5- Pre wedding

1199 Words
Luisa benar-benar tak berminat untuk foto pre wedding saat ini apalagi setelah pembicaraan tak enak bersama Faazil beberapa menit yang lalu itu. Tapi ia tidak bisa pergi apalagi menunda. Yang ada kata-kata tajam Faazil akan semakin menusuknya. Luisa menatap dirinya sendiri didepan cermin. Tubuhnya telah berganti pakaian dengan gaun model d**a rendah serta agak ketat di bagian bokongnya apalagi belahan di sampingnya yang cukup tinggi. Membuat gadis itu malu sendiri karena ia tidak pernah berpakaian seterbuka ini sebelumnya. “Apa ini gak berlebihan?” Tanya Luisa dengan polosnya pada Faazil walau ia tau pertanyaannya hanya akan memancing pria itu. “Kamu benar-benar kuno ya? Ini tuh lagi trend sekarang.” Balas Faazil dengan tatapan meremehkan. Tapi ia tak munafik juga jika calon istrinya ini memiliki tubuh yang indah. Bahkan jauh lebih indah dibanding tubuh Ayuning. Selama ini gadis itu menutupi tubuh indahnya dengan pakaian bombrong dan gak jelas modelnya itu. “Tapi kan…” Luisa menutupi bagian dadanya dengan tangannya sendiri saat menyadari kemana arah tatapan Faazil saat ini.” Aku gak nyaman.” “Sayangnya aku gak pernah berniat membuat kamu nyaman.” Faazil tersenyum sinis.” Kamu cukup turutin dan ikutin alurnya aja jika mau hidupmu tenang setelah pernikahan kita nanti. Dan jangan pernah ikut campur dengan kehidupan pribadiku.” Lagi-lagi Luisa menelan ludahnya sendiri dengan susah payah. Ia pun akhirnya pasrah kembali dan memulai sesi foto preweddingnya dengan Faazil. Pose-posenya pun baginya terlalu dekat. Sampai harus peluk-peluk segala dan mendekatkan wajah, hampir menempel malah. Membuat Luisa dapat merasakan hangatnya hembusan nafas Faazil di wajahnya. Gadis itu merinding. Bukan karena terpesona, tapi karena takut. Apalagi ketika pose Faazil memeluk tubuhnya dari belakang dengan tangan kekarnya yang melingkar di pinggangnya. Luisa dapat merasakan betul saat deru nafas itu pada tengkuknya. Jika bukan karena Ayahnya, Luisa lebih baik tak menikah seumur hidup daripada harus mengorbankan seluruh hidupnya dengan pria macam Faazil ini. Ia merasa pernikahan ini adalah awal dari segala keburukan dalam hidupnya. Membuatnya berharap Faizal mau menolongnya. Tapi Luisa sadar diri. Ia hanyalah gadis yang selalu menolak Faizal karena kekonyolan pria itu yang padahal dia jauh lebih tulus dibanding kakak kandungnya ini. Faizal mungkin sebentar lagi akan membencinya. ………… Setelah mengirim pesanan kuenya lewat jasa kurir, Luisa segera menuju kampusnya untuk ujian terakhir. Selain menghindari Faizal, ia memang sibuk dengan pesanan kuenya. Terakhir bertemu Faizal, Luisa terlibat pembicaraan yang tak mengenakan. Membuatnya canggung untuk bertemu pria itu. Bahkan saat ini pria itu tampak cuek padanya, tidak seperti biasa. Ia seperti rindu tingkah konyol Faizal padanya. Luisa kembali sadar diri. Jika ia calon istri kakak kandung pria itu, ia harus menjaga dirinya agar pantas menjadi kakak iparnya. Ia tidak mau membuat Faizal semakin menderita, juga demi menjaga perasaannya sendiri agar tidak lagi mengharapkan pria itu. Faizal tampak lelah apalagi saat melihat Luisa masuk ke dalam kelas dengan penampilan agak kacau. Gadis itu terlihat sama lelahnya. Dia sempat melirik kearahnya tapi kemudian membuang mukanya kembali. Faizal merindukan kegalakan gadis itu padanya. Ia bahkan rindu dimaki-maki dengan Luisa dibanding melihat hubungan mereka sekarang yang mendadak dingin seperti ini. Faizal merasa kalah sebelum berperang. Ia patah hati bahkan sebelum memulai hubungannya dengan Luisa. …………. Bruk! “So… Sorry.” Faizal merasa bersalah karena pikirannya tak focus sehingga menabrak seseorang di lobby kampusnya.” Lui?” Luisa terdiam sambil memegangi kepalanya yang sedikit sakit. Ia merasa kurang istirahat akhir-akhir ini. Selain pesanan kuenya yang banyak, juga Faazil yang selalu melibatkannya di setiap persiapan pernikahan mereka. Padahal pria itu memutuskan semuanya sendiri dan sama sekali tak meminta pendapatnya. Ia hanya ikut sekedar setor muka pada setiap orang yang terlibat dalam mempersiapkan pernikahannya. Pria itu hanya ingin membuatnya semakin lelah bahkan sebelum mereka disahkan dalam pernikahan. “Muka kamu pucet? Kamu baik-baik aja?” Nada cemas yang Faizal tunjukan membuat Luisa semakin merasa bersalah. Luisa merasa