5

2033 Words
'Aku berusaha mengejar kupu-kupu itu, tetapi dia terbang terlalu tinggi. Aku tidak peduli tantangan apapun, aku masih bertekad untuk memilikinya'- Ares Pratama Di sebuah Restoran Ares kini sedang makan siang bersama Siska. Pria itu tidak terlalu fokus pada makanannya karena pikirannya melayang pada sosok wanita yang adalah istri orang lain. Dia sangat senang bisa menemui wanita itu lagi seakan harinya sudah benar-benar lengkap atas kehadiran Mikaela. Sedangkan, Siska terus-menerus memperhatikan Ares yang sama sekali tidak fokus pada makanannya. Dia ingin sekali bertanya tentang apa yang dipikirkan oleh pria itu saat ini, tapi entah kenapa dia agak takut. Sejak pertama mengenal Ares, Siska bisa merasakan aura mencekam saat berada di dekat pria ini. Bisa dibilang, kalau bisa saat itu dia sama sekali tak ingin menatap pria dihadapannya ini. Tapi, sikap pria itu ternyata cukup manis. Bahkan mertuanya memberi tahu kalau Ares tidak bersikap demikian kepada semua orang. Mertuanya mengatakan bahwa Siska memiliki peluang mendapatkan pria yang sangat kaya raya itu. Mendengar itu, tentu saja Siska takkan pernah membuang kesempatan emas seperti itu. “Eumm… Ares?” Siska meberanikan diri untuk bicara. “Ya?” jawab pria itu datar. “Menurutmu, aku ini bagaimana? Apa aku menarik bagimu?” tanya Siska tanpa basa-basi. Sejujurnya, dia memang ingin tahu bagaimana Ares memandangnya. Mendengar itu, Ares tersenyum lembut tapi palsu dan menatap Siska, “Kamu itu… sangat menarik dan sangat cantik.” Sontak, jawaban Ares membuat jantung Siska berdetak lebih kencang. Dia merasakan ribuan kupu-kupu berterbangan dalam dirinya. Dia tersenyum secantik mungkin dihadapan Ares berusaha untuk semakin memikat pria itu. Dia dengan sangat percaya dirinya menganggap Ares tertarik padanya hanya dengan jawaban demikian. Tapi, dia sama sekali tak tahu apa yang sebenarnya dipikirkan oleh Ares. ‘Dasar wanita bodoh! Dimataku kau hanya parasite murahan! Tapi, aku masih membutuhkanmu, makanya aku sedikit memujimu. Setelah aku selesai dengan rencanaku, maka kau harus memilih takdirmu, pergi dari hadapanku atau mati.’ Ketus Ares dalam hatinya tapi masih memasang ekspresi palsunya di depan Siska. Sebenarnya, seorang Ares Pratama sangat ahli dalam menyembunyikan ekspresinya, tapi hatinya tak bisa diajak kompromi. Dia akan selalu mengatai sesuatu yang tidak dia sukai dalam hatinya. Tapi, begitulah caranya dia bisa bertahan dalam dunia bisnis yang kejam. Dia tidak boleh terlihat menentang dan harus tetap tenang. Tenang seperti air, tapi deras seperti ombak. Tanpa pikir panjang, Siska langsung menyambar tangan Ares diatas meja lalu menatap pria itu dengan penuh harap. “Kalau kamu menganggapku begitu, apa boleh aku berharap menjadi orang istimewa bagimu?”. Ares sebenarnya ingin tertawa sekeras-kerasnya mendengar pertanyaan wanita yang menurutnya sangat bodoh itu. Tapi dia menahannya dengan tersenyum sambil berkata,”Tentu saja.” Jawaban singkat seperti itu saja sudah membuat Siska terbang ke langit ke tujuh. ‘Akhirnya, aku mendapatkan pria idamanku!’ batin Siska bahagia. ‘Bodoh!’ ejek Ares dalam hati pada Siska. ~ARES~ Perusahaan Djuanda “Marcel, akhirnya kamu datang juga. Kamu sudah makan siang?” tanya Adinata ketika melihat menantunya datang ke kantornya. Adinata baru saja kembali beberapa saat yang lalu dari kantor milik Ares. “Sudah, Pa. Papa sudah makan siang?” jawab Marcel dan bertanya lagi sebagai bentuk perhatian pada sang mertua. Adinata tersenyum sambil berkata,” Aku kehilangan selera makanku, nak. Aku terus memikirkan soal Ares dan tujuannya kesini. Setelah pertemuan kami tadi, semuanya semakin jelas. Dia datang untuk menghancurkanku”. Jawaban Adinata membuat menantunya itu mengernyit bingung. Marcel tak mengerti apa alasan seorang Ares Pratama ingin menghancurkan mertuanya. ‘Pasti ada sesuatu yang disembunyikan oleh salah satu pihak.’ Batin Marcel. “Kamu mungkin ingin tahu apa yang ingin kusampaikan padamu, nak. Tapi, kalau kamu tahu soal semua ini, Papa yakin kamu tidak akan tinggal diam. Satu pesan Papa, kalau terjadi sesuatu di masa depan, maka tersangka utamanya adalah Ares Pratama. Semua yang terjadi ini adalah akibat kesalahanku dan kecerobohanku di masa lalu. Sebenarnya Ares dan William adalah korban, aku juga tak bisa sepenuhnya menyalahkan mereka. Jadi, aku akan menyelesaikan semuanya sendiri. Akan kubuka kedok orang yang berpura-pura menjadi penolong baginya. Dia harus mendapatkan karma dari perbuatannya.” Adinata menyampaikan pesannya. Jelas saja, Marcel tak langsung mengerti maksud pekataan Adinata yang penuh teka-teki dalam tiap kalimatnya. Satu hal saja yang bisa dia tarik bahwa jika terjadi sesuatu maka tersangkanya adalah Ares Pratama. “Apa yang terjadi dimasa lalu, Pa?” tanya Marcel. “Ini berhubungan dengan urusan kepolisian. Bisa dibilang ini kesalahanku, tapi penderitaan mereka adalah kesengajaan orang lain. Aku memang tidak mau memberi tahukan soal ini pada siapapun. Bahkan seluruh bawahanku yang dulunya terlibat, tidak tahu pasti kebenarannya sampai detik ini. Kurasa, Ares juga hanya mendapat sebagian dari kebenaran ini,” jawab Adinata masih menyembunyikan sebuah fakta penting. “Apa Papa yakin, kalau apa yang papa sembunyikan memanglah kebenaran? Apa itu memang fakta?” Marcel bertanya lagi karena merasa hal ini memang sangat perlu untuk diusut. “Ya, aku bisa yakin bahwa yang kuketahui adalah yang sebenarnya. Marcel, kalau nanti aku tidak ada, maka jagalah Kaela! Jangan lengah sedikit pun!” jawab Adinata lagi lalu menepuk pundak Marcel sambil memberikan sebuah pesan. “Ah satu lagi! Soal bisnis dengan Ares, kamu berhati-hatilah! Jangan sampai dia menjatuhkanmu! Dia memang sangat kuat, tapi orang kuat juga bisa dikalahkan dengan kecerdikan,” pesan Adinata lagi. “Papa bicara seakan-akan kedatangan Ares adalah sebuah seruan maut untuk Papa. Kenapa Papa bisa berpikir begitu?” Marcel bertanya lagi karena memang belum paham mengenai apa yang kemungkinan terjadi kedepannya. “Karena dia sendiri yang bilang begitu. Dan papa tidak mau Mikaela tahu soal ini,” lanjut Adinata lagi sambil melangkah keluar dari ruangannya. Dia sengaja meninggalkan Marcel yang masih dilanda kebingungan luar biasa. “Tidak akan kubiarkan Ares menyentuh keluargaku!” tekad Marcel dalam hatinya. ~ARES~ Di sebuah Salon Mikaela saat ini sedang bersama putrinya Selena dan kakak iparnya, Anyelir. Tadi saat makan siang, kakak iparnya menelpon untuk bertemu di salon. Bisa-bisanya, dia bilang kalau anak dalam kandungannya itu minta tantenya potong rambut. Aneh-aneh saja ngidam kakak iparnya ini. “Yang begini modelnya, kak? Cantik juga! Seperti artis Korea gitu,” komentar Mikaela sambil berkaca melihat rambutnya yang dipotong sampai setengah punggung dan diberi poni. “Mama cantik!” tambah Selena sambil mengacungkan dua jempol. “Gak salah kan aku mengidam. Kalau begini, kamu kelihatan kayak ABG. Marcel pasti makin sayang, soalnya istrinya makin cantik dan imut.” Anyelir juga ikut komentar. Mikaela hanya tersenyum melihat model rambutnya. Sepanjang hidupnya, dia sama sekali tidak pernah berponi. Saat remaja, Mikaela sama sekali tak peduli soal urusan rambut dan berpikir untuk memotongnya pendek. Dan saat kuliah, dia mulai memanjangkan rambutnya, itu pun karena permintaan Willy. Ya, hanya dipanjangkan tanpa pernah di modelkan segala macam. Bahkan terkadang, Willy yang menatakan rambutnya. Sekali lagi, Mikaela teringat soal Willy. “Okay! Saatnya aku ke kampus ya, kak! Boleh aku titip Selena?” tanya Mikaela. “Tentu saja! Kerjanya jangan terlalu keras, nanti sudah dapat anak, lho!” jawab Anyelir sambil sedikit menyinggung soal kehamilan. Mendengar itu, Mikaela hanya memutar bola matanya malas. Setelahnya, dia pamit pada Selena dan pergi ke kampus untuk mengurus beberapa hal. *** Universitas Esa Unggul Tanpa terasa, Mikaela sudah sampai di kampus. Dia masuk menuju ruangannya. Tapi saat berjalan, langkahnya terhenti saat melewati sebuah ruangan yang sudah terkunci selama beberapa bulan ini. Dia kembali dan memerhatikan pintu yang bertuliskan ‘Profesor William Simon.’ Papan nama itu belum sempat dilihat oleh pemiliknya setelah diganti oleh Mikaela. Bahkan, Mikaela membiarkan ruangan ini kosong karena banyak kenangan penting di dalamnya. Entah dorongan dari mana, Mikaela mengambil kunci ruangan yang selalu disimpannya lalu membuka ruangan itu. Mikaela masuk dan memandangi ruangan Willy. Dengan rasa agak penasaran, dia membuka laci-laci di meja kerja Willy. ‘Kosong’ batinnya. Tapi tiba-tiba, dia dikejutkan dengan selembar foto berukuran kecil yang masuk agak menjorok ke dalam laci itu. Langsung saja, Mikaela mengambilnya. Dia bisa melihat foto anak kembar yang kemungkinan berusia 7 tahun dalam foto itu. Mikaela tersenyum tipis karena melihat kemiripan luar biasa antara Ares dan Willy. Kedua anak itu terlihat sangat bahagia dan tersenyum. Mikaela sampai berguman,”Mereka pasti sangat dekat ya.” Dia memperhatikan foto itu lagi dan melihat salah satu diantara anak itu menggunakan bros. Bros yang dikenalnya. Ya, bros itu seperti milik ibunya yang hilang sekitar dua puluh tahun yang lalu lebih. Entah itu Willy atau Ares yang menggunakan bros itu. Bros lambang keluarga peninggalan sang ibu. “Tapi, bros seperti ini ada banyak. Mungkin sengaja dipakaikan pada salah satu dari mereka untuk membedakan mana Ares dan Willy. Aku juga tidak ingat kenapa bros mama dulu hilang. Sudah terlalu lama, sih! Yang aku ingat, hanya papa yang marah besar,” gumam Mikaela lagi sambil menyimpan foto itu didompetnya dan keluar dari ruangan Willy. Tak lupa wanita itu mengunci pintu ruangan itu lagi. Sebuah teka-teki baru dimulai. Masa lalu dan masa sekarang masih saling terhubung. Dan lagi-lagi mempertemukan mereka semua dalam permainan takdir yang tidak ada habisnya. Ya, pertarungan dalam kehidupan yang sebenarnya baru saja dimulai. ~ARES~ Apartemen Ares, St. Moritz- Presidential Suite Tower, Jakarta Barat Sepulang makan siang, Ares langsung mengatarkan Siska ke rumah wanita itu. Ares kemudian pamit untuk kembali ke apartemennya. Langkah awal rencana pria itu sudah dimulai. Sebenarnya, rencananya hanyalah menghancurkan dinasti keluarga Djuanda. Tapi, karena melihat kecantikan dari putri Adinata Djuanda, Ares merubah jalurnya untuk menghancurkan Adinata dan mendapatkan Mikaela. Aneh memang! Harusnya dia mengambil hati Adinata untuk bisa mendapatkan putrinya. Tapi Ares bukan orang yang bisa beralih tujuan karena urusan perasaan. Baginya, dendam selama dua puluh tahun tak boleh terkubur begitu saja karena cinta. Dia juga tak berharap Adinata menyukainya, karena yang dia inginkan hanyalah Mikaela. Ares menyuruh salah satu bawahannya untuk mencari kanvas dan perlengkapan melukis baginya. Pria itu kemudian mengambil pensil untuk menggambar di kanvas itu. Ares memulai dengan menggambarkan wajah dan rupa wanita yang ada di dalam bayangannya. Pria ini memiliki kelebihan yang sama dengan sang adik, yaitu pandai menggambar dan melukis. Setelah dia selesai dengan sketsanya, dia mengambil kuas lalu memberi warna pada gambar itu. “Luar biasa!” gumamnya memuji hasil karyanya. “Tuan, bukannya dia adalah putri dari Adinata Djuanda? Kenapa tuan melukis wajahnya? Tuan tertarik padanya?” tanya salah satu bawahan Ares, namanya Helios. “Ya, aku tertarik padanya!” jawab Ares tegas pada Helios. Bisa dibilang, Helios adalah bawahan yang sangat dipercaya Ares, karena bersamanya sepuluh tahun belakangan ini. Helios membantunya dalam segala hal, bahkan bisa dibilang, Helios adalah bayangannya dalam melakukan bisnis. “Dia istri orang lain, Tuan.” Helios sedikit mengingatkan. “Lihat wajahnya! Kamu sama sekali tak tertarik?” tanya Ares sambil menunjukkan wajah Mikaela yang baru saja dia lukis. “Saya mengakui kecantikannya, tapi anda bisa mendapatkan yang jauh daripada dirinya, Tuan,” papar Helios lagi. Tapi, Ares malah menyeringai dan berhenti melakukan kegiatannya. Dia meletakkan palet dan cat lukisnya di meja lalu duduk sambil melipat tangannya. “Pertama, ini adalah urusan pribadiku. Aku tak peduli mau kamu suka atau tidak. Yang kedua, bukannya merebut istri orang itu lebih menantang? Aku tidak suka pada wanita yang dengan mudah saja mau menerimaku. Aku sudah cukup sabar mendengar protesmu, Helios. Jangan karena selama ini aku bersikap baik dan selalu mendengarkanmu, kau bisa bicara seenaknya bahkan menasehatiku. Jangan ulangi lagi,” tandas Ares dengan nada bossy membuat Helios menunduk. “Maafkan saya, Tuan. Saya tidak akan melakukan kesalahan yang sama lagi.” Helios berulang kali membungkukkan badannya meminta maaf pada Ares. Kalau sampai Ares sudah tidak menyukainya lagi, maka dia akan dibuang, ya itu kata lain dari dilenyapkan versi Ares. ‘Aku harusnya sudah tahu kalau tuan Ares tidak akan pernah mendengarkan siapapun. Perkataan adik kandungnya saja dia abaikan. Apalagi aku!’ batin Helios. “Keluarlah!” suruh Ares langsung diangguki oleh Helios. Kini Ares kembali menikmati pemandangan yang baru saja di lukisnya. Dia terus menerus memandang keindahan wajah Mikaela dalam lukisan itu. Semakin dia memandangnya, semakin besar pula nafsunya untuk memiliki wanita itu. Dia tidak peduli sekalipun harus memisahkan wanita itu dari suaminya. Dia tidak peduli dengan kenyataan bahwa wanita itu adala putri dari musuh bebuyutan ayahnya. Yang dia inginkan adalah memiliki Mikaela setelah balas dendamnya selesai. “Aku heran bagaimana Adinata k*****t itu bisa dianugrahi putri secantik dewi Aphrodite. Aku harus memilikiku, sayang. Aresmu akan datang menjemputmu, My Baby!” gumamnya lagi sambil tersenyum penuh obsesi memandangi wajah Mikaela.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD