Mati Konyol
Lusinan buku dari berbagai genre tertata rapih dalam etalase. Beberapa sengaja di susun pada meja dengan papan best seller menjadi daya tarik utama. Sebagian orang menganggap tempat ini membosankan. Sebagian yang lain datang ke sini hanya untuk mengambil unsur aestheticnya saja. Yang kemudian diunggah ke media sosial.
Biar dibilang pintar mungkin. Atau ada alasan lain? Entahlah, Ziya tak memperdulikan pikiran orang-orang itu.
“Sekarang n****+ transmigrasi kerajaan lagi booming lho. Kamu nggak mau buat?” ucap Karin. Sahabat pena Ziya.
“Nggak deh. Nggak minat.”
“Laku keras lho di pasaran. Cuan tau. Liat nih rekening ku. Semua ini dari satu n****+ genre romance kerajaan.”
Gadis bermata hazel itu menoleh. Ia sedikit membelalakkan mata sebelum kembali datar. “Yah, berarti itu rejeki mu.”
“Mau sampai mati aku nggak akan bisa buat n****+ jenis begituan. Nulis itu bukan cuma tentang nyalurin halu. Tapi harus ada referensi dan lain-lain. Atau seenggaknya pengalaman pribadi. Uh! Aku paling males nyari referensi tentang sejarah.”
“Aduh Ziya, kamu jangan kaku banget deh jadi penulis. Sekali-kali cacat logika nggak masalah. Yang penting kamu tau batasan. Toh, genrenya juga fantasi. Fine, fine aja.”
“Nggak, aku tetep sama prinsip!”
“Hah, susahnya ngomongin penulis aliran misteri ini.” Karin melirik teman sesama penulisnya yang sedang mencari sesuatu di gerai buku. Cukup disayangkan, temannya—Ziya Morgiana—penulis famous pada masanya. Dia yang pernah menapaki tangga kesuksesan melalui n****+ misteri. Kini dipaksa redup oleh perkembangan zaman.
Ziya itu keras kepala. Dia juga idealis. Itu sebabnya Ziya tidak mau mengikuti permintaan pasar dan kekeuh menulis sesuai keinginan. Padahal Karin sangat tahu betapa indahnya pemilihan kata yang dituangkan dalam setiap karyanya. Tak banyak orang yang tau. Karyanya tertumpuk oleh deretan n****+ bertema transmigrasi yang saat ini sedang viral. Karin pikir, dengan membujuknya Ziya bisa berbelok sedikit dari prinsip. Ternyata susah juga.
“Ziya… sorry, aku nggak bisa nemenin lama. Aku ada janji ketemu sama Mbak editor,” ucap Karin setelah mendapat notifikasi pesan yang menginformasikan editornya telah sampai di café tempat janji temu.
“Hum, oke. Good luck ya.”
Hendak pergi. Karin teringat akan satu hal. Mungkin saja, Ziya akan berubah pikiran. Ini adalah usaha terakhirnya.
“Nih!” ucap Karin. Menyerahkan n****+ tebal dari dalam tas.
“Apa ini?”
“n****+ yang katanya nggak bisa kamu garap. Baca dulu aja. Mungkin kamu bakal terinspirasi.”
“Hah, udah ku bilang kan. Aku nggak bis—“
“Dah ya, Bye!”
“Woi! Tck! Makin berat aja bawaan ku,” dumal Ziya. Ia melirik n****+ dengan sampul menarik itu. “Hah, terserah deh.”
Kawasan Ibu kota dengan segala kesibukan di jam kerja. Lalu lalang kendaraan roda dua dan empat memenuhi ruas jalan. Ziya duduk di halte bus sambil menunggu angkutan. Menyantap es krim mangga di tengah cuaca terik.
Hari ini, sebenarnya Ziya hanya ingin mencari bahan pokok makanan untuk persediaan di kosan. Tapi karena lokasi supermarket dekat dengan gerai buku apa salahnya mampir kan? Sekaligus me-refres otak. Dan secara kebetulan Ziya bertemu dengan Karin. Teman sesama penulis yang satu kampus dengannya.
Hidup di kota besar membuat Ziya harus memutar otak supaya tak memberatkan beban orang tua. Hanya dengan menulis Ziya memperoleh royalty yang bisa ia gunakan untuk uang saku sehari-hari. Tapi sepertinya akhir-akhir ini agak sulit.
“Hah, mana skripsi nggak kelar-kelar. Dosen banyak mau. Jadi penyumbang dana di kampus sendiri. Cih! Padahal miskin. Mau diperas kayak mana lagi kantong ini?!”
Langit biru menjadi objek pandang Ziya. Menengadah ke atas dengan mata sedikit menyipit karena silau.
“Transmigrasi kerajaan ya?”
“Apa aku bisa buat genre kayak gitu?”
“Hah, entahlah.”
Angkutan umum segera tiba di hadapan Ziya. Ia buru-buru naik supaya tak mendapat bagian pinggir. Jujur ia trauma. Pernah sempat hampir jatuh dulu. Saat masa putih abu-abu. Masa di mana beban tak seberat sekarang.
Yaps, umur Ziya sudah 22 tahun. dan dia belum mendapat gelar sarjana juga. Menjadi mahasiswa abadi yang stuck membahas bab pendahuluan. Bayangkan di bab pendahuluan saja Ziya sudah mendapat banyak coretan cinta dari dosen. Tidak terbayang berapa banyak kertas dan biaya print yang harus ia habiskan untuk menuntaskan satu skripsi.
Kalau dipikir-pikir sayang sekali kan? Kertas itu dibuat dari pohon. Membuang-buang kertas sama saja tidak mencintai pohon yang akan berakibat pada kehancuran dunia. See? Dari sini bisa disimpulkan bukan? Antagonis yang menghancurkan dunia adalah dosen. Setidaknya itu pikiran para mahasiswa yang bernasib sama dengan Ziya.
Yah, walaupun begitu Ziya bisa apa? Protes? Yang ada masa study Ziya semakin lama. Bisa-bisa Ziya jadi sepuh di Unversitas. Hii! Amit-amit jabang bayi!
Kosan murah dengan cat hijau terpampang di depan sana. Butuh waktu lima menit dari tempat di mana Ziya turun dari angkutan untuk bisa sampai ke kosan. Karena tempatnya yang blusuk membuat kosan ini jarang diminati. Kalau bukan karena harganya murah Ziya mana mau tinggal di kosan yang hampir rubuh. Kadang ia khawatir saat hujan badai tiba.
Saat pintu lapuk di sisi bawah itu dibuka. Aroma aneh menguar. Ya, beginilah isi kosan Ziya. Hanya ada bau apek dan tumpukkan baju menggunung. Apanya yang aesthetic? Percayalah, Ziya ingin sekali merubah kosannya seperti ruangan yang muncul di fyp t****k.
Garis bawahi! Memang aesthetic tidak butuh modal?! Mungkin itu satu-satunya kendala Ziya.
“Garap nov—hah! Inget Ziy! Skripsi harus diutamain!”
“Yo, yo semangat!”
Satu-satunya barang berharga di kosan ini dikeluarkan. Ya, laptop tua yang Ziya beli second sejak ia mendapat royalty pertama n****+. Percaya tidak kalau dulu Ziya hanya memakai handphone untuk menggarap n****+?
Itu adalah kenangan paling miris. Tapi anehnya Ziya justru menikmatinya dan tak pernah mengeluh. Curiga! Apa Ziya termasuk golongan masokis yang suka menyiksa diri sendiri?
Bunyi ketikan memenuhi ruangan sempit itu. Kadang berhenti sejenak. Beberapa menit terdengar lagi. Yah, beginilah Ziya jika mengerjakan skripshit. Coba saja yang dikerjakan garapan n****+. Mau sampai pagi tangannya tak pernah berhenti mengetik.
“Nggak bisa! Aku nyerah!” ungkapnya seraya merebahkan diri. Ia biarkan laptopnya menyala di pangkuan.
“Apa sih obat biar nggak males ngerjain skripsi? Kayaknya garap n****+ bisa tahan berjam-jam. Ini… belum ada tiga paragraf udah angkat tangan.”
Tak sengaja pandangannya menangkap tas di gantungan. Ah, benar juga! Di sana ada n****+. Satu-satunya n****+ yang belum Ziya baca di antara tumpukan n****+ miliknya di sana.
“Refresh dulu deh,” ujarnya seraya mengambil n****+ yang diserahkan Karin.
“Emh… coba kita liat. Apa sih daya tarik n****+ genre kerajaan?”
Setengah jam membaca. Ziya masih heran di mana letak menariknya. Biasalah, dia penganut aliran misteri yang menantang dan penuh teka-teki. Tiba-tiba disuguhkan bacaan penuh lope-lope di udara.
Tak disangka walaupun dirasa tak menarik. Ziya tetap membaca n****+ itu hingga dua jam terlewat. Setidaknya pengenalan karakternya tidak buruk. Bahasa yang dipakai juga jelas dan rinci sehingga kebudayaan Negara asing dalam n****+ yang tidak sesuai dengan Indonesia dapat dipahami dengan sempurna.
Ziya menganggu-anggukkan kepala. Melirik singkat ke pojok kanan bawah layar laptop. “Masih jam sebelas siang. Lanjut garap skripsinya nanti aja deh habis jam dua belas. Kata orang pamali tau ngerjain sesuatu pas jam dua belas.”
Dengan keyakinan itu Ziya melanjutkan aktivitas bacanya. Tanpa sadar ia membuang lebih banyak waktu. Seolah tak ada rem, Ziya tetap fokus membaca dan hanyut dalam dunia halusinasi. Jika bukan karena notifikasi dari shopaa mungkin ia tidak akan memalingkan pandangan dari barisan kata itu.
“Sumpah! Kayak makan wasabi campur sambel trasi. Ini inovasi baru dunia kepenulisan!”
“Gila sih. Pantes aja banyak orang minat. Aaaaa! Nyesel nggak baca dari dulu!”
“Unsur dramanya ada. Konfliknya juga nggak monoton. Bikin orang penasaran!”
“Terus-terus yang jadi daya tariknya tuh si Ethan! Aaaa! Dia tuh antagonis. Tapi nggak jahat. Malah dia berani berkorban buat pemeran utama cewek. Kalau bukan karena masa lalunya. Mungkin Ethan nggak akan haus kasih sayang ke si cewek. Huhuuhuu. Kasian cowok fiksi gue."
“Dari pada si Kaisar mending si Duke muda Ethan lah kemana-mana. Ah! Si female lead bego nih. Masak nggak tau ketulusan Ethan sih.”
“Padahal Ethan udah banyak menderita lho. Harus ke medan perang di usia muda. Udah gitu dibenci Ayahnya pula.”
“Huhuhuu. Ethan lo sama aku aja yuk. Langsung nikah ke KUA ikhlas adek bang.”
Baru membaca setengah buku Ziya sudah exited sendiri. Apa itu skripsi? Ia bahkan sudah melupakan kehadiran skripsi yang sejak tadi meneriakinya minta dikerjakan.
Sadar dengan laptop yang masih menyala dengan batre sekarat. Ziya beranjak walau rasanya malas sekali bagun dari kasur. Mengambil charger guna menyelamatkan laptopnya.
“Emh…. kayaknya aku punya ide,” ujar Ziya sambil memandangi layar laptop yang masih menampakkan skripsi seperempat jadi miliknya.
Alih-alih melanjutkan. Ziya justru membuka dokumen baru. Matanya berbinar memandangi halaman kosong. Di benaknya sudah terangkai alur cemerlang yang akan segera ia masak menjadi untaian kalimat.
“Oke, aku bakal buat karya kerajaan pertama ku.”
Bunyi ketikan kembali memenuhi ruangan sempit itu. Kali ini dengan binar yang tak pernah padam. Senyumnya terus mengembang sempurna. Menuangkan ke-halu-an paripurna menjadi paragraf dan dialog.
Jam terus berdetak. Sesuai kodratnya, siang berganti malam dan Ziya tetap di tempat yang sama berkutat dengan laptop. Beginilah Ziya jika otaknya sedang encer. Tak ada yang bisa mengganggu konsentrasinya. Pada dasarnya Ziya itu ambisius. Ketika menemukan sesuatu yang menarik. Ia akan berubah menjadi mesin ketik pintar.
Sayangnya, Ziya itu bukan robot. Ia hanya manusia biasa yang butuh makan dan minum. Dan Ziya lupa memenuhi kebutuhannya sendiri. Ketika pusing menyerang, jemari lentik itu tak lagi membuat suara ketikan. Barisan kalimat miliknya terlihat buram. Beberapa kali Ziya menggeleng-gelengkan kepala. Berharap rasa nyeri di kelapanya hilang.
Ah, ternyata tak segampang itu.
“Oh iya. Aku belum makan ya?” gumam Ziya di sisa tenaganya.
“Berapa jam aku di depan laptop?”
“Ugh! Kepala ku….”
Kening Ziya mengernyit. Merasakan denyut yang semakin parah. Di tambah tangan dan kakinya yang lemas.
“A-aku harus makan …. Sesuatu….”
Hendak melangkah. Sayang, tubuh yang tak dimasuki apapun itu tak dapat menampung berat badannya. Ziya jatuh saat menuruni kasur. Tatapannya layu menyorot meja. Di sana ada sepotong roti. Tapi Ziya tidak mampu untuk sekedar melangkah.
Minta tolong?
Oh ayolah, di kosan ini hanya dia yang tersisa. Semuanya pulang kampung karena sebenarnya ini masanya libur semester.
“Ha..haha. Payah. Masak aku bakal mati kelaparan sih?”
“Nggak keren banget!”
“Seenggaknya ketabrak truk kek. Biar kayak cerita transmigrasi.”
Kesadaran Ziya makin menipis. Tangan dan kakinya semakin dingin. Hingga akhirnya Ziya tak dapat merasakannya. Lalu hanya butuh waktu tiga hari. Ziya ditemukan tidak bernyawa di kosan.
Kematian Ziya membuat kampus gempar. Tentang mahasiswa yang ditemukan meninggal karena kelaparan.
“Sumpah nggak keren banget!” dengus seorang gadis cantik dengan manik sebiru langit. Ia berdiri di balkon kamar. Merasakan hembusan angin menerpa surai rambut coklat keemasan itu.
“Nyonya, saatnya sarapan,” ucap suara wanita dari belakang.
“Hum, taruh saja.” Wanita bermata biru itu melirik makanan di meja. Tiba-tiba selera makannya menghilang. Yah, bagaimana tidak? Biasanya ia makan dengan nasi lengkap dengan lauknya. Tapi di sini ia harus terbiasa makan dengan roti dan sereal.
Mungkin agak membingungkan. Tapi… perkenalkan, gadis bermata biru dengan rambut kecoklatan dan body ideal ini adalah Lilyana Trancy. Bukan pemeran antagonis apalagi protagonis. Lilyana adalah Ibu dari Ethan Trancy. Pemeran antagonis dalam n****+ berjudul The Destiny.
“Hah, udah seneng-seneng masuk dunia n****+. Kirain bakal ketemu sama Ethan. Taunya Ethan belum dibuat.”
"Nasib-nasib!"