03I Scientist I A Long Night

1424 Words
Aisla dan Theresa menuju ke kegelapan hutan kecil. Hanya pepohonan pendek yang terlihat disana, daun-daunnya bukanlah hijau, melainkan merah. Tak banyak yang bisa terlihat dari sana jika hanya mengandalkan pencahayaan rembulan. "Ah kita beruntung, ada kaum nomaden, kita bisa berlindung disana sebentar-" kata Aisla merasa lega. Theresa diam saja, sudah setengah mati dia ketakutan. Ia tak berani menoleh barang sedetik pun. Firio yang murka lebih mengerikan ketimbang orang-orang asing ini. "Pria itu- kenapa seperti binatang? Dia sudah gila ya?" tanyanya menepuk tangannya sendiri untuk menghentikan gemetar. "Harusnya aku yang tanya, kau apakan dia sampai mengeluarkan sisi buasnya?" "Aku saja tidak kenal." "Jangan bohong, dia tadi bilang kalau dia suamimu." "Aku belum menikah! Baru malam ini saja aku melihat pria itu- mana mungkin aku menikahi orang yang berkerumun dengan serigala? Dia tadi bisa melolong, kau dengar'kan? Pertama kalinya aku mendengar manusia melolong! Memangnya dia Mowgli?" "Kaum buas di distrik 222 itu lumayan berbahaya, setiap orang biasanya punya binatang buas. Biasanya kalau malam begini, warganya berburu sendiri-sendiri." "Astaga." "Mungkin dia cemburu karena sesuatu, kau tahu'kan? Warga di distrik itu mengikat janji sehidup semati- kalau ada yang mengingkari ya- pasti mati." "Sudah gila-" "Aku sering sekali melihat mayat bergelimpangan di sekitar wilayah ini, biasanya pertikaian terjadi antar pasangan sampai salah satu tumbang." "Itu bohong'kan? Aku sungguh tak mengenalnya, bagaimana ini? Bagaimana kalau dia membunuhku? Lagipula dimana aku ini?" "Tenang, kita masuk ke hutan ini dulu, mencari perlindungan." Theresa menelan ludah lagi, membasahi dinding kerongkongannya yang terus mengering. Jantungnya berpacu cepat. Kelelahan bercampur rasa takut menggelayuti tubuh. Berlari-lari tanpa henti, tanpa tahu situasi yang menimpa. Apa yang terjadi? Mengapa pintu kamar mandinya berubah menjadi tempat asing? Tidak masuk akal. Mereka masuk ke mulut hutan kecil itu. Ada semacam gelembung tembus pandang yang terasa hangat di kulit saat mereka melewatinya. Theresa mengedarkan pandangan kemana-mana, sekilas dia melihat ada beberapa benda kotak coklat yang terpasang di batang-batang pohon.  Badan benda itu tertulis kata CENSERICproject 3.0, sebuah alat yang mirip sensor pendeteksi gerakan. Hanya saja skalanya lebih besar sehingga hutan kecil ini terlingkup oleh kubah sensor tak terlihat. Ketika Theresa dan penolongnya ini baru memasuki wilayah itu, ada gerakan mendekat. Mereka berhenti seketika, membiarkan orang-orang berpakaian mantel tebal gelap mengepung mereka dari berbagai arah dengan s*****a api laras panjang yang mengeluarkan cahaya laser hijau. Theresa panik, dadanya penuh titik. Dia spontan mengangkat tangan. "Jangan tembak, kumohon." Aisla mengarahkan kedua tangan ke belakang, memberitahu kalau dia bersahabat. Karena itulah dia bingung dengan sikap Theresa, sebelumnya tidak ada reaksi tangan diangkat saat ditodong.  "Mau apa kau?" herannya. Dia berbisik, "turunkan tanganmu, kau membuat mereka akan mengira kau sedang mengancam." Theresa menurunkan tangan, lantas menyembunyikannya ke belakang sebagaimana wanita itu. Para pria kaum nomaden menurunkan s*****a mereka yang sebenarnya bukan menembakkan peluru timah, melainkan peluru listrik. Pada larasnya tertulis ELECTRAproject, alat khusus untuk melumpuhkan otak para musuh sampai tak mampu bergerak sama sekali. "Ada masalah apa sampai kalian berlarian malam-malam dekat dengan distrik 222? Siapa kalian?" Seorang pria paruh baya berjanggut hitam bertanya dengan ramah. Dia sudah tahu kalau ciri fisik kedua wanita yang menghadapnya itu bukanlah dari distrik liar terdekat. "Salam, namaku Aisla, distrik 122, dalam dinding Eve, kami sedang mencari bahan baku- dan tidak sengaja terlibat pertikaian dengan warga distrik 222, bisakah kami meminta perlindungan disini? Teman-teman kami sedang melawan warga itu." "Oh, penghuni dinding? Mmmm, baik, tidak masalah, ini sudah berada di luar wilayah distrik 222, dia takkan mau bertikai disini seenaknya. Mari ikut aku." Pria itu mengisyaratkan mereka berdua untuk ikut. Theresa dan Aisla berjalan beriringan dengan pendampingan para pria. Mereka menuju ke tengah hutan berpohon daun kemerahan ini.  Theresa sekilas mengira pepohonan ini adalah sejenis maple, akan tetapi bau yang menebar di udara mirip kulit batang pinus, jadi dia agak bingung, bertanya-tanya sebenarnya ada dimana ini? Tenda-tenda berwarna gelap dibangun di seputar api unggun kecil. Para wanita mengintari api itu sembari memanggang ikan dan daging binatang kecil lain. Sedangkan beberapa anak telah tertidur dalam pangkuan mereka.  Kehidupan ini sangat primitif di mata Theresa, akan tetapi keraguannya timbul kala melihat beberapa mobil jip berwarna hijau lumut mirip milik para tentara. Kendaraan itu terparkir rapi di belakang tenda, pada badan sampingnya tertulis J.E.E.P. Pria paruh baya berjanggut tadi memperkenalkan diri, "namaku Alger, aku pemimpin disini, kami baru sampai, kalian bisa makan malam dengan kami- itu kalau kalian belum makan." Theresa dan Aisla disambut diantara para wanita. Mereka duduk di atas batu-batu yang telah disiapkan. Tatapan mata coklat para kaum nomaden ini meneliti fisik keduanya. "Namaku Aisla, salam kenal, dari distrik 122, dalam dinding," kata Aisla mulai mengetuk kerangka lensa IRISproject miliknya. Akan tetapi sayangnya malah tertulis ERROR, pertanda tak ada sinyal untuk menghubungi siapapun. Dia pun melepasnya, lalu menghela napas panjang. "Maaf, apa mereka akan baik-baik saja?" Theresa meremas kedua tangannya, panas api unggun tak membuat keringat dinginnya sirna. Paru-parunya makin sesak saat menghirup asap hitam yang mengepul di udara itu. "Dia hanya sendirian, jangan takut, kau kira berapa kali kami berhadapan dengan orang dari distrik itu? Cuma pria yang tadi- agak berbahaya, mungkin pemimpinnya, tapi tidak masalah, malah ada suku kanibal dari distrik 215- berbahaya sekali." "Distrik? Kanibal? Suku? Bahaya? Kita di pedalaman ya?" Theresa mengulang kata-kata yang masih sulit ia cerna. Dia memperhatikan orang-orang asing ini, wajah mereka mirip keturunan gipsi. Rambut hitam, kulit kecoklatan. "Oh iya, perkenalkan namaku Aisla. Siapa namamu? Dari distrik mana?" tanya Aisla penasaran. Theresa menjawab dengan tersendat-sendat, "Theresa Wilson, dari-dari Cedar City." "Cedar? Apa itu makanan?" "Itu kota di negara bagian Utah!" "Umm, rambut merah panjang, mata coklat, kulit putih, tubuh ramping agak eh- pendek-" kata Aisla mendeskripsikan fisik Theressa, memperhatikannya lekat-lekat. "Kau jelas bukan dari keturunan asli distrik 222, kau pasti dari dalam dinding Eve, distrik mana? Apa kau diculik oleh pria tadi? Setahuku para pria di sana memang sangat gila kalau menginginkan wanita." Seorang wanita paruh baya dari kaum nomaden ini menyerahkan daging ikan panggang pada mereka. Ia ikut berbicara, "namaku Margaritta, istrinya Alger- kalau boleh ikut pembicaraan kalian, beberapa tahun belakangan memang terjadi penculikan di antara distrik luar dinding, kami bahkan sampai berpindah-pindah dalam jarak waktu berdekatan demi menghindari para penculik." "Penculik? Oh, ini berita baru- apa mulai terjadi tindakan penjualan manusia?" "Masih belum jelas, tapi desas-desusnya memang diperjualbelikan, sebagian untuk penghibur dan sebagian lagi, rumornya- diserahkan ke distrik 215." "Apa? Itu mengerikan. Ini pelanggaran hukum. Perjanjian Neo tidak memperbolehkan adanya perdagangan manusia." "Ingat, kau tak bisa mengatur hukum di luar dinding, Nona." Alger mengingatkan diiringi tertawaan. Dia duduk di seberang mereka berdua, wajah tuanya terlihat jelas terkena sinar api. Tanpa menunggu lagi, ia menggigit daging kelinci panggangnya.  Margaritta menyahut, "benar, hukum rimba berlaku di distrik 201 sampai 222 ini. Bahkan rumor mengatakan ada distrik baru, 223, yang menjadi sarang para penculik." Aisla mulai serius memandangi mereka semua. "Kalian tidak takut?"  Alger menggeleng. "Kami sudah terbiasa menghadapi mereka semua, bahkan kami sudah bertikai dengan suku kanibal itu, tidak ada masalah, lagipula kami bukan warga dalam dinding, jadi kami harus mencari sendiri tempat tinggal yang aman." "Kurasa aku dan kelompokku harus berhati-hati mulai sekarang." "Kalian mencari bahan baku apa?" "Bahan baku penggerak robot-robot rumahan kami. Kami bukan dari distrik yang kaya, jadi selain menjarah rongsokan, kami juga mengunjungi toko-toko baterai Iron murah di distrik 221 ketimbang membelinya di pusat." "Oh, jadi begitu- dan kalian terlibat pertikaian dengan warga buas sebelah itu?" "Benar." "Kalian beruntung bisa berlari, mereka sangat keras kepala kalau sudah mengejar orang yang melanggar batas wilayah." "Ya, sifat mereka memang tertutup dan protektif. Dia masih ditahan teman-temanku, tapi tidak masalah mereka cukup tangguh." "Kalau begitu bersantai saja disini, kami bisa melindungi kalian malam ini. Distrik itu biasanya tak mau cari gara-gara jika sudah berada di luar wilayahnya." "Terima kasih, Alger." Margaritta mulai memperhatikan penampilan Theressa yang terdiam seperti patung. Wanita ini bingung karena baju tidur yang dipakainya mirip mode baju jaman dahulu, berwarna biru motif polkadot. Di jaman ini, tidak ada model baju semacam itu- hampir semuanya gelap, polos dan tebal. "Eh, apa sekarang di dalam dinding sedang mode baju jaman dahulu? Aku tak pernah melihat baju itu seumur hidupku, memangnya nyaman?" herannya. Dan semua orang mulai memusatkan pandangan pada Theresa. Mereka tersadar, wanita itu paling asing sendiri. Di saat semua orang memakai pakaian tebal yang hangat warna gelap, dia terlihat begitu tipis dan terang. Theresa merasa tenggorokannya kering lagi. Darah dalam otaknya terkuras cepat, dadanya berat, napasnya sesak. Semakin ia menghirup udara dingin bercampur asap ini, semakin kepalanya pening. Perlahan, wajah orang-orang di sekitarnya membayang- menjadi banyak, perutnya terasa ditonjok hingga isinya ingin membuncah dari mulut. Kelopak matanya pun terpejam, tak lagi mau terbuka. Ia ambruk pelan-pelan di pangkuan Aisla. Rasa kantuk, pusing dan lelahnya kini membuahkan ketenangan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD