Ranting

1094 Words
Gayatri mengarahkan bola matanya untuk bertemu dengan mata lelaki yang ada di sampingnya. Menaruh rasa penasaran dengan perkataannya. Pikirannya masih belum bisa memproses kata-kata yang keluar dari bibirnya yang begitu manis itu. “Menatapnya biasa saja. Nanti saya terlalu percaya diri,” katanya mengambil ranting pohon yang ada di dekatnya. “Maksud kamu apa, sih?” Gayatri melangkah dua kali ke arah kanan. Menjauh dari Wijaya yang sedang berusaha untuk memancarkan pesonanya. Bukan main, jika pria itu tersenyum, benar-benar membuat hati seorang Gayatri berdebar-debar. “Kamu cantik doang, ya, tapi otak kurang main,” katanya mematahkan hati gadis yang sedang menatapnya penuh rasa penasaran. “Lihat!” perintah Wijaya sembari mematahkan kembali ranting yang ada di genggamannya. “Maksudnya apa?” tanya Gayatri dipenuhi penekanan. “Dasar perempuan. Bisanya memakai perasaan saja, giliran disuruh menggunakan otak dan logika kesulitan. Perhatikan baik-baik!” Wijaya kembali mematahkan ranting untuk ke sekian kalinya. “Menyebalkan,” ujarnya dengan mengerucutkan bibir tipisnya. Kedua tangan yang terlipat dengan rapi. Bahkan, wajahnya saja berpaling ke arah lain. Wijaya tertawa puas melihat tingkah Gayatri. Tingkah seorang perempuan yang sedang mengambek, ternyata lucu dan menggemaskan. Tangannya ingin sekali menyentuh hidung mancungnya. Tapi, teringat dengan statusnya yang bukan siapa-siapa. Wijaya menyentuh pundak Gayatri lembut. Sontak saja, Gayatri menghadap ke arahnya. Tatapan mereka bertemu, saling salah tingkah, dan terdiam. “Eh, maaf saya lancang,” katanya memalingkan wajahnya. “Duduk dulu,” sambung Wijaya melangkah ke arah kayu besar yang sempat didudukinya. Mereka duduk bersebelahan. Suasana canggung semakin terasa setelah kejadian beberapa detik yang lalu. “Mau tahu maksud saya mematahkan ranting tadi?” tanya Wijaya tanpa menatap wanita di sebelah kanannya. “Apa?” “Ranting yang telah dipatahkan, mungkin saja bisa disambungkan lagi. Tapi, tidak akan bisa kembali utuh. Akan tetap ada suatu keretakan yang terlihat dengan jelas. Artinya, sebagai manusia, mau laki-laki ataupun perempuan, jangan sampai rusak, walau hanya satu kali. Karena, tidak akan bisa sempurna seperti mulanya. Agar tetap sempurna, dibutuhkan ilmu agar semakin maju. Mungkin, perempuan dikekang untuk pergi dari rumah. Seperti apa yang kamu katakan tadi. Tapi, kamu harus tahu, mencari ilmu itu bisa di mana saja. Perempuan pun berhak untuk menempuh pendidikan. Jadi, teruslah belajar.” Wijaya mengambil ranting yang telah dipatahkannya. Mengambil dua batu dengan tekstur yang sangat halus lalu digosokkan sampai timbul percikan api. Membakar daun kering dan ranting-ranting yang sudah dikumpulkan di satu lubang. “Kenapa saya membakar ranting-ranting ini?” “Saya tidak tahu. Memang kenapa?” jawab Gayatri menggaruk keningnya. “Gunakan logikamu,” jawab Wijaya. “Kamu main logika, saya tidak paham.” “Hm, ranting-ranting ini dibakar untuk menghilangkan jejak. Sama halnya dengan manusia yang tidak memiliki ilmu dan prestasi, namanya akan menghilang tanpa ada jejak. Karena itu, perempuan juga berhak untuk mendapatkan ilmu demi sebuah kehidupan yang lebih baik. Memang, semua perempuan di sini tidak boleh keluar rumah?” Gayatri hanya mengangguk. Melangkahkan kaki kembali ke rumah. Sebab, matanya sempat melihat sosok ayahnya sedang mengamatinya bersama Wijaya. Sedangkan, Wijaya hanya bisa mengamati perempuan itu pergi. Lalu, melangkah masuk ke rumah dari kayu itu. Rumah sederhana yang telah ditempati selama beberapa hari. “Kenapa jadi aneh, sih, kenapa juga perempuan dilarang keluar rumah?” pikirnya sembari menyalakan kayu bakar untuk memasak air di atas tungku dari tanah liat. Beberapa saat kemudian, Wijaya membuat kopi yang seorang diri. Menyeduhnya beberapa kali. Di seduhan terakhir, dia mendengar suara yang begitu riuh. Berlari keluar dari gubuk sederhananya. Terkejut dengan rumah Prabu Tengker yang dikepung oleh beberapa orang yang berpenampilan bak prajurit kerajaan. Wijaya lari melalui belakang. Masuk ke rumah setelah dibuka oleh Tunggadewi. “Ibu, lebih baik segera pergi terlebih dahulu. Di depan sana banyak prajurit yang mengepung rumah. Berbahaya untuk Ibu dan Gayatri,” kata Wijaya sembari melirik ke arah luar melalui celah yang ada di dinding. “Tidak, saya tidak akan meninggalkan suami saya seorang diri. Kamu lebih baik pergi bersama Gayatri terlebih dulu. Nanti, ketika suasana telah damai, kembalilah,” katanya sembari mendorong Gayatri akan ikut bersama Wijaya pergi. Sebuah polemik yang tidak kunjung selesai membuat warga merasa cemas akan hidupnya. Wijaya lari bersama Gayatri melalui jalanan yang terjal dan ditumbuhi rumput lebat. Mereka berhenti setelah beberapa kilo meter dari rumahnya. Tidak lama kemudian, hujan turun dengan derasnya. Keduanya berlari menuju gubuk kecil yang berdiri tidak jauh dari kakinya berpijak. Berteduh di sana dengan perasaan yang tidak karuan. Memikirkan keselamatan orang tuanya yang sedang dikepung para prajurit kerajaan. “Gayatri, memang ada apa? Kenapa sering ada orang dengan tiba-tiba mencari atau mengganggu Ayahmu?” “Ada masalah pelik di dalam wilayah. Ya, seperti perang saudara. Alasannya yang pasti, saya tidak tahu. Ayah tidak pernah menceritakan masalah dan bebannya kepada anaknya. Beliau selalu ingin anaknya baik-baik saja dan tidak tersangkut dengan masalahnya. Makanya, terkadang Gayatri merasa tidak enak kalau melanggar perkataannya. Takut durhaka,” jawab Gayatri sembari memeluk tubuhnya sendiri. Memberikan kehangatan dalam dirinya sendiri. “Ehm, berdoa saja ya, semoga diberi keselamatan,” katanya. Beberapa saat kemudian, hujan telah mereda. Mereka melangkah kembali ke rumah. Mereka yakin jika peperangan telah usai. Waktunya untuk Gayatri merawat ayahnya. Kasih sayangnya begitu tulus untuk ayah dan ibunya. Seseorang yang bisa menghargai dan menghormati orang tua, jauh lebih sempurna daripada wanita yang berparas ayu, tapi tidak memiliki hati yang baik. Beberapa jam kemudian, perjuangan mereka untuk kembali telah membuahkan hasil. Wijaya kembali ke rumah yang ditempati seorang diri. Sedangkan, Gayatri bergegas ke rumah mencari ayahnya. “Gayatri,” panggil ibunya. “Bunda, bagaimana Ayahanda?” “Gayatri, Ayah tidak kenapa-kenapa, kok. Sekarang sedang menghadap ke kerajaan. Tadi hanya dipanggil untuk ke kerajaan saja.” Gayatri melepas napasnya dengan lega. Ternyata, hanya sebuah kesalahpahaman saja. Bersyukur jika tidak ada peperangan yang melibatkan ayahnya. Bagaimanapun kondisinya, Gayatri tetap mencintai ayahnya dengan ketulusan yang tidak bisa dinilai dengan mata uang. “Memang ada apa, Bunda?” “Bunda pun tidak tahu, tapi semoga tidak ada masalah yang begitu besar. Gayatri, masak sekarang, sebelum Ayah pulang,” jawabnya melenggang ke dapur. Memasak dengan menggunakan tungku kayu bakar. Menciptakan sebuah rasa yang begitu melekat akan kelezatan masakan yang tidak bisa diragukan. Sebuah masakan sederhana dengan menu sayur bayam dan sambal cabai merah. Ditambah ikan hasil menangkap di sungai belakang rumah pagi tadi. Beberapa menit setelah masakan siap disajikan, Prabu Tengker telah kembali. Duduk di bangku yang ada di dapur. Mengamati istri dan putrinya yang sedang menyiapkan makanan spesial untuknya. “Terima kasih untuk bidadari saya yang cantik,” kata Prabu Tengker sembari meneguk air putih. “Sama-sama, Kang Mas, ada apa dengan kerajaan?” tanya Tunggadewi memberikan seporsi nasi beserta sayur dan lauknya. “Tadi, hanya ada .... “
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD