Lunardewi tidak akan pernah menyangka bahwa hari ini Keenan akan muncul menemuinya setelah 17 tahun berlalu. Dia tidak bisa menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca. Mata yang diselimuti kesedihan selama bertahun-tahun.
"Bagaimana kabarmu? Maaf aku baru datang," ujar Keenan disertai senyuman sendu dari bibirnya.
"K-Kamu mau ngapain ke sini, Mas?" sahut Luna terbata-bata meski akhirnya sedikit mengumpulkan semua keberaniannya untuk mengatakan sesuatu pada Keenan. Rasanya jantungnya sudah copot dari tadi dan matanya mulai berair. Namun tidak, Luna tidak boleh menangis.
"Aku datang kemari untuk bertemu kamu," jawabnya lembut. Luna masih tidak percaya apa yang dilihatnya di depannya sekarang. Keenan sangat berbeda dan masih tampan seperti dulu. Tetapi bertemu lagi setelah lama pergi tanpa alasan itu menyakitkan.
"Setelah 17 tahun sekarang kamu kembali." Luna separuh bergumam dengan suara bergetar. Rasa sinis terdengar dari nada bicaranya saat menanggapi Keenan dengan mata berkaca-kaca. Keenan tertegun, menatap mata indah Luna yang siap menangis. Rasa bersalah terus membuatnya tidak tenang seumur hidup. Ia sudah meninggalkan cinta yang diinginkannya.
"Maafkan aku. Tapi aku punya alasan. Aku mau kamu tahu kalau aku ...." Keenan mencoba mendekati Luna dengan satu langkah maju, tetapi Luna malah mundur. Luna menatap Keenan dengan rasa marah serta kecewa. Hal itu bisa dirasakan oleh Keenan.
"Menjauhlah dariku, Mas. Aku gak mau mendengar apa pun alasan kamu," sahut Luna menolak Keenan meski masih bersuara lembut. Dia tidak pernah bisa meninggikan suara kepada pria yang dicintainya. Padahal Luna sangat ingin memiliki ekspresi emosi seperti orang lain dengan membentak. Tapi Luna seperti bunga yang lebih memilih untuk menjatuhkan kelopaknya saat ia terluka.
"Aku mohon, dengarkan aku dulu.” Keenan pun tidak meninggikan nada bicaranya sama sekali. Ia malah semakin lembut.
"Kumohon, dengarkan aku ...." Keenan bertutur lembut sambil kembali mendekat, tetapi Luna langsung menolaknya. Luna melangkah, mundur, dan tidak menanggapi apa pun yang diucapkan oleh Keenan yang ingin memberikan penjelasan. Tapi gerakan itu terputus dengan suara putranya yang menyela tiba-tiba.
Arsenio datang ke toko tiba-tiba setelah pulang sekolah. Sebelumnya, dia tidak pernah datang ke toko bunga ibunya sama sekali. Hari ini, ia kangen dan ingin cepat bertemu sang bunda.
"Ma?" suara Arsenio terdengar ketika dia membuka pintu ke ruang penyemaian tersebut. Dia masuk dengan santai tanpa menyadari bahwa ada seorang pria di ruangan yang sama. Luna kaget sampai menahan napas melihat sang anak datang. Matanya bahkan melebar begitu besar ketika Arsenio tersenyum padanya.
"Arsen, ngapain kamu di sini?” gumam Luna pelan.
"Aku cari Mama!" Arsenio membalasnya cepat dan tersenyum manis. Luna masih tertegun aneh menatap Arsenio sampai tidak tahu bagaimana harus menjawab. Sementara Arsenio akhirnya berbalik ke belakang dan melihat seorang pria yang sedang menatapnya.
"Maaf, aku gak tahu kalo Mama sedang punya tamu." Arsenio meminta maaf sambil melihat sekilas pria itu. Matanya tertuju pada ibunya dengan seringai aneh.
"Uhm, halo!" Keenan akhirnya mengambil kesempatannya untuk menyapa Arsenio. Arsenio meliriknya lalu tersenyum. Luna melihat mereka berdua lalu mengernyit tidak suka.
"Halo!" Arsenio dengan ramah membalas dan Keenan mengulurkan tangannya untuk berjabat.
"Nama saya Keenan Abraham. Senang akhirnya bertemu denganmu, Arsenio!" Keenan menjabat tangan Arsenio dengan senyuman yang tulus dan mata berkaca-kaca. Tanpa ragu, Arsenio pun berjabat tangan dan memberikan senyuman ramah yang sama.
"Nama saya Arsenio Henrick. Apa Bapak ini pelanggan atau teman Mamaku ya?" Arsenio bertanya pada Keenan, mencoba memulai percakapan. Keenan ingin menjawabnya, tetapi Luna dengan berani memotongnya sebelum dia bisa bicara.
"Kenalan. Dia hanya seorang kenalan," sahut Luna cepat lalu melirik sinis pada Keenan yang akhirnya mengulum cengiran misteriusnya. Keenan senang melihat Luna yang mulai berani. Seiring berjalannya waktu, Luna pasti berubah banyak. Yang jelas, dia jauh lebih cantik.
"Oh gitu ya." Arsenio hanya mengangguk saja, tapi ia bisa mengendus ketidaksukaan dari kalimat yang dilontarkan oleh Luna tentang Keenan.
"Apa kamu ingat denganku, Arsenio?" Keenan memulai keberuntungannya dengan mengakrabkan diri. Arsenio mengernyitkan kening saat mencoba menerka yang dimaksudkan oleh Keenan.
"Kayaknya kita belum pernah bertemu sebelumnya di mana pun, Pak Keenan!" Arsenio menjawabnya setelah berpikir sejenak. Keenan terkekeh kecil, tetapi mata melirik sekilas pada Luna yang menatapnya dengan raut cemas.
"Apa manajer kamu pernah bicara soal aku?" Keenan mengingatkan Arsenio tentang dirinya. Arsenio membuka mulut lalu mengangkat jarinya, menunjuk ke arah Keenan.
"Oh jadi Bapak adalah Keenan Abraham yang calon investor untuk klubku ya?" Keenan menyeringai lalu mengangguk.
"Wow, dunia ternyata sangat kecil ya!" Arsenio menyahut dengan nada bercanda.
"Jadi kalian saling kenal?" sahut Luna tak tahan akhirnya menyela dengan bertanya pada Arsenio tentang Keenan. Arsenio hanya tersenyum meyakinkan tanpa mengangguk.
"Sebenarnya, manajer yang ngasih tahu aku, Ma. Katanya kalau ada investor baru dan mau beli klub juga. Terus Pak Keenan mau bertemu aku buat ngelatih anaknya, Ma. Investornya ternyata Pak Keenan Abraham yang ini. Selama ini kan aku cuma dengar namanya doang belum ketemu orangnya," jawab Arsenio dengan polosnya menjelaskan.
Luna kemudian balik memelototi Keenan yang dengan berani menemui anaknya berpura-pura sebagai investor. Entah apa tujuan pria itu.
"Senang bertemu dengan Bapak di sini." Arsenio kembali menambahkan.
"Jangan panggil saya, Pak. Panggil saja Om Keenan!" Arsenio menyeringai dan mengangguk. Arsenio lalu berbalik pada ibunya untuk bicara.
"Aku kemari mau jemput Mama. Tadi Papa telepon katanya kita ada acara makan malam!”
"Makan malam apa?" Arsenio kembali mendekat lalu berbisik di telinga ibunya.
"Katanya di rumah temannya. Papa paksa aku ikut." Luna mengangguk paham meski otaknya masih berpikir keras. Namun, suara Keenan menyela lamunannya.
"Maaf, saya pikir saya tidak datang ke sini pada waktu yang tepat. Apa kalian sedang sibuk?" Keenan bertanya pada Arsenio dan Luna.
"Oh sebenarnya kami harus pulang sekarang, Om. Ini aku jemput Mama." Arsenio menjawab dengan cepat. Keenan pun mengangguk pelan.
"Kalau gitu, boleh Om bicara sama Mama kamu sebelum kalian pulang, jika kamu gak keberatan." Keenan meminta waktu untuk berbicara dengan Luna tanpa Arsenio. Luna balik mendelik pada Keenan tidak percaya. Bagaimana dia berani meminta untuk berbicara dengannya secara pribadi?
"Boleh kok, Om, aku tunggu di luar!" Arsenio menyentuh punggung Ibunya lalu tersenyum sebelum keluar dari ruangan tersebut. Dia meninggalkan Luna, yang pada awalnya tidak ingin bicara pada Keenan.
"Kita perlu bicara, Sayang," ucap Keenan dengan lembut. Luna langsung mendengus sinis usai mendengar panggilan itu.
"Jangan panggil aku, Sayang. Aku bukan pacar kamu lagi," sahut Luna kesal tapi Keenan malah terkekeh kecil.
"Aku tahu kamu marah sama aku. Tapi kita perlu membicarakan soal kita."
"Gak ada lagi yang perlu dibicarakan. Lebih baik kamu pergi, tokonya mau tutup!" Luna menyahut dengan sikap ketus kala dia berjalan ke pintu keluar.
"Apa itu putraku?" tukas Keenan dengan santai. Luna langsung berhenti tertegun saat memegang pegangan pintu.
"Putraku ternyata ganteng tapi dia sangat baik seperti kamu. Dia mirip aku kan?"
Luna diam membatu oleh kalimat yang diucapkan oleh Keenan. Keenan berpikir jika Arsenio adalah putranya. Karena itu, dia mendekatinya. Luna masih diam di posisinya tanpa menyadari bahwa Keenan sedang berjalan mendekatinya.
Setelah cukup dekat, Keenan menundukkan wajahnya lalu mengecup rambut belakang Luna dengan mata tertutup. Dia menghirup aroma Vanila dari helai rambutnya. Keenan begitu merindukan wangi vanila dari tubuh Luna selama ini.
"Aku sangat merindukanmu." Keenan berbisik lembut lalu mengecupnya untuk kedua kalinya. Luna tersadar dan dengan cepat menjauh sambil memelototinya.
"Jangan pernah menyentuhku lagi!" sahut Luna memperingatkan dengan terus memelototinya.
"Aku gak bisa menahan diri lagi. Aku kangen banget, Sayang!" bisik Keenan dengan mata berkaca-kaca.
"Jangan pernah mencoba bertemu anakku lagi. Gak ada ikatan apa pun di antara kita selama ini!" sahut Luna masih dengan kemarahan yang tertahan. Luna tidak ingin tenggelam pada harapan palsu yang diberikan oleh Keenan. Saat ia pergi tanpa pamit, saat itulah Luna sudah membuangnya jauh. Luna lantas berbalik dan langsung keluar dari ruangan tersebut tanpa pamit.
Keenan tidak mengambil langkah apa pun untuk mengejarnya. Sebaliknya, ia membiarkan Luna pergi bersama putranya, Arsenio. Dari balik kaca, Keenan melihat Arsenio membukakan pintu untuk Ibunya sebelum ia masuk ke dalam mobil juga.
"Aku akan merebutmu kembali, Sayang. Bersama dengan anak kita. Kita akan bersatu lagi!" Keenan bergumam kala melihat mobil Luna meninggalkan toko.