Tak Ada Kata Terlambat

1178 Words
“Hanya ada apa, Yah?” Gayatri matanya melirik sekilas. Melihat ayahnya yang sedang duduk di bangkunya menikmati masakan. “Tidak ada apa-apa, kan?” timpalnya karena tidak juga mendapatkan balasan dari ayahnya. “Tidak ada masalah. Raja hanya meminta ayah untuk membangun wilayah kerajaan agar lebih maju. Tapi, belum menemukan cara yang paling baik,” katanya sembari menyendok nasi dari piringnya. “Maksud Ayah agar lebih maju?” “Kerajaan ingin agar wilayah kita jauh lebih maju dan kuat daripada kerajaan sebelah. Ayah diberi kepercayaan untuk menyusun strategi yang tepat. Sehingga, kerajaan kita bisa mengalahkan musuh, ke depannya Raja mengharapkan adanya kemajuan yang signifikan terhadap berbagai bidang.” Gayatri terdiam. Merenungkan perkataan Wijaya beberapa waktu yang lalu. Ilmu, satu kata yang terus memenuhi kepalanya sampai terasa pening. Tapi, Gayatri belum juga memiliki tekad untuk membicarakannya. Apakah waktu ini telah tepat? Hatinya masih dipenuhi rasa ragu. “Gayatri, menurutmu kalau diperkuat lagi dalam berperang dengan latihan pencak silat, bagaimana?” tanyanya meminta saran. “Bagus, Ayah. Tapi, paling penting dalam sebuah kemajuan adalah persatuan. Menurut Gayatri, langkah awal yang harus dilakukan adalah menghentikan perang saudara dengan perdamaian. Kemudian, saling mendukung dengan adanya latihan perang dan pencak silat. Lalu, tidak hanya laki-laki yang bisa memajukan kerajaan. Tapi, perempuan pun bisa. Gayatri, sebagai perempuan pun ingin mendapatkan perlakuan yang sama dengan laki-laki, tanpa ada pembeda dalam hal apa pun.” “Maksud kamu apa? Kodrat wanita itu di dapur. Tidak ada sesuatu yang bisa ditunjukkan untuk sebuah kemajuan. Apalagi kamu yang tidak memiliki apa-apa,” jawabnya tanpa memandang putrinya. Tak terasa air mata merembes ke pipinya. Dadanya sesak kala mendengar perkataan dari sosok ayahnya. Seharusnya, seorang ayah menjunjung tinggi anaknya agar tetap semangat dan terus semangat dalam hal baru. Tapi, Prabu Tengker justru menjatuhkan putrinya. “Gayatri makan saja,” kata ibunya agar tidak terjadi perdebatan lebih lanjut. Keesokan harinya, Wijaya tidak sengaja bertemu dengan Gayatri yang sedang mencuci pakaian di sungai. Mendekatinya lalu duduk di sebuah batu besar yang ada di sungai. “Kenapa kamu berbeda?” tanyanya sembari membenarkan jarit yang melilit di pinggangnya. “Sudahlah, memang perempuan itu tidak bisa untuk seperti laki-laki yang selalu dipandang dan diunggulkan. Perempuan memang tidak bisa apa-apa,” jawabnya dengan raut wajah yang terlihat begitu kesal. “Tidak bisa apa-apa? Kamu salah, Gayatri. Buktinya, kamu bisa mencuci pakaian dengan bersih. Bisa mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Pekerjaan itu sangat terpuji, sebab tidak ada upah dalam mengerjakan hal itu. Tapi, akan mendapatkan pahala yang berlimpah dari Tuhan.” “Kenapa kamu bisa berbicara dengan begitu manis? Apa kamu bukan manusia?” jawab Gayatri tetap melanjutkan dengan membilas pakaiannya. “Saya genderuwo yang sedang menyamar menjadi manusia. Gayatri, memang ada apa? Saya lihat dari raut wajah kamu terlihat seperti memiliki beban,” jawabnya. “Wijaya, menurut kamu perempuan bisa untuk membawa kemajuan tidak?” “Bisa!” “Caranya?” Gayatri memasukkan semua pakaian ke dalam wadah yang terbuat dari anyaman bambu. Berjalan mendekat ke arah Wijaya. Gayatri merasa terpesona dengan kepandaian Wijaya dalam berpikir. Termasuk pola pikirnya yang lebih maju daripada dirinya ataupun orang-orang di sekitarnya. Bahkan, dirinya saja merasa bingung dengan Wijaya yang selalu berbuat berbeda. Entah, dirinya sebenarnya datang dari belahan bumi sebelah mana. “Biasa saja. Tidak usah dekat-dekat, nanti bisa bahaya,” katanya sembari mengedipkan mata selama beberapa detik. “Iya, maaf.” “Begini, belajar banyak hal. Perempuan itu tidak melulu harus di dalam dapur ataupun sungai seperti ini. Tapi, berhak untuk menimba ilmu dan mengerjakan semua hal yang sama dengan laki-laki. Pertama, seorang perempuan juga berhak untuk belajar tulis dan baca,” katanya dalam satu tarikan napas. Beberapa detik kemudian, Wijaya membuang napas. “Ilmu baca tulis merupakan salah satu fondasi yang terbaik untuk mencari ilmu lainnya. Selain itu, juga harus bisa berhitung.” “Semua itu bagaimana caranya? Gayatri belum pernah belajar hal itu, sebelumnya.” “Nanti sore, datang saja ke belakang rumah. Belajar secara diam-diam, sama halnya dengan saya yang mencintaimu dalam diam,” katanya dengan suara yang nyaris tak terdengar. Melihat Gayatri yang terdiam, tubuhnya tidak bergerak dan mata yang menatap dengan tajam. Wijaya merasa canggung, lalu memutuskan untuk pergi dari sungai. Kembali ke ruang satu petak itu untuk memasak air. Tidak lupa, sebelum kabur dari hadapan perempuan itu, Wijaya membawa satu ember air. “Wijaya, jangan terlalu terbawa dengan perasaan,” lirihnya. Melanjutkan jalannya. Melenggang masuk ke dalam dapur melalui pintu belakang. Meletakkan panci berisi air ke atas tungku. Menyalakan kayu bakar yang hanya tinggal lima batang untuk memasak. Setelah api telah menyala dengan benar, Wijaya pergi mencari kayu di sekitar rumah untuk bersiap-siap jika kayu yang sudah dinyalakan habis terbakar dan air belum mendidih sempurna. Tidak disadari, Wijaya menatap gadis yang sedang menjemur pakaian. Terpana dengan kecantikannya. Tersadar dengan tatapan Prabu Tengker yang sedang berdiri di depan rumahnya. Wijaya kembali ke dalam rumah untuk menjaga api yang tengah membara di dalam tungku. Beberapa menit kemudian, air telah mendidih. Wijaya menuangkan air panas ke dalam teko untuk membuat teh panas. Menyeduh teh panas di depan tungku sembari membayangkan masa depannya bersama Gayatri jauh lebih nikmat. Sampai berimajinasi yang terlalu konyol. Padahal, jelas-jelas dirinya begitu asing dengan kebiasaan yang ada di wilayahnya saat ini. “Jaya, sadar ayo sadar,” lirihnya sembari memukul pelan keningnya. Waktu berjalan begitu cepat. Sekitar pukul setengah tiga, Gayatri telah menghampiri Wijaya di belakang rumah. Mereka duduk di tanah tanpa memedulikan pakaian yang akan kotor. Tangan Wijaya meraih ranting kayu yang ada di dekatnya. Mematahkan menjadi dua bagian, memberikan sebagian untuk Gayatri. “Gunakan ranting dan tanah untuk belajar. Ingat, belajar itu bisa dari mana saja, dengan siapa saja, dan menggunakan media apa saja,” kata Wijaya sembari menuliskan angka nol sampai sembilan. “Itu apa?” tanya Gayatri yang terlalu fokus mengamati gerak tangan Wijaya dalam mencoretkan ranting di atas tanah. “Diam dulu, nanti juga dijelaskan.” “ .... “ “Nah, sini ... Saya sudah menuliskan angka nol sampai sembilan. Jadi, ini dinamakan dengan angka. Gunanya untuk menunjuk pada nominal.” Wijaya mengarahkan ranting yang ada di genggaman Gayatri untuk mengajarkannya membentuk angka-angka. “Bagaimana, mudah, kan?” “Gayatri coba, ya,” katanya sembari menuliskan angka nol di bawahnya dengan menirukan bentuk yang sudah ada di atasnya. “Maaf, bentuknya jelek,” sambungnya. “Tidak ada yang jelek. Sebab, tergantung dengan tangan masing-masing. Kalau kamu mau belajar terus, nanti tulisanmu juga semakin bagus lagi.” “Wijaya, mempelajari angka hanya seperti ini saja?” tanyanya. “Angka itu hanya ada itu saja. Tapi, ada beberapa operasi perhitungan yang wajib dipahami. Operasi perhitungan dasar, bisa dipelajari nanti, dilain hari,” jawab Wijaya sembari membuang ranting yang ada di tangannya. “Sudah dulu, ya, takutnya nanti ketahuan sama Ayah kamu,” sambungnya diiringi senyuman yang begitu manis. “Memang belum terlambat kalau Gayatri belajar hal ini?” tanyanya dengan menunduk. “Gayatri, tidak ada kata terlambat untuk belajar. Sejatinya, manusia harus selalu belajar. Jangan pernah untuk lelah mencari ilmu. Kehidupan semakin berkembang, kalau kita tidak bisa mengikuti dan tidak mau untuk terus belajar, kita sendiri yang akan rugi.” Wijaya berjalan meninggalkan Gayatri. “GAYATRI!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD