Seperti hari-harinya beberapa hari ini, kini Reva tengah bersiap untuk pergi bekerja. Dia menginap di rumah Mbak Nisa omong-omong. Atas bujukan dan paksaan dari Mbak Nisa dan juga Melin tentunya. Dan lagi, pakaian yang dia pakai ini juga milik Mbak Nisa, katanya saat membayar belanjaan, paperbag miliknya tertukar dengan seseorang, jadi dia tidak bisa memakai baju itu.
Jika saja waktu itu Mbak Nisa tidak mengandung, mungkin dia masih bisa memakainya. Jadi, dia memberikan itu pada Reva, sebagai hadiah katanya. Entah hadiah dalam rangka apa, tapi Reva hanya patuh menerimanya dari pada berdebat dengan wanita yang baru melahirkan itu.
Ceklek!
Pintu kamar itu terbuka menampilkan seorang Melin yang juga sudah rapi dengan setelan kantornya.
"Udah siap? Ayo kita sarapan," ajaknya dan Reva hanya mengangguk.
Mengambil tasnya sebelum pergi menyusul Melin.
Hanya mereka berdua. Mbak Nisa masih tidur dan Dokter Reza yang menelpon di ruang tamu.
"Reva, kamu tinggal sendirian di apartemen?" tanya Melin tiba-tiba.
"Iya, Kak. Lagian mau tinggal sama siapa lagi? Aku udah gak punya keluarga," jawab Reva tersenyum tipis.
Melin beralih menatap Reva yang kembali sibuk mengaduk-aduk sarapannya.
"Ah, maaf aku gak tau soal itu. Kamu jangan tersinggung ya," ucap Melin tak enak hati.
"Gak apa-apa, Kak," jawabnya singkat.
"Gimana kalau kamu tinggal sama aku? Aku juga sendirian di rumah. 'Kan lumayan, uang buat nyewa apart bisa kamu tabung buat apa gitu. Mau ya?" ucap Melin lagi setengah memohon.
Reva jadi bingung. Dia sebenarnya nyaman dengan Melin. Melin orang yang baik dan sering memperlakukannya seperti seorang adik. Tapi Reva juga tidak enak hati. Dia tak mau terlalu bergantung pada Melin dan tidak mau menyusahkan seniornya ini.
"Aku belum ada rencana buat pindah, Kak. Aku juga masih nyaman di sana," jawab Reva menolak secara halus.
Melin terlihat cemberut, mungkin sedikit kecewa.
"Begitu ya? Ya udah, nggak apa-apa. Tapi kamu bisa kapanpun datang ke rumahku, nginap atau tinggal di saja juga boleh," ucap Melin dan di sambut angggukan kepala dari Reva.
Beberapa menit mereka habiskan waktu untuk sarapan di selingi obrolan ringan. Dan saat ini mereka sedang dalam perjalanan menuju kantor. Jalanan tidak terlalu macet pagi ini, dan itu membuat mereka sampai di kantor lebih cepat.
Baru saja Reva ingin turun tapi terhenti saat Melin menahannya.
"Kenapa, Kak?" tanya Reva heran.
"Tentang pria yang waktu itu. Kamu yakin gak kenal sama dia?" tanya Melin membuatnya semakin bingung.
Pria? Pria sia-- ah, pria itu maksudnya.
"Ya aku sih pernah ketemu, waktu itu dia dateng dan bilang aku ini adiknya, mana pake acara meluk-meluk lagi. Itu bikin aku kesel banget, trus aku langsung pergi setelah nampar dia. Kesan aku pertama ketemu dia gak ada baik-baiknya." jelas Reva menceritakannya.
Melin mengangguk ringan tanda mengerti.
"Tapi dia, kamu tau sendiri 'kan dia itu siapa?" lanjutnya bukan seperti memberikan pertanyaan.
"Ya aku tau. Dan aku juga gak peduli sama orang-orang kayak dia," jawab Reva seadanya.
"Tapi aku rasa kamu harus peduli deh mulai sekarang," ucap Melin.
Kening Reva berkerut. Melin yang tadi menatapnya kini beralih menatap keluar jendela mobil. Mengikuti arah pandang Melin, dan seketika matanya membulat sempurna kala mendapati pria itu berdiri dengan tampannya di pintu masuk.
"Ya Tuhan! Itu cowok kenapa sih?" Reva mengerang kesal dan itu membuat Melin ingin tertawa.
"Nggak usah ketawa, Kak," ucap Reva dan tawa Melin mengalun merdu di telinga Reva membuatnya mendengus.
"Ayo keluar. Ntar telat kelamaan di mobil?" Melin keluar dari dalam mobil tanpa menunggu jawaban Reva.
Reva berdecak dan ikut keluar dari mobil.
"Ini aja masih ada 30 menit sebelum jam masuk. Terlambat dia bilang? Emangnya ruangan dia di lantai berapa sih? Huh! Ngeselin banget," gerutu Reva seraya menyusul Melin yang berjalan lebih dulu.
"Baiklah, santai Rev. Anggap aja dia gak ada dan jalan aja terus," ucapnya menyemangati dirinya sendiri.
Melin yang mendengarnya hanya menggeleng kecil. Lucu juga sisi Reva yang satu ini.
"Abaikan aja Reva. Abaikan aja. Anggap dia gak ada," ucapnya lagi.
Reva berjalan di samping Melin, menatap lurus ke depan dan berjalan secepat dan setenang mungkin saat melewati Ervan yang terus menatapnya.
"Huft!" Reva membuang nafas lega. Pria itu tak mencegat ataupun mengejarnya. Itu baik.
"Reva Anggista!"
Mungkin Reva tidak bisa bernafas lega.
Teriakan itu sontak mengundang perhatian banyak karyawan yang berlalu lalang di sana.
Dan itu membuat Reva merutuki pria bodoh itu. Nama lengkapnya, dengan sangat lengkap, jelas dan lantang di teriakkan oleh pria gila yang tadi di lewatinya.
Malu, tentu. Dia lalu berbalik dan menemukan pria itu sudah berjalan mendekat padanya.
"Apa kau berusaha menghindari saya?" tanyanya dengan nada datar melipat tangannya di depan d**a.
Pertanyaan macam apa itu? Apa urusannya kalau dia menghindari pria ini? Mengapa pertanyaannya terdengar seperti seorang kekasih yang bertanya pada kekasihnya? Eh.
"Apa urusanmu?" tanya Reva menatapnya kesal.
Sudah terlanjur malu, jadi sekalian saja sekarang. Siapa tau saja nanti dia masuk dalam hot news dan itu bisa menunjang kepopulerannya bukan?
"Kau bertanya pada saya?" Ervan balik bertanya dengan alis terangkat sebelah.
Hell! Memangnya ada berapa banyak orang yang mengajaknya berbicara sekarang?
"Tentu saja semua yang ada pada dirimu, itu ada urusannya dengan saya," lanjutnya lagi membuat Reva mengaga mendengarnya.
Apa katanya tadi? Apa pria ini waras? Ya Tuhan, tolong jatuhkan batu yang besar di atas kepala pria ini agar otaknya cepat berfungsi.
"Dengar ini. Kita tak saling kenal dan saya tak akan mau itu terjadi. Lebih baik kau mengurus urusanmu sendiri dan saya pun begitu. Apa kau tak ingat ini berada di mana? Ini tempat saya bekerja, jadi tolong pergi dan biarkan saya bekerja dengan tenang," ucap Reva panjang lebar dan menggebu-gebu. Sungguh, dia sangat kesal saat ini. Paginya yang indah hilang begitu saja karena pria ini.
Reva berbalik dan kembali berjalan menuju lift bersama Melin yang masih diam mengikuti Reva.
"Reva Anggista, mungkin temanmu itu akan kehilangan posisinya jika kau melangkah selangkah lagi," ucapan itu mampu membuat langkahnya otomatis terhenti.
Yang membuat Reva berhenti tak lain adalah karena status Ervan. Bukan hal yang sulit baginya melakukan ancamannya itu.
Hal itu membuat Ervan senang. Bukankah mudah mengendalikan gadis ini agar mau menurut dengannya?
Ervan melangkah mendekat ke arah Reva dan Melin berdiri.
"Apa kau baru saja mengancam saya?" tanya Reva menahan rasa kesalnya.
"Jika kau menganggapnya seperti itu, saya tidak keberatan," jawab Ervan dengan senyum miring yang sedari tadi masih terpatri di wajahnya.
Reva semakin kesal. Jelas. Dia sudah menjadi tontonan banyak orang di sini, dan pria ini tak membiarkannya pergi malah mengancamnya. Yang benar saja!
"Katakan apa maumu sekarang juga," ucap Reva lagi.
Sungguh dia tak ingin lagi berlama-lama di sini.
"Berikan pon---"
"Ada apa ini?" Seseorang datang membuat atensi semua orang teralihkan.
Melihat sang direktur, mereka semua memberi jalan baginya untuk melihat apa yang terjadi.
"Reva, Melin. Kenapa kalian di sini bukannya bekerja?" tanya Devin menatap kedua gadis itu.
"Bukankah ini belum jam masuk?" Bukan Reva, Melin ataupun salah satu karyawan di sana. Yaa, bisa di tebak siapa pelakunya.
Kening Devin mengernyit heran. Dia tak pernah melihat pria ini sebelumnya.
"Anda siapa? Sedang apa di sini?" tanya Devin menatap Ervan aneh.
"Saya sedang ada urusan dengan karyawan, Anda," jawabnya menatap Reva.
Reva ingin tenggelam saja sekarang. Pasti pandangan bos besarnya terhadap dirinya sangat buruk sekarang.
'Mati saja kau!' teriak Reva dalam hatinya sambil menatap tajam pada Ervan.
Devin menatapnya, dan Reva hanya bisa menunduk tak berani membalas tatapan si bos besar.
"Anda bisa menemuinya di luar jam kantor. Sekarang, Anda bisa pergi," ucap Devin dengan tatapan datarnya.
Ervan membalas dengan tatapan tak kalah datar dan dingin. Memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya.
Atmosfer di sana berubah 180°. Dua manusia setengah dewa itu berhadapan dengan saling melempar tatapan mematikan lewat ekspresi datarnya. Dan yang menjadi tersangka utamanya di sini adalah Reva.
"Pak---"
"Pertama, ini bukan jam kantor," sela Ervan memotong ucapan Reva.
"Kedua, Anda tidak berhak mengusir saya," lanjutnya.
Devin tersenyum miring mendengarnya.
"Benarkah? Saya direktur di sini kalau Anda perlu tau," jawab Devin cepat.
"Hanya direktur 'kan? Bukan CEO?" sanggah Ervan cepat.
Reva memijit pangkal hidungnya pusing. Kenapa seolah-olah mereka ini sangat kekanakan. Memperbesar masalah yang tidak perlu di besar-besarkan. Ayolah, itu tidak penting untuk di perdebatkan.
"Pak, lebih baik kita pergi sekarang," ucap Reva cepat saat Devin ingin kembali berbicara.
Tidak sopan memang, tapi mau bagaimana lagi, jika tidak, mereka akan bertengkar sampai jam makan siang datang.
"Dan kau, Tuan. Ini kartu nama saya. Saya rasa itu cukup. Permisi." Reva menyerahkan kartu namanya pada Ervan dan pergi sambil menggenggam tangan Devin untuk pergi dari sana.
Karyawan mana yang berani menyeret direkturnya sendiri? Ya Reva.
Bahkan sang direktur pun tampak biasa saja, atau dia senang mungkin?
Ervan menatap kartu nama di telapak tangannya. Lalu beralih menatap Reva dan Devin, tepatnya pada tautan tangan mereka berdua. Ada rasa tak rela dalam hatinya melihat itu.
Dengan raut datar dan dingin, Ervan berbalik berjalan menjauh dari sana, berniat pergi dari kantor itu.
"Bukankah aku sudah pernah mengatakan." gumam Ervan pelan lalu berhenti melangkah.
Di tatapnya lagi kartu nama itu dan tersenyum miring.
"Apa yang sudah menjadi milikku, tak 'kan ada yang bisa mengambilnya dariku," lanjutnya.
Ervan kembali berjalan dan masuk ke dalam mobilnya.
"Devin Kalio Anderta. Cari informasi tentang dia. 10 menit dari sekarang," ucap Ervan lalu kembali menekan tombol di earpiece miliknya.
*****
"Apa?!" Zack memekik keras. Jelas sekali kilatan amarah di wajahnya, sangat kentara.
"Itu tidak mungkin! Katakan padaku kalau itu semua bohong, katakan!" teriak Zack menatap tajam pada anak buahnya.
Tak berani menjawab. Baginya itu adalah pertanyaan yang menjebak, jadi memilih diam daripada nanti berimbas buruk padanya. Apalagi dengan keadaan bosnya yang sedang marah besar. Dia masih ingin hidup, sungguh.
"Katakan padaku bodoh! Apa kau tuli! Jawab dan katakan kalau itu bohong!" Lagi Zack berteriak menambah ketakutan pada pria itu.
Di tambah dengan cekikan di lehernya dan ujung belati yang tajam itu seperti siap tertanam sempurna di matanya.
"Dia benar, Zack. Itu tidak bohong." Bukan dia, namun orang lain yang menjawabnya.
Tatapan Zack beralih pada pemuda yang baru saja masuk. Dengan tangan terkepal, Zack mendorong anak buahnya kasar hingga tersungkur dan dia berjalan menuju pemuda itu, masih dengan sebuah belati di tangannya.
"Jika kau berani berbohong padaku maka kau akan mati, Geo," ucap Zack dengan nada rendah menatap nyalang pada Geo, tangan kanannya.
Geo lebih dulu menatap belati yang tepat berada di depan dadanya, tepatnya jantungnya. Lalu beralih menatap Zack.
"Kau lebih tau bagaimana aku berbohong atau tidak, Zack," jawab Geo.
Nafas Zack memburu, emosinya memuncak. Dia benar-benar ingin membunuh semua orang saat ini. Dia membuang belati itu pada sembarang arah dan melempar tubuh Geo hingga membentur dinding di belakangnya.
"AARRGGHH!" Zack berteriak sambil melempar apa saja yang ada di dekatnya, melampiaskan semua amarahnya, sampai akhirnya dia tertunduk lemah di bawah sana.
Benar-benar lemah dan tak berdaya. Zack bahkan sampai mengeluarkan air matanya yang tak pernah dia tampakkan pada siapapun.
"AARRGGHH!" Lagi teriakan Zack menggema di dalam ruangan itu, bahkan sepertinya semua orang yang ada di markasnya dapat mendengarnya.
"Siapa?" tanyanya pelan kembali menunduk.
"Siapa yang membunuh ayahku?"
"Siapa yang melakukannya!" teriaknya lagi menatap Geo.
Geo masih diam di tempatnya. Entahlah, dia ragu. Apakah tidak apa jika Zack mengetahuinya sekarang?
"Ervan," ungkap Geo pada akhirnya.
*****