Ervan keluar dari ruangannya dengan tergesa-gesa. Tujuannya adalah sebuah ruangan khusus yang ada di rumah sakit tempatnya bekerja. Kali ini dia memanfaatkan lift yang ada di sana. Dia tidak mau lagi bertindak bodoh dengan berlari dari lantai 3 ke lantai 7. Itu jauh, dan sangat melelahkan.
Ting!
Dapat di lihat, para anak buahnya berbaris rapi di depan ruangan-ruangan yang ada di sana, menunduk hormat padanya saat dia melewati mereka.
Berhenti di depan sebuah ruangan dengan nafas yang tak beraturan. Menatap tajam kedua penjaga yang berjaga di sisi pintu.
"Bagaimana bisa kalian se lalai itu?" tanyanya dengan nada rendah.
Tangannya mengepal kuat, emosinya tertahan sedari tadi. Ingin melampiaskan pada penjaganya percuma, tak akan mengubah semuanya dan tak akan menghasilkan apa-apa.
"Maaf bos. Kami tidak pernah berpikir kalau mereka akan berkhianat seperti ini," jawab salah satu dari mereka memberanikan diri membuka suara.
Mereka ingat saat Ervan pernah mengatakan 'lebih baik menjawab setiap ucapanku dengan terbata dari pada hanya diam seperti patung yang tidak berguna. Itu membuatku semakin murka.' ucapnya waktu itu.
Ervan berbalik badan, menatap sebuah ruangan di belakangnya yang terbuka, menampakkan dua orang anak buahnya yang berkhianat telah terbunuh dengan tidak etisnya.
"Cari semua informasi tentang ini. Setelah saya keluar, saya sudah harus menerimanya," ucap Ervan melangkah masuk.
Di ranjang rumah sakit itu terbaring pria yang semalam sempat berbicara padanya. Mengatakan kalau dialah yang menjadi penyebab ketidakamanannya di rumah sakit ini. Dan sekarang lihatlah, dia sudah tak bernyawa dengan luka tusukan di mana-mana.
Seharusnya Ervan mendengarkan ucapan pria itu bahwa dia memang benar tidak aman berada di sini. Tidak, bukannya Ervan merasa menyesal dan menyalahkan dirinya atas ini, hanya saja dia kesal tak mendapatkan jejak sang pembunuh.
Ervan mendekat ke arah ranjang itu, berdiri dan menyimpan kedua tangannya di saku jasnya.
Pria ini sudah di bersihkan, noda darah yang ada di ruangan itu pun juga sudah bersih. Ervan menatap perawat dan anak buahnya yang ada di sana, mengisyaratkan untuk mereka keluar.
"Maafkan saya," ucapnya pada jasad itu.
"Maaf karena telah memanfaatkanmu. Ini di luar dugaan saya," ucapnya lagi.
Ini kali pertama rencananya gagal. Walaupun tak sepenuhnya gagal, tapi sungguh tak pernah terpikir olehnya ini akan terjadi.
"Saya menjadikan kau umpan untuk mengetahui siapa pembunuh adik saya. Maafkan saya," lanjutnya masih dengan tampang datarnya menatap jasad itu.
Sumpahi saja dia, Ervan tak masalah. Toh dia memang b***t, dia memang jahat dan kejam. Sejak awal dia tau kalau pria ini sedang di incar oleh seseorang. Ervan merawatnya agar tau siapa yang mengincar pria ini, karena Ervan tau bukan orang biasa yang mengincarnya.
Ervan hanya ingin memastikan dugaannya terhadap seseorang yang dia ketahui sebagai pembunuh sang adik, dan hanya melalui pria ini Ervan bisa mengetahuinya. Tapi saat anak buahnya mengatakan kalau yang mengincar pria ini tidak hanya satu orang, dia memilih memindahkannya ke ruangan khusus dan melonggarkan tingkat keamanannya.
Tapi ternyata musuhnya ini memang tidak bisa di bilang biasa. Dia harus ekstra hati-hati mulai sekarang.
"Kau ...." Ervan menggantung ucapannya.
"Berbahagialah di sana, " lanjutnya dan melangkah keluar dari ruangan itu.
"Makamkan dia dengan layak dan berikan informasi yang kalian dapat pada saya," ucapnya pada anak buahnya dan pergi tanpa mendengar jawaban anak buahnya itu.
Ervan melangkah dengan langkah lebarnya, masih dengan tangan terkepal dan wajah datar juga tatapan tajamnya yang menusuk. Aura dominanya sangat kentara membuat siapa pun yang di lewatinya bergidik ngeri melihat ekspresi itu.
"Mending nanti aja deh. Bisa modar gue kalau gangguin sekarang," gumam Nanda mengurungkan niatnya ingin berbicara dengan Ervan.
Mencari aman, begitulah kira-kira istilahnya.
*****
Di depan komputernya, Reva masih berkutat menyelesaikan tugasnya. Jari lentiknya memperbaiki letak kaca matanya yang sedikit merosot.
Ting!
Notifikasi itu dia abaikan. Itu tidak lebih penting dari pekerjaannya.
Ting!
Ting!
Dua notifikasi sekarang. Reva hanya melirik malas pada ponselnya dan kembali melanjutkan pekerjaannya.
Drrtt! Drrtt!
Ponsel itu bergetar menandakan ada panggilan masuk. Reva berdecak kesal dan mengambil benda pipih yang sayangnya mahal itu. Di lihatnya layar ponselnya, tidak tertera nama di sana.
Nomor siapa? Pikirnya. Tapi mungkin penting karena sampai menelfon seperti ini, jadilah Reva mengangkatnya.
"Halo"
"Kenapa kau mengabaikan ku?" tanya orang di seberang sana.
Kening Reva mengerut, di lihatnya sekali lagi deretan digit angkat yang tertera di sana. Rasanya dia tak mengenal nomor ini, tapi kenapa suaranya tak asing di telinganya.
"Kau mengabaikan ku lagi," ucap pria itu lagi dan terdengar helaan nafas darinya.
"Maaf, saya tidak mengenal Anda. Mungkin Anda salah orang," jawab Reva se sopan mungkin.
"Benarkah?" ucapannya terjeda sebentar.
"Ah, tidak. Ini benar nomormu, kau sendiri yang memberikannya padaku tadi." ucapnya santai.
Mata Reva membola. Jadi pria gila itu, lagi?
"Kau? Sebenarnya apa masalahmu denganku hah? Kenapa kau terus menggangguku?" tanya Reva kesal.
Dia sedang bekerja sekarang, apa pria ini benar-benar mau dirinya di pecat?
"Jangan begitu, Cantik. Aku hanya ingin memastikan ini benar nomormu," jawab pria itu.
"Sekarang sudah 'kan? Tutup telfonnya dan jangan ganggu aku lagi," ucap Reva mematikan sambungannya sepihak tanpa menunggu pria itu menjawab.
"Dasar tidak waras," ucapnya pada ponselnya sendiri.
Meletakkan kembali ponselnya dan mencoba fokus pada pekerjaannya lagi.
Drrtt! Drrtt!
Ketikannya terhenti dan berdecak kesal. Pria itu benar-benar ingin menguji kesabarannya.
Langsung saja di sambar ponselnya dan mengangkat panggilan itu.
"Heh! Sudahku bilang jangan menggangguku, apa kau tuli! Kau ini tidak mengerti bahasa manusia ya? Ya Tuhan, dosa apa aku bisa-bisanya bertemu orang gila sepertimu! Pergilah yang jauh dari hidupku, kau mengerti! Dasar pria tidak waras!" ucap Reva panjang lebar melampiaskan rasa kesalnya.
Lihat saja wajahnya memerah karena marah dan nafasnya memburu tanda kesal. Masa bodo dengan rekan-rekan kerjanya yang sedang memandanginya dengan tatapan yang berbeda-beda, yang penting rasa kesalnya tersalurkan.
"Oh, maaf. Saya tidak bermaksud mengganggumu, Reva."
Duarr!
Seketika Reva terdiam. Suara pria ini berbeda dengan yang sebelumnya. Perlahan dia melihat layar ponselnya.
Pak Direktur. Itulah yang tertulis jelas di layar ponsel miliknya.
Reva masih loading, masih mencerna apa yang baru saja terjadi hingga sesaat kemudian matanya membola dan menatap ke sekeliling, menatap rekan-rekannya yang ternyata juga menatapnya.
Mereka memang tidak tau apa yang terjadi, tapi raut wajah Reva menggambarkan sesuatu yang tidak baik.
Reva menjatuhkan kepalanya pada meja kerjanya, membenturkannya pada bidang datar itu berkali-kali, merutuki betapa bodohnya dirinya ini.
Tolong, jangan ingatkan dia tentang apa yang dia ucapkan tadi pada Pak Direktur, apakah tadi dia terlihat memaki?
Apakah tadi dia berbicara kasar?
Dia tidak mengata-ngatai Pak Direktur itu 'kan?
Dia tidak melakukannya bukan?
Tolong, jangan bilang dia melakukan semua itu. Jika iya, tamat sudah riwayatnya.
"Yasudah Reva. Saya akan berbicara lagi jika kamu sudah senggang nanti. Saya tutup---"
"Iya Pak, kenapa?" jawab Reva cepat.
Definisi karyawan yang tidak sopan dan akhlakless, ya seperti Reva ini.
"Tidak, nanti saya akan hubungi kamu lagi," jawab Devin, sang direktur.
"Tidak masalah, Pak. Apa Bapak perlu sesuatu?" tanya Reva mencoba tenang.
"Tidak apa. Saya akan menyuruh Melin saja jika kamu memang sibuk." jawaban yang secara tidak langsung menampar Reva.
Pak Bosnya ini pasti berpikir yang tidak-tidak tentang ucapannya tadi.
"Ah, bukan begitu Pak. Itu, anu, emm, itu, ah itu tidak penting Pak. Yang jelas ucapan saya barusan bukan di tujukan untuk Bapak. Jadi, apa yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Reva lagi.
"Berkas yang kemarin saya minta selesaikan, bawa ke ruangan saya sekarang," ucap Devin padanya.
"Baik, Pak. Saya segera ke sana. Ada yang lain, Pak?"
"Tidak itu saja," jawabnya dan Reva mengangguk walaupun Devin tak akan melihatnya.
"Baik Pak."
Reva menunggu sambungan di matikan oleh Devin, dia tak ingin menambah kesan buruk di mata Devin dengan mematikan sambungannya sepihak. Dan tak berselang lama, sambungan itu terputus.
"Hufft."
Reva merasa lega dan tak tenang secara bersamaan. Bagaimana dia nanti menghadapi direktur itu kalau begini? Apakah dia akan di pecat nantinya? Apa dia akan di maki? Di cecar sampai jam makan siang? Jika opsi kedua dan ketiga, Reva tak masalah. Asalkan jangan opsi yang pertama. Dia belum siap menjadi gelandangan setelah ini.
Ting!
Sebuah notifikasi masuk. Reva menegakkan kepalanya yang sedari tadi dia sembunyikan di lipatan tangannya di atas meja, masih merutuki kebodohannya.
Reva membukanya.
From 08135xxxxx
Halo cantik
From 08135xxxxx
Reva Anggista, ini benar nomormu 'kan? Ini aku Ervan yang tadi kau berikan kartu namamu.
From 08135xxxxx
Hey, lihat dan baca pesanku.
From 08135xxxxx
Apa kau sangat merindukanku? Itu bosmu, Cantik. Bukan aku yang menelfon. Tidak baik memaki atasanmu sendiri, Manis.
Reva sontak melihat ke atas. Ke sudut-sudut ruangan. Apakah pria itu menaruh CCTV di ruangan ini? Apa pria ini secara terang-terangan menguntitnya?
Dan entah keberanian dari mana tiba-tiba saja datang di diri Reva yang sungguh sangat jauh dari perbuatan itu. Entah siapa yang mengajarinya, namun entah mengapa itu terjadi begitu saja mengingat wajah menyebalkan pria gila itu.
Menatap satu kamera CCTV yang menghadap tepat ke arahnya, di detik berikutnya, jari tengah gadis itu menyapa kamera sambil melotot.
Sedangkan jauh di sana, Ervan tertawa pelan melihat reaksi yang gadis itu berikan.
"Manis." gumamnya pelan memamerkan senyuman tampannya.
*****
Zaki dan Nanda berjalan tergesa-gesa menuju ruangan Ervan. Di tangan Zaki ada sebuah surat yang sepertinya telah mereka baca lebih dulu.
Para perawat dan dokter yang menyapa mereka berdua untuk saat ini mereka abaikan, tentunya menimbulkan kerut di kening mereka semua. Dua dokter ini terkenal ramah, tentu saja aneh melihat mereka seperti ini.
Tok tok tok
Yaa, mereka masih punya sopan santun untuk tidak menerobos masuk dan berakhir di cecar oleh manusia di dalam sana.
"Masuk."
Langsung saja Nanda membuka kenop pintu dan masuk bersama Zaki.
"Dokter, sebaiknya Dokter tidak bekerja dulu untuk beberapa minggu ke depan," ucap Zaki tanpa basa basi.
Ervan menatap keduanya bingung. Datang-datang langsung menyuruhnya untuk cuti? Yang benar saja.
"Untuk apa saya menuruti kalian?" tanyanya masih duduk di kursinya.
"Ini bahaya, Dok. Ada yang mengancammu," ucap Nanda tidak mengurangi rasa bingung Ervan.
Zaki memberikan surat tersebut pada Ervan yang langsung membaca surat tersebut.
"Di mana kalian menemukan surat ini?" tanyanya pada mereka berdua.
"Di ruangan pasien yang baru saja meninggal pagi ini," jawab Zaki cepat.
"Apa ada orang lain yang membacanya?" tanya Ervan lagi.
Sedikit membingungkan memang, namun tetap Nanda dan Zaki menggeleng.
"Selain kami berdua dan Dokter, tidak ada yang membacanya," ucap Nanda di angguki oleh Zaki.
Ervan mengangguk kecil beberapa kali lalu melipat kertas itu dan menyimpannya di laci meja.
"Apa yang Dokter pikirkan? Cepat kemasi barang-barang Dokter dan pergilah bersembunyi sementara waktu," ucap Nanda.
"Iya, kenapa Dokter terlihat begitu tenang?" sambung Zaki.
Raut wajah Ervan tidaklah menunjukkan ekspresi seseorang yang sedang terancam.
"Lalu? Sudahlah, kalian keluar saja," ucapnya santai menyenderkan kepala di senderan kursi sambil memejamkan matanya.
Zaki dan Nanda menganga lebar. Sia-sia saja mereka tergesa-gesa kemari dan ini yang mereka dapat? Pria tampan ini baru saja mengusirnya. Sialan!
"Untung aku masih menganggapmu sebagai sahabat," ucap Zaki kesal dan pergi dari sana begitupun Nanda.
Ervan tersenyum miring mengingat pesan tadi.
"Kau bahkan sudah memulainya lebih dulu. Baiklah, mari bersenang-senang," gumamnya pelan masih memejamkan matanya.
'Kau bermain terlalu jauh dude. Bersiaplah untuk mati di tanganku Dr.Dinanta'
*****