bodoh telah menyia-nyiakan perasaan Faizal padanya. Padahal jelas pria itu mencintainya dengan tulus, hanya sikapnya yang memang agak ajaib. Memang penyesalan itu datangnya belakangan kan? Lagipula tidak akan merubah apapun saat ini jikapun ia telah memiliki hubungan dengan calon adik iparnya ini. Toh ia akan tetap dijodohkan dengan kakaknya yang super dingin itu. “Aku anter pulang ya?” “Terus aku anter kamu lagi ke kampus buat ambil mobil?” Tanya Luisa dengan nada bercanda. Ia jadi ingat terakhir kali saat Faizal menemaninya ke supermarket. Faizal terkekeh, menyadari Luisa masih mengingatnya.” Gak lah. Aku gak setega itu.” “Gak apa-apa. Aku bisa pulang sendiri.” Ucap Luisa yang kembali melangkahkan kakinya menuju parkiran motor. Sayangnya tubuh gadis itu langsung limbung, untungnya Faizal dengan sigap menangkap tubuhnya agar tidak sampai jatuh ke lantai. “Gak apa-apa gimana? Ini aja mau pingsan segala. Aku anter pulang. Pake mobil aku. Motor kamu bisa dititip di kampus aja.” Ucap Faizal tak terbantahkan, kali ini Luisa percaya jika pria ini memang adik dari Faazil. Dua-duanya sangat tegas dan keras kepala. Luisa tak mengelak lagi saat Faizal membopongnya masuk ke dalam mobil. Walau mereka lagi-lagi jadi bahan tontonan mahasiswa lain dikampus ini. Luisa menyandarkan kepalanya ke kursi mobil milik Faizal itu. Matanya terpejam. Tapi ia dapat merasakan jika Faizal tengah memperhatikannya. “Aku gak yakin jika Faazil akan memperlakukan kamu dengan baik.” Ucap Faizal yang kembali menghela nafas dengan lelah. “Aku pun juga. Tapi mungkin ini udah takdir aku.” “Ayah kamu pasti gak akan suka jika Faazil gak memperlakukan kamu dengan baik.” “Dia gak boleh tau.” “Kamu boleh berhenti sebelum terlambat, Lui.” “Andai aku bisa.” Luisa tampak menghela nafas panjang, berharap beban dalam dirinya segera pergi. Namun rasanya malah semakin sesak, membuat gadis itu tak tahan lagi untuk mengeluarkan air mata yang selama dua minggu ini ia tahan. Ia terisak sangat pilu. Faizal hanya bisa mengepal tangannya dengan kencang, menyadari mungkin kakaknya sudah menyiksa gadis ini bahkan sebelum pernikahan mereka berlangsung. Ia pun menarik Luisa ke dalam pelukannya. Masih pantas bukan? Toh Luisa belum jadi milik siapa-siapa.” Andai aku lahir lebih dulu dari Faazil.” “Jangan bicara begitu. Kalo kamu lebih tua dari aku bisa aja kamu lebih menyebalkan dari saat ini.” Luisa berusaha mencairkan suasana apalagi ketika dirinya dapat mendengar detak jantung Faizal dengan sangat jelas. Membuat gadis itu salah tingkah. “Kenapa nurutnya baru sekarang-sekarang sih pas kamu malah mau jadi milik orang lain?” “Maksud kamu?” Luisa melonggarkan pelukan mereka dan menatap ke manik mata coklat milik Faizal. “Kamu mulai ada perasaan sama aku kan?” Tanya Faizal dengan alis terangkat. Dirinya terlihat sangat yakin. Luisa mengalihkan pandangannya, berusaha mengelak. Tapi ia tak bisa menyembunyikan wajahnya yang memerah.” Itu udah gak penting lagi sekarang, Iz.” “Aku bisa memperjuangkannya, Lui.” Luisa menggeleng.” Gak perlu. Semua udah terlambat, Iz. Tolong jangan buat semuanya semakin sulit.” “Aku Cuma mau bantu kamu.” Luisa tersenyum.” Mungkin kalo kamu punya perusahaan yang lebih besar dari milik Ayah kamu dan Faazil, kamu bisa nolong aku.” Candanya. Faizal menghela nafas, menyadari kebodohannya di bidang bisnis ini. Sama sekali bukan minatnya. Lantas bagaimana bisa ia membantu gadis yang ia cintai? “Itu gak mudah, Lui.” “Yaudah. Jangan membuat semuanya semakin sulit berarti. Ini sudah takdir aku, Iz.” “Aku janji, Lui. Sedikit aja ada kesempatan membawa kamu pergi, aku akan lakukan.” “Jangan pernah berjanji soal masa depan, Iz. Gak ada yang pernah bisa memastikan masa depan.” “Aku akan berusaha, Lui. Kamu hanya perlu menunggu dan tetap seperti ini.” “Aku yang gak bisa janji. Bahkan siang dan malam berganti begitu cepat. Bagaimana soal perasaan?” Ucap Luisa seakan mematahkan harapan yang Faizal telah bangun. “Kamu menyukai Faazil?” Faizal ingin memastikan. “Sekarang memang enggak. Aku gak tau nanti. Aku hanya gak ingin memberi kamu harapan palsu.” Faizal mengusap wajahnya dengan kasar, tak bisa membayangkan jika memang Luisa akan mencintai kakak kandungnya sendiri nanti.” Dia bukan orang yang pantas untuk dicintai, Lui.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD