02I Scientist I Leader of The Pack

1632 Words
Lari. Lari. Theresa tetap berlari. Hanya berlari. Kulit tumitnya makin sobek tersayat retakan aspal. Dadanya kembang kempis, napasnya terengah-engah. Keringat menetes-netes dari kening. Dia melawan rasa lelah, haus dan takut. Hingga kemudian, tak ada lagi suara kaki-kaki binatang yang mengejar. Tak ada bayangan cakar yang hendak mengoyaknya. Larinya baru terhenti kala di ujung kegelapan berkabut ini berdirilah empat orang berpenampilan ala pasukan pemburu. Tiga pria, satu wanita. Sebagaimana Firio, mereka juga memakai mantel tebal, namun warnanya coklat. Udara memang sedingin es saat malam, Theresa semakin tersiksa dengan baju tipis. Suara tembakan nyaring terdengar. "Ayo kemarilah," ajak si wanita, tiga puluh tahunan berambut coklat terang sebahu. Pada mata kanannya terpasang kaca mata IRISproject yang pernah dilihat Theresa, hanya saja berbingkai perak, serta berlensa kelabu night mode. Dia meraih lengan Theressa, lalu menyeretnya masuk ke salah satu bangunan tertinggi.  "Orang-orang distrik 222 memang buas, ikutlah kami, sementara teman kami menahannya," ucapnya pelan. Theresa tidak berani melawan belasan orang asing ini, terlebih mereka membawa pisau tajam. Dia tersenyum pasrah menerima bantuan mereka. Kalau ini mimpi, artinya ini mimpi terburuk dalam hidupnya. Akan tetapi sebuah mimpi tak mungkin membuat jantung berdebar keras seperti sekarang. Ia meremas lengannya yang masih makin perih. Ini kenyataan. Ia masuk ke bangunan tua. Matanya tetap tertunduk, tak memperhatikan apapun kecuali langkah kakinya sendiri. Permukaan tanah disini penuh akan kerikil tajam. Bangunannya sendiri cukup berhias banyak jendela, temboknya dari batu besar berwarna putih keruh, sudah belasan tahun terabaikan. Sementara itu, pilar-pilar bagian dalamnya telah runtuh, sehingga sebagian atapnya ikut ambruk. Lobi hotel?, pikir Theresa mengamati suasana suram lantai bawah yang berarsitektur bak hotel modern, lengkap dengan meja resepsionis dan area tunggu. Hanya saja semua perabotan telah berdebu. Sela-sela retakan lantai ditumbuhi rumput dan pohon kecil. Horor sekali. Atap lantai atas sudah rendah, bersiap menguburnya hidup-hidup. Tempat ini sungguh tidak aman.  Mereka berlari ke reruntuhan tembok bangunan yang membentuk terowongan panjang. Semakin memasuki area itu, makin tipis udara di sekitarnya. Napas Theresa megap-megap, berusah payah menarik napas. "Tidak apa-apa, jangan takut, kami dari distrik 122 dalam dinding Eve, yang kebetulan mampir ke kawasan ini, dan kami mendengar kegaduhan- teriakanmu, jadi kami menolong," bisik si wanita asing menenangkan tubuh gemetarnya. Theresa tak bisa berbicara, masih tersengal-sengal. Dia tetap diam hingga mereka keluar dari gedung itu. Pemandangan malam kembali terbentang, cahaya rembulan menerangi bukit-bukit indah yang terhampar di depan mata.  Samar-samar di kejauhan terlihat tembok tinggi yang menjulang ke langit. Akan tetapi jaraknya begitu jauh, hingga tak mungkin dicapai dengan cepat dan mudah kalau tanpa kendaraan. "Ayo kita ke kawasan distrik 220 dahulu, kepala sukunya bersahabat," saran si wanita yang menyeret tangan Theresa, berniat mengajaknya merosot ke tanah landai berumput basah yang menjadi jembatan menuju bukit-bukit itu. Theresa menolak. "Mau kemana kita? Suku? Memangnya kita ada dimana?" Dia ingin bebas dari cengkraman wanita ini, tapi tangannya kalah kuat. Seorang atlit? Tentara?, tanyanya dalam hati. Salah satu emuda dari empat pemburu ini, si mata biru sebening lautan, mengetuk pinggiran lensa IRISproject miliknya. "IRIS-ku masih belum ada sinyal." "Memang semakin jauh dari dinding Eve, sinyal IRIS sulit dicapai," timpal si wanita. "Dinding Eve? Kita dimana?" Theresa nyaris histeris karena dihiraukan. Keempat orang tadi mulai menaruh perhatian padanya lagi. Mereka agak heran sekaligus penasaran. "Sebenarnya apa yang membuatmu dikejar? Punya pasangan lain? Warga di distrik ini terkenal pencemburu berat, satu pasangan seumur hidup-" kata si pria bermata biru yang terkesan bercanda, terbukti dari caranya tertawa pelan. "Cas, ini bukan bercandaan." Si wanita menyenggol pinggang pria itu. Lalu kembali menarik lengan Theresa, menyeretnya turun ke tanah landai. "Sudahlah, kita pergi ke kawasan aman dulu- orang disini sungguh berbahaya. Aku pernah melihat para wanita tega memakan jantung prianya kalau ketahuan punya yang lain." "Apa maksudnya itu?" Theresa tidak paham sama sekali, tapi dia tidak bisa melawan. Apalagi ketiga pria itu juga mulai mendorong punggungnya. "Tenang saja, kami tidak bermaksud melukai, kami terpecaya, kami penghuni dari dalam dinding, bukan makhluk liar- seperti pasanganmu itu," ucap si mata biru yang lagi-lagi bermuatan candaan serta sindiran. Langkah kaki asing mendekat dari gua ambrukan gedung itu. Firio. Dia berhenti di belakang mereka, helaan napas hangatnya membeku di udara. Penampilannya agak berantakan seolah telah melakukan perkelahian hebat, pupil matanya menajam, rambutnya bagai belasut medusa. "Kembalikan dia," perintahnya pelan, penuh intimidasi total. Rasa haus darah menggelora dalam jiwa, menguarkan bau merah membara. Dia marah besar. "Penghuni lain dilarang memasuki kawasan ini." Semuanya berbalik bersamaan. Kaget, panik, tergambar jelas dari mata mereka yang melotot. "Apa! Bagaimana dengan Eoghan?" kejut si mata biru melihat Firio. Tangannya gerak cepat mengeluarkan pisau berburu khusus, gagangnya penuh tombol, sedangkan bilahnya bergerigi. Perlahan, Firio melemaskan otot, suara gemeretaknya cukup menakutkan. Posisi tubuhnya telah memasang kuda-kuda menyerang, ia menggenggam sebuah pisau berburu. "Siapa kau ini? Aku sungguh tidak mengenalmu!" jerit Theresa nyaris seperti kerasukan melihat sosok pria itu lagi. Firio tersenyum kecil ke arahnya. "Percuma, jangan melarikan diri lagi. Sekalipun aku buta, aku bisa menemukanmu, aku sangat mengenali baumu- jelas sekali, Theresa." "Aku tidak tahu kenapa kau bisa tahu namaku, tapi sungguh- aku tidak mengenalmu." "Aku suamimu." Si mata biru bersiul, lalu berbisik pada teman-temannya, "bahaya." Tungkai Theresa gemetar, rasanya tak mampu lagi berdiri. Bagaimana mungkin pria ini hendak membunuhnya tanpa alasan jelas? "Apa tidak ada polisi?" tanyanya lirih sekali sampai terhempas udara lewat. Firio memutar gagang pisaunya agar pegangannya lebih erat. Seringainya muncul, lebih s***s- lebih kejam, terutama saat melirik sang istri. "Kembalikan milikku, atau kalian akan tercabik sekarang." "Gawat. Dia memutar pisaunya!" teriak si wanita menarik paksa Theresa sampai mereka berdua merosot jatuh ke rerumputan tanah bawah. "Tahan dia! Aku akan menghubungi Eoghan saat ada sinyal." Ia menyeret Theresa untuk bangkit, lalu menyeretnya berlari lebih kencang dan kencang. Mereka mendaki serta menuruni bukit-bukit menuju ke arah dinding di kejauhan sana. Sedangkan ketiga pria itu menghadang Firio. Masing-masing mereka membawa s*****a pertarungan jarak dekat. Si pria bertubuh paling jangkung memakai knuckle, sedangkan pria ketiga, si tubuh kekar, menghentakkan sebuah tongkat hitam dari bahan mirip besi yang mampu memanjang hingga seukuran lengan. Lolongan serigala mendekat- belasan binatang buas itu berdatangan dari atap bangunan runtuh, menerjang ketiga pria. Mereka mengumpat selama sibuk dengan cakar dan gigi mereka, sedangkan Firio mampu menerobos mereka dengan mudah. "s**l! Dia lolos!" teriak si mata biru menarik belakang mantel Firio. Akan tetapi kemudian terlepas dalam sekejab akibat tersayat pisau- terlalu cepat, gerakan pria serigala itu bagai hembusan angin. "AISLA!" teriaknya sembari menepis cakar belasan serigala besar. Temannya, si kekar, sampai kuwalahan, "mereka tambah banyak, kita harus mundur ke perbatasan wilayah s****n ini-"  Si tubuh jangkung ikut panik. "Serigala distrik s****n ini sama sekali tidak bisa diintimidasi, benar-benar mengerikan. Lemparkan bom asap khusus, Cas!" Si pria mata biru melemparkan benda mirip sebuah bola kasti berbahan kaca bening. Saat pecah di atas permukaan tanah, menyebarlah asap bening yang berbau khusus. Baunya bak asap api yang begitu menyakitkan saat dihirup. Inilah yang menyeruak masuk hidung mereka- mengacaukan penciuman hingga penglihatan. Perlahan mereka meringkuk, menggeram sambil mengusap-usap mata karena pedih. "Kabur, kabur, kabur!" teriak si mata biru melarikan diri dengan merosot ke bawah- mengejar Firio, bersama dua temannya. Akan tetapi belum ada satu menit, para serigala tadi sudah pulih- imunitas mereka terhadap benda itu meningkat. Mereka ikut berhamburan ke tanah perbukitan- berburu yang sesungguhnya. Kelompok serigala ini secara naluri akan menemani sang pemimpin. "Belum semenit!" teriak si mata biru tak percaya sudah dikejar serigala lagi. "Mana mereka tidak takut apapun!" "Lempar lagi!" "Sebentar-sebentar, biarkan mereka berkelompok-" "AISLA, HATI-HATI!" Sementara itu, Theresa beruntung permukaan tanah telah terlapis rumput lembut, sehingga kakinya tak sakit kembali, walau bagian tumit masih terasa perih. Lolongan serigala menggelora lagi- menembus telinga mereka berdua. Mengerikan, suaranya sangat dramatis- seperti hampir berhasil menerkam mangsa. Theresa menoleh sekilas, lalu menjerit, "AAAHHH!" Firio sudah dekat, sedikit lagi- tangan besar berotot itu akan meraih kain belakang bajunya. "Lari, lari, lari," teriak si wanita bernama Aisla itu seraya mendorong Theresa menyingkir, lalu menghadang Firio dengan pisau lipatnya yang bisa memanjang hingga sepanjang setengah lengan. Serangan pisau berburu Firio jauh lebih tangkas daripada kemampuan wanita itu. Hanya sekali tebasan, dia mampu menghempaskannya ke rumput perbukitan ini.  "Lari saja!" teriak Aisla lagi seraya meremas lengannya yang tersayat. Lukanya tak dalam, beruntung kain baju yang ia pakai cukup tebal. Theresa sangat ingin berlari, tapi Firio tahu-tahu sudah di depan mata- "Aku mencintaimu, Theresa-" kata Firio bernada dingin sembari mengayunkan bilah pisaunya ke leher wanita itu. Theresa seperti melihat kekecewaan dalam sorot mata itu. Ia tak bisa bergerak- seolah pasrah menanti ujung pisau berkilau itu menebasnya. Aisla mendorong tubuh Firio ke samping di detik terakhir sehingga pisau itu menebas udara. "Aku bukan Theresa-mu, sungguh!" bantah Theresa tersadar sembari mundur cepat beberapa langkah. "Kau Theresa-ku!" sentak Firio mendekat lagi. Rasa cinta dan benci menyelimuti kedua sorot matanya, sangat menyedihkan serta kesepian. Lolongan serigala terdengar. Ketiga pria tadi kompak melemparkan beberapa benda mirip bola kasti lagi- udara pun berbaur dengan aroma menyesakkan kembali. Para serigala pun mengusap-usap mata dan hidung mereka yang tak nyaman. Firio mengeluarkan suara lolongan rendah bagaikan sebuah perintah. Seketika itu pula, mereka bangkit dengan mata kuning emas menyala di kegelapan- sisi predator asli pun bangkit. Aisla menyeret tangan Theresa, mengajaknya berlari ke arah kanan mereka- menuju hutan kecil. "Kabur kalian!" teriak si mata biru seraya menghadang Firio lagi. Kali ini dia menggenggam dua pisau berburu. Dua temannya ikut. Sebuah tembakan terdengar di belakang mereka semua, suaranya keras hingga membuat para serigala tertegun- suara ini lagi. "Berani muncul lagi dia, kukira hanya pengecut-" cela Firio sambil menunjuk ke belakang, kawanan serigalanya pun berlari mengejar si penembak lagi. "Eoghan!" sebut si mata biru agak bahagia, memasang kuda-kuda menyerang Firio. "Ayo kita bertarung habis-habisan, Tuan Serigala, kau pasti lemah tanpa kawananmu." "Oh-" Firio menyeringai. "Di sebuah kawanan, seorang pemimpin tidak boleh kalah atau kawanan itu akan berantakan-" Tiga pria tadi merasa terintimidasi hanya oleh seringai itu. Mereka sepakat menaruh Firio dalam daftar urutan teratas penghuni liar paling berbahaya selain pemimpin suku kanibal. Mereka hanya harus mengulur waktu, lalu kabur. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD