah Rahel.
"Tidak akan ku biarkan kau selamat, Rahel. Kita adalah dua jiwa yang tidak bisa dipisahkan! Huahaha!"
Seperti kebanyakan adegan penculikan. Ziya dan Rahel di ikat dan ditutup matanya. Mereka dibawa entah kemana menggunakan kereta kuda. Berakhir di rumah tua di dalam hutan. Sepertinya ini markas mereka. Mungkin.
Seribu untung nyawa Ziya diampuni saat itu. Masih hangat dalam ingatan bagaiamana Ziya memohon ampun atas nyawanya. Tak hanya Ziya, Rahel pun yang langsung tertangkap sampai merangkak di bawah kaki laki-laki botak itu sambil menangis.
Katanya, "Tuan yang tampan. Tolong ampuni nyawa saya. Saya hanya pelayan rendahan yan tidak bernilai apa-apa. Kalau Tuan membawa Nyonya di sana. Saya yakin Tuan akan dapat tebusan besar. Dia adalah SEORANG DUCHESS!" teriak Rahel disengaja.
Sialan! Kalau begini hanya Ziya yang akan dibawa.
"Tuan bandit yang gagah. Saya memang seorang Duchess. Tapi bukankah saat ini penjualan b***k banyak diminati? Tuan bisa menjual pelayan tidak berguna itu. Atau menjual organnya juga tidak buruk!" Seringai Ziya mengembang. Rasakan pembalasan ku! batinnya.
"Tuan! Tolong pilih dia saja!" sahut Rahel tidak mau kalah.
"Tidak Tuan! Kau akan dapat keuntungan ganda jika membawa kami berdua!"
Sampai mati Ziya tidak akan melepas Rahel! Tidak akan!
"Hahaha, ide bagus! Aku akan membawa kalian berdua."
YES! Berhasil! Batin Ziya.
Suara gelegar petir membuat Ziya dan Rahel reflek berpelukan. Setelah tadi saling jauh karena sedang dalam kondisi bermusuhan. Tak terasa sudah tiga jam berlalu Ziya dan Rahel dikurung dalam rumah bobrok di dalam hutan. Malam pun segera datang. seoah semesta ingin mempermainkan mereka. Badai datang bersama gemuruh angin.
"Kalau saja Nyonya membiarkan ku pergi. mungkin aku bisa mencari pertolongan dan kita tidak akan berakhir menyedihkan seperti ini!"
"Cih! Aku tidak percaya pada mu. Lagi pula, kau mau cari bantuan kemana? Kediaman Trancy butuh waktu setidaknya tiga jam dari lokasi kejadian. Yang ada saat kau kembali aku sudah menjadi mayat menyedihkan."
"Hah, Nyonya masih beruntung akan ditebus. Aku? Siapa yang akan menyelamatkan ku? Aku akan berakhir di penjualan b***k. Dan yang paling parah organ ku diambil dan dijual."
"Haha, mau adu nasib ya? Baiklah, dengarkan aku Rahel. Menurut mu apakah Duke dingin itu akan menebus ku? Tck! Mungkin dia akan menggunakan kesempatan ini untuk menyingkirkan ku!" cerocos Ziya.
Tatapan Rahel menyendu. Ah, itu tidak salah sih. Selama ini Tuan dan Nyonyanya selalu bertengkar. Pernikahan mereka pun hanya untuk kepentngan politik. Ditambah isu selingkuh yang sudah jadi rahasia umum di kalangan bangsawan. Rasanya butuh keajaiban untuk Duke Lukas menyelamatkan Duchess.
Sedangkan Rahel, dirinya memang hanya pelayan biasa yang bercita-cita ingin punya rumah sendiri di ibu kota. Sayang, dia punya sembilan adik yang harus diberi makan di kampung halaman. Itu sebabnya sampai sekarang material rumah saja belum kebeli. Nasib ya nasib.
"Ternyata kita sama-sama menyedihkan ya?" gumam Rahel.
"Hum, kita menyedihkan," ucap Ziya membenarkan.
"Ngomong-ngomong aku lapar," lanjut Ziya.
"Memang Cuma Nyonya saja yang lapar. Tahu gitu aku mengantongi biscuit sebelum diculik."
"Kalau tahu akan begini juga aku akan membawa persiapan. Seperti kayu bakar untuk menghangatkan diri dan makanan. Sekalian akan ku bawa kasur dan selimut ku. Uh! Kau membuat ku kesal."
Rahel hanya berdecih. Kemudian lanjut memandangi lantai dingin.
"Ah! Aku tahu!" pekik Ziya tiba-tiba.
"Tolong jangan memekik seperti itu Nyonya. Kesabaran ku saat ini hanya setipis tisu dibagi dua."
"Kita akan kabur! Dari sana," tunjuk Ziya kea rah jendela.
"Nyonya... aku tahu Nyonya ingin hidup. Tapi logika saja. bagaimana kita membuka jendela itu sedang tangan kita terikat?"
"Kan masih ada gigi," celetuk Ziya.
"Ha?"
"Kakek ku bilang. Walau hanya ada sarang laba-laba sekal pun. kau harus memanfaatkannya untuk memanjant dari lubang neraka."
"Emh... tapi sarang laba-laba tidak bisa digunakan untuk memanjat. Kita akan jatuh terlebih dahulu. Lihat kan, setipis itu. Disenggol saja sudah putus."
"Ugh! Jangan diartikan langsung. Itu hanya kiasa. Yang benar adalah gunakan segala cara untuk bebas."
"Oh begitu. Bilang kek dari tadi. Pakai kiasan segala."
Rumah kosong ini tampak suram. Beberapa atap bocor hingga menciptakan kubangan. Mungkin karena hal itulah dua bandit yang seharusnya menjaga Rahel dan Ziya memilih pergi ke desa terdekat untuk meminum miras.
Mereka pikir buat apa mengkhawatirkan dua betina lemah. Mereka tidak bisa kabur dengan kondisi terikat. Yah, setidaknya itu pikiran mereka. lupa ya kalau dua betina ini agak unik. Satunya wanita modern. Satunya lagi wanita ambisius.
"Cepatlah Nyonya! Pinggang ku akan remuk kalau Nyonya berdiri terlalu lama. Memang apa sih yang Nyonya makan tadi pagi sampai seberat ini!"
"Ssst! Diamlah. Aku lagi konsentrasi." Ziya berusaha membuka pengait jendela. Sebentar lagi akan berhasil.
"Ah tidak bisa!" lagi-lagi Rahel roboh dengan posisi telungkap. Menampung berat majikannya dengan pinggang rapuh ini adalah cobaan tidak manusiawi.
"Hei! padahal aku hampir berhasil tadi!" dengus Ziya.
"Lewat! Aku lewat! Aku tidak mau pakai cara ini. Sebelum keluar, mungkin aku akan mati lebih dulu," ucap Rahel hampir menangis.
"Ugh! Baiklah...." Tidak tega, Ziya pun mengalah.
Bulir air mata Rahel semakin membuat Ziya meras bersalah. Kalau di dunia ini, memang umur Lilyana lebih tua lima tahun. tapi jika diukur dari umur Ziya, sebenarnya mereka seumuran. Makanya Ziya sedikit paham ketakutan Rahel. Bohong jika Ziya juga tidak ketakutan. Sejak tadi ia menahan air matanya agar keadaan tidak tambah panic.
Mungkin Rahel pun melakukan hal yang sama. Sampai akhirnya dia tidak sanggup membendungnya lagi dan menangis dalam diam seperti itu.
"Aku akan mencari sesuatu," celetuk Ziya. Tidak bisa! Apapun caranya mereka harus keluar sebelum matahari terbit. Karena jika tidak, tidak tahu apa yang akan mereka lakukan.
"Mau cari apa?" sahut Rahel.
"Batu, atau apapun. Aku tidak akan mati di sini," ucap Ziya kekeuh.
"Apapun... ah! Kenapa tidak kepikiran?!" pekik Rahel. Ziya langsung menoleh. bertanya-tanya apa maksud ucapan gadis itu.
"Di kantung ku. Aku selalu membawa korek api karena selalu lupa mengambilnya saat ingin membakar sampah. Kita bisa gunakan itu untuk membakar tambangnya!"
Keraguan menyelimuti Ziya. Apa dia benar-benar yakin ingin pakai cara itu? Waah, ekstrim sekali. Mungkin tambang ini akan lepas. Tapi bagaimana dengan kulit tangan Ziya nanti? Wah, di luar angkasa sekali pikiran gadis ini.
"Berbaliklah Nyonya. Aku akan membakar tali Nyonya terlebih dahulu."
Emh... bagaimana ini? Ziya kan belum setuju. Dia seenaknya memutuskan. Tapi... memang tidak ada cara lain sih. Terlebih Ziya sudah berhenti menangis dan menemukan cara bebas.
"Ba-baiklah. Tapi... jangan sampai membakar kulit ku ya?!"
"Mana mungkin Nyonya!"
Kegiatan ekstrim itu dilakukan tanpa ragu. Diam-diam senyum Rahel mengembang jahat. AKhirnya hari pembalasan telah tiba. Sesekali Ziya memekik kaget saat panas menyengat kulitnya. Hanya kalimat umpatan yang bisa ia lontarkan. Namun rencana tetap berjalan.
Untung tambang yang digunakan tidak terlalu tebal. Korek api yang hanya bertahan beberapa detik setelah dinyalakan itu hampir membuat tali tambang meleleh. Itu pun korek apinya sudah habis setengah.
"Sudah belum?" tanya Ziya tidak sabaran.
"Sabar Nyonya. Sebentar lagi."
Hanya tinggal beberapa helai serat tambang. Suara derap langkah terdengar. Mereka saling tatap dan buru-buru menyembunyikan. Ah, sial! kenapa harus datang sih! Mungkin itu yang sedang mereka umpat dalam benaknya.