KCK 4

826 Words
"Ketika mengharapkan sesuatu dan yakin akan kudapatkan. Ternyata, Allah memberikan hal lain, yang sama sekali tak pernah kuminta apalagi menginginkannya" -Sinar Abizar-   Garut, 1990   Sebuah mobil berukuran besar membawa pemuda yang sejak tadi bersandar di pinggir jendela mobil. Sinar menempuh perjalanan dari Subang ke Garut lebih dari tiga jam. Pemuda lulusan terbaik ke dua MAN Cipulus itu sengaja memilih duduk di samping jendela agar bisa menikmati pemandangan yang indah. Bus jurusan Subang - Garut itu akhirnya menurunkan Sinar di tepi jalan raya. Mobil yang ditumpanginya tak bisa mengantarkan Sinar sampai Pondok Pesantren Al-Hasan Akmad. Sinar berdiri di tepi jalan dan menemui banyak angkutan umum yang berhenti di sebrang sana. Pemuda itu melihat ke kanan dan kiri hendak melintasi jalananan yang ada di hadapannya. Seorang kernet mendekati Sinar. "Bade ka mana, A?" tanyanya. "Bade ka Pondok Pesantren Al-Hasan Akmad," sahut Sinar. "Oh, kebetulan atuh searah, ayok naik," ajak sang kernet. Sinar pun menuruti perkataan kernet dan menaiki mobil angkutan umum yang ada di hadapannya. Tak sampai satu jam, mobil angkot berwarna hijau itu mengantarkan Sinar sampai di depan jalan Pondok Pesantren Al-Hasan Akmad. Sinar melangkahkan kakinya keluar dari angkot dan memberikan uang pada kernet. Mobil hijau itu pun berlalu dan Sinar mulai fokus memandangi kokohnya gerbang pesantren Al-Hasan Akmad. Sinar terdiam sejenak, hatinya tak berhenti mengucap 'Masya Allah' pemuda itu merasa takjub atas megahnya pesantren yang ada di hadapannya. Pemuda yang membawa ransel berwarna hitam tersebut mulai melangkahkan kakinya untuk masuk ke halaman pesantren. Perlahan pemuda asal Subang itu melirik ke kanan dan kiri, memperhatikan setiap sudut pesantren. Ia melihat banyak santri, baik yang masih anak-anak atau yang seumuran dengannya. Di sebelah kanan Sinar terlihat dari kejauhan segerombolan pemuda sebaya berjalan ke arahnya. Gerombolan santri putra itu berhenti di hadapan Sinar. "Assalamu'alaikum, A," sapa salah satu dari pemuda tersebut. "Wa'alaikumussalam," balas Sinar. "Ada yang bisa kami bantu?" tanya pemuda tersebut. Santri lain pun berkata, "Eh, Fur. Kita ke kamar duluan, ya. Assalamu'alaikum...," ujar sebagian dari gerombolan pemuda tersebut dan berlalu meninggalkan satu temannya yang sedang berbicara dengan Sinar. "Wa'alaikumussalam..." Sinar dan Gofur menjawab salam berbarengan. "Oh iya, A. Kenalkeun, nami abdi Abdul Gofur. Eh maaf, tiasa ngomong sunda teu?" tanya Gofur. "Alhamdulillah tiasa, Kang," sahut Sinar. "Oh, syukur atuh, hehe. Kebiasaan nyarios sunda, padahal mah kiai nyuruh kita pakai Bahasa Indonesia. Aa namina saha? Abdi biasa dipanggil Gofur! Abdi termasuk santri di pesantren ini," ujar Gofur. "Oh, iya, Kang. Saya, Sinar Abizar. Panggil saja, Sinar. Saya ke sini, mau nimbah ilmu di pesantren ini," ungkap Sinar. "Masya Allah, kalau begitu mari saya antar ke ruang pengurus pesantren," ujar Gofur. Gofur mengantarkan Sinar ke ruang pendaftaran. Pondok pesantren Al-Hasan Akmad tidak pernah menutup pendaftaran sepanjang tahun, karena tak ada batasan waktu untuk siapapun dalam menuntut ilmu. Sejak kepergian Kiai H. Gozali, pengasuh pesantren ini menggratiskan santri-santrinya demi menjalankan amanah Kiai H. Gozali sebelum akhirnya menghadap Sang Ilahi. Gofur menemui Ustad Tohir selaku kepercayaan kiai. "Assalamu'alaikum," ujar Gofur. Ustad Tohir mempersilakan Gofur dan Sinar untuk masuk ke ruangannya. "Aya naon, Gofur?" tanya Ustad Tohir. "Punten, Ustad. Ini ada calon santri baru, mau daftar menjadi bagian dari Pondok Pesantren Al-Hasan Akmad," ujar Gofur. "Oh, ya sudah. Silakan duduk, A. Gofur bisa tunggu di luar, ya," ungkap Ustad Tohir. "Baik, Ustad," sahut Gofur dan beringsut keluar ruangan. Sinar diberi beberapa pertanyaan tentang niatnya datang ke pesantren tersebut dan dari mana ia mendapat informasi tentang Pondok Pesantren Al-Hasan Akmad ini. Sinar pun menceritakan perihal bagaiaman asal mula dirinya bisa sampai tempat tersebut. Setelah setengah jam melakulan wawancara, Ustad Tohir pun memberikan kesimpulan. "Kalau dari saya insya Allah tidak ada masalah dan pesantren ini memang membutuhkan santri serta calon mengajar seperti antum. Tapi, saya di sini cuma khadimah, istilahnya hanya pembantu kiai. Pengasuh pesantren sedang ada urusan di luar, yang memutuskan diterima atau tidaknya para pendaftar, yaitu kiai. Mungkin bisa lihat-lihat pesantren dulu, insya Allah sepuluh menit sudah ada keputusan," tutur Ustad Tohir. "Baik, Ustad. Kalau gitu, saya pamit mau melihat-lihat pesantren dulu," ujar Sinar. "Mangga." Ustad Tohir mempersilakan. Gofur pun menemani Sinar berkeliling pesantren. Mereka terhenti, tepat di depan bangunan yang menyerupai masjid. "Di majelis ini tempat kita ngaji," ujar Gofur. Setelah sepuluh menit Sinar dan Gofur menyusuri pesantren, Ustad Tohir datang menemui kedua pemuda yang sedang duduk di majelis. "Assalamu'alaikum," ucap Ustad Tohir. Sinar dan Gofur segera bangkit dari duduknya. "Wa'alaikumussalam, Ustad," sahut Sinar da Gofur nyaris berbarengan. "Maaf, aya naon, Ustad?" tanya Gofur. "Teu, Fur. Ieu Sinar katerima jadi santri di pesantren ini," ujar Ustad Tohir. "Alhamdulillah," ungkap Sinar. "Maaf, Ustad. Naha meuni repot-repot segala datang ke sini?" tanya Sinar. "Oh, enggak. Sebenarnya saya memang mau ke majelis ini. Kebetulan ada kalian. Biasanya santri baru itu menemui kiai, tapi sekarang beliau mau ada urusan lagi di luar, jadi saya yang menyampaikan," tutur Ustad Tohir. "Oh, iya udah, atuh. Nuhun pisan, Ustad," ungkap Sinar. "Punten, Ustad. Ari kamar Sinar di asrama apa?" tanya Gofur. "Bareng sama kamu, di asrama Muhammad Al-Fatih," ungkap Ustad Tohir dan berlalu ke dalam majelis. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD