Bab 8. Makan Malam

1373 Words
“Mas?” Luna memanggil Alex yang membesarkan matanya menatap cantiknya Luna. Ia sampai mengeraskan rahang lalu berusaha tidak terpikat dengan membuang muka. “Maaf kalau aku ingin meminta sesuatu. Arsen ingin mengajak Evander juga untuk makan malam ini. Jadi ....” Alex dengan cepat menoleh pada Luna dengan kening mengernyit heran. “Apa?” potongnya seperti sedang menghardik. Luna sedikit mengulum bibirnya lalu melanjutkan bicara. “Ya, mungkin Arsen akan merasa bosan jadi dia mau mengajak teman. Aku mohon agar kamu mau memberikan ijin. Sekarang Arsen sedang pergi menjemput Evan. Mereka akan menyusul kita nanti,” jawab Luna masih dengan sikap tenang dan nada yang lembut. Alex lantas mencebik kesal. Ia menyampingkan posisinya dan terlihat kesal. Jika Arsenio yang bicara dan meminta langsung padanya, Alex pasti tidak akan mengizinkan. Arsenio begitu pintar mempergunakan Luna sebagai tameng. “Maaf, Mas. Aku baru meminta ijin sekarang,” imbuh Luna lagi. “Kamu selalu memanjakan dia. semuanya dituruti,” gerutu Alex dengan suara rendah. “Maaf, Mas.” Luna kembali meminta maaf. “Ya sudah, kita berangkat sekarang. Kita sudah terlambat!” Alex melihat sekilas pada jam tangannya lalu berjalan lebih dulu dari Luna. Luna ditinggalkan di belakang seperti biasanya. Luna pun mengikuti langkah Alex serta tetap menjaga jarak darinya. Akan tetapi, setibanya di lobi rumah mewah Yogaswara, dua anak bengal yaitu Arsenio dan Evander belum terlihat. Alexander Henrick tidak mau masuk ke dalam sebelum anaknya tiba. Ia berdiri dengan gugup menggeram marah di dekat mobil mewahnya menunggu putra nakalnya, Arsenio Henrick. Ditambah lagi, Arsenio harus datang bersama sahabatnya, Evander Satria. "Di mana anak itu? Seharusnya dia sudah datang!" tukas Alex dengan mata mendelik pada istrinya Luna yang juga berdiri tak jauh darinya menunggu orang yang sama. "Sebentar lagi dia pasti datang, Mas. Tenang aja. Mungkin mereka kena macet," jawab Luna dengan lembut mencoba menenangkan. Meskipun Luna tidak bisa melakukan apa pun sebelumnya, tapi dia memiliki janji pada Arsenio untuk selalu mendukungnya. Alex tampak tidak sabar menunggu kedatangan Arsenio yang mungkin terlambat. Karena marah, dia kemudian menoleh pada Luna dan mendekatinya. Sesungguhnya mereka tidak pernah bersentuhan. Jadi Alex melipat kedua tangannya ke belakang. "Apa kamu menyembunyikan sesuatu dariku?" tanya Alex dengan sikapnya yang angkuh serta pandangan matanya yang tajam pada Luna. Luna tidak pernah takut pada Alex. Dia terbiasa dengan sikap acuh dan kalimat kasar yang menyakitkan hati dari Alex selama bertahun-tahun. "Gak, aku gak akan berani!" jawab Lunardewi dengan suaranya yang lembut tapi datar dan tanpa emosi. Alex menarik napas dalam-dalam sambil menatap mata teduh Luna. Untuk sesaat, mereka saling menatap, dan setelah beberapa detik, Luna menurunkan pandangannya. Alex memilih untuk membalikkan tubuhnya sehingga dia tidak harus menatap mata indah itu lagi. Sementara itu, si hati yang membeku, Lunardewi Henrick, melirik ke seberang jalan. Dia sedang menunggu Arsenio dan Evander. Angin malam dan sepoi-sepoi menyentuh kulit indahnya yang sempurna. Luna kemudian sedikit menengok ke atas untuk melihat langit malam yang cerah. Bintang-bintang dan bulan sabit ada di sana untuk menghiburnya. Hari ini bukan hanya makan malam dengan putranya tetapi juga hari ketika dia bertemu cinta sejatinya. Luna bukanlah berhati batu. Dia pernah jatuh cinta sekali. Saat-saat itu adalah kenangan yang begitu menyenangkan dan membahagiakan sampai pria itu pergi tanpa pemberitahuan meninggalkannya dengan sebuah kenangan. Pria itu, Keenan Abraham, pergi begitu saja, tanpa meninggalkan pesan atau apa pun selain calon bayi di dalam rahim Luna. Meskipun Keenan sangat bahagia pada awalnya setelah mengetahui bahwa Luna hamil, tapi dia pergi setelah tiga bulan kehamilan. Hari ini ia kembali begitu saja dan meminta maaf. Hati Luna sangat terluka dan hancur. Rasanya cinta itu kembali dan tak berguna. Luna memejamkan matanya menikmati angin membelai lembut kulit lengannya yang terbuka. Keenan sudah menghancurkan hatinya begitu lama dan masih sangat terasa. Luna adalah wanita cantik nan pendiam. Dia menutup dirinya dari dunia, terutama ketika Alex menikahinya untuk menjadi ibu dari bayinya. Ada waktu saat ia menangis dalam diam. Namun seiring berjalannya waktu, air mata Luna sudah tidak ada lagi. Dia mati rasa dan menyimpan duka di dalam hatinya. Setelah melamun selama beberapa menit, matanya menangkap sesuatu yang membuat ia sedikit tersenyum. "Mereka datang!" ucap Luna tiba-tiba dan Alex yang mendengar lantas membalikkan tubuhnya secara spontan. Dia melihat sekilas ke arah lobi parkir saat mobil Arsenio baru saja tiba. Putranya itu keluar dari mobil bersama Evander sambil memperbaiki jas mereka. Alex bisa melihat seberapa dekat hubungan Arsenio untuk Evander. Keduanya kemudian berjalan lebih cepat ke arah orang tua mereka setelah saling memperbaiki bowties (dasi kupu-kupu) seperti anak kembar. Alex menghela napas panjang saat melihat Evander. Dia tahu siapa Evander uang sebenarnya dan terus bersembunyi karena rahasianya terhadap Luna. "Dari mana saja kamu?" seru Alex begitu kesal kepada Arsenio. Keduanya berhenti dan saling melirik sebelum menghadapi Alex. "Uhm, maaf, Pa. Macet," jawab Arsenio menyengir. Evander hanya sekilas menundukkan wajahnya tapi berani langsung frontal menghadapi Alex. Luna pun tak ingin Alex memarahi anaknya, ia langsung menyela. "Mereka sudah ada di sini. Jadi, lebih baik kita masuk. Aku yakin kolega kamu sudah menunggu!" ucap Luna menyela padahal Alex sudah siap memarahi mereka, tetapi istri yang tak pernah diliriknya itu dengan cerdas memotongnya. Walhasil Alex malah memelototinya, tapi wanita itu seperti gunung es. Luna hanya menanggapi dengan pandangan sekilas yang dingin. Alex langsung menyadari salah jika ia balik memarahi Luna. Ini bukan saatnya. Pada akhirnya, Alex pun mengangguk. "Ayo ke dalam." Alex memerintahkan anaknya lalu melirik pada Luna dan memberinya sisi lengannya untuk mengapit. "Ayo masuk, Sayang!" sambungnya sinis. Alex sedang berakting menjadi suami yang romantis di depan orang lain karena ia memiliki kolega dan terus disorot publik. Jika orang-orang tahu apa yang dilakukannya, maka publik akan berbalik memusuhinya. Pada saat yang sama, Luna menanggapinya biasa. Dia meraih lengan Alex seolah-olah dirinya adalah cinta sejatinya. Arsenio yang melihat orang tuanya kemudian berbisik pada Evander. "Orang tua gue aneh!" Arsenio berbisik dengan mata melirik pada kedua orang tuanya. "Sstt ... jaga perilaku lo!" sahut Evander mengomel seraya menarik Arsenio untuk berjalan di sampingnya. Keluarga Henrick yang sempurna masuk lewat lobi utama dan beberapa pelayan mempersilahkan mereka. Luna menunjukkan sopan santunnya dengan menundukkan kepalanya dan memberikan senyuman terbaiknya. Di belakang mereka, anak-anak mereka menemani orang tua dengan wajah bahagia palsu, terutama Arsenio. Dia menyeringai lebar tanpa alasan. "Lo harus berhenti tersenyum kayak gitu. Lo harus menunjukkan rasa bahagia!" tegur Evander sinis bereaksi terhadap seringai aneh palsu milik Arsenio. "Gue bukan lo. Gue gak bisa pura-pura!" "Gue gak pura-pura. Gue suka makan malam ini. Ini pertama kalinya gue pakai jas." Evander tersenyum lebar dan sangat tampan. "Gak, lu boong kan?" "Enak aja, kapan lagi dapet kesempatan makan gratis!" "Ehem ... Anak-anak, kalian seharusnya gak berdiri di belakang!" Alex tiba-tiba menegur mereka. Ia bahkan menekankan kata anak yang juga merujuk pada Evander. "Maaf, Pa!" jawab Arsenio segera. "Berdiri di dekat Papap!" Alex mengarahkan ke sampingnya. Ia akan memperkenalkan Arsenio untuk kelancaran rencananya malam ini. Arsenio mengangguk dan menarik Evander bersamanya. Mereka harus menunggu beberapa saat sebelum tuan rumah datang. Luna terus memperhatikan Evander dan Arsenio. Dia tahu ini adalah waktu yang tepat untuk menunjukkan cintanya kepada mereka. Luna pun berjalan ke arah mereka untuk memperbaiki jas serta dasi. Pertama, Luna melakukannya pada Arsenio. "Aku gak apa-apa, Ma!" ucap Arsenio menolak, tapi sebaliknya, Luna tersenyum manis padanya. "Gak apa-apa, biar Mama rapikan!" jawabnya singkat sambil memeriksa semuanya. Setelah selesai dengan Arsenio, Luna beralih pada Evander. Evander tampak gugup ketika Luna menyentuh dasinya. "Gak apa-apa, Tante, aku bisa ...." Evander mencoba menolak Luna, tetapi dia tidak bergerak. "Biarkan Tante yang merapikan jas kamu ya. Kamu juga anakku malam ini!" Luna separuh berbisik lembut pada Evander. Kasih sayang itu tampak jelas. Di dalam hatinya, Evander selalu bermimpi memiliki ibu seperti Luna. “Gue pasti sedang bermimpi!” Evander berkata pada dirinya sendiri. Sebagai sentuhan akhir, Luna dengan lembut menyeka sisi depan tuksedo dan tersenyum. "Kamu ganteng," ujar Luna lembut. Alih-alih meresponnya, Evander hanya bisa bengong. Tidak lama kemudian, keluarga Yogaswara muncul. Luna berjalan ke posisinya di sebelah Alex seperti sebelumnya. Evander dan Arsenio akan berada di dekat orang tua mereka bersalaman dengan Bram dan Nora. Betapa terkejutnya Nora saat melihat jika kolega bisnis yang dimaksudkan oleh suaminya adalah Alexander Henrick. Alex tersenyum melihat Nora yang tiba dengan menggandeng Bram. “Selamat datang, Alex!” ujar Bram lantas membuka pelukannya pada Alex. Nora semakin terperangah saat melihat lirikan mata Alex yang penuh kelicikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD