Selamat membaca!
Dengan cepat aku langsung memeriksanya sambil mengusap bagian perutku. Untungnya, kecelakaan ini tidak sampai berakibat buruk pada kandunganku.
"Untung saja bayi ini tidak kenapa-kenapa." Seketika aku jadi terkejut karena mencemaskan kandunganku. Bukankah aku berniat menggugurkannya, tapi kenapa aku malah mengkhawatirkan kondisinya. Padahal jika memang kejadian ini membuatku keguguran, bukankah akan lebih baik. Jadi aku tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk biaya menggugurkan kandunganku ini.
Berbeda denganku yang masih bergelut bimbang, Nona Keisha yang duduk di sebelahku kini terdengar menangis dan berteriak kesakitan. "Oh tidak! Dinda, lihat wajah saya? Apa yang terjadi pada wajah saya? Saya tidak cacat, kan?"
Pertanyaannya membuatku langsung menoleh dan mulai melihat kondisinya. Tidak ada darah di wajahnya, tapi dia berteriak begitu keras padahal lukanya tampak tidak serius. "Apakah hidungmu palsu?"
Sorot matanya menunjukkan ketakutan luar biasa. "Apakah hidungku lepas? Apakah prostesis-nya lepas? Dinda, cepat katakan!" Nona Keisha menangis sangat keras hingga suaranya terdengar bising sampai membuatku sakit kepala.
"Tidak! Apa prostesis rahang saya keluar?" Wanita itu terdengar histeri saat menanyakan hal itu.
Kedua mataku pun kini langsung melihat ke arah apa yang ditunjuk oleh jemarinya. "Sepertinya tidak, Nona."
"Lalu di mana tulang pipinya?"
Kedua matanya melebar sempurna. Sungguh aku terkejut dan coba memastikan apa yang baru saja aku dengar. "Jadi tulang pipimu juga palsu, Nona? Sebenarnya apa ada bagian asli dari wajahmu?" tanyaku merasa benar-benar heran.
"Tentu saja ada, kulit wajahku asli!" jawabnya yang masih memikirkan wajahnya saat aku berjuang untuk keluar dari mobil di tengah-tengah suara tangisannya yang memekakkan telinga.
Kakiku mengalami benturan keras dan sekarang terasa sangat sakit digerakkan. Sementara itu, Nona Keisha masih menangis di dalam mobil tanpa melakukan apa-apa untuk keluar dan aku menatapnya dengan kesal. "Cepat kamu keluar, Nona! Atau kamu akan terus berada di mobil ini?" ucapku setelah berhasil keluar dari mobil.
"Aku terjebak, bodoh! Bagaimana caranya saya bisa keluar." Di tengah kepanikannya dengan tangisan yang tiada henti membuat wajahnya seperti hantu karena eyeliner, maskara, dan bedaknya yang luntur.
Aku tertatih-tatih mendekatinya dengan memutari mobil. Setelah tiba di sisi kemudi aku menempelkan wajahku pada kaca mobil untuk melihat kondisinya lebih jelas. Pandanganku langsung terarah pada kakinya yang terjepit di antara pedal gas dan rem. Seharusnya tidak masalah jika dia menariknya dengan keras, tapi paling pergelangan kakinya akan tergores.
"Tarik saja kakimu keluar!"
"Tidak, tidak! Kalau saya menariknya dengan paksa saya akan sangat kesakitan, lalu kakiku akan patah, dan setelah itu saya pasti akan mati!" Dia terus saja menangis, berpikir berlebihan, dan berteriak kesakitan. Setiap ucapannya benar-benar membuat kepalaku terasa sangat sakit.
"Kakimu hanya terjepit, kalau kamu menariknya, maka kamu tidak akan mati!"
"Tidak, tidak! Saya pasti akan kesakitan. Saya tidak kuat dengan rasa sakit!"
Sungguh wanita ini begitu lemah karena tidak bisa merasakan sedikit rasa sakit. Aku terpaksa mengabaikannya sejenak karena harus menghubungi polisi untuk melaporkan kecelakaan ini. Setelah selesai, aku pun mulai membuka pintu kemudi dan berlutut untuk memikirkan cara mengeluarkan kaki Nona Keisha saat ini.
Dia menatapku ketakutan. "Kenapa melihatku seperti itu? Apa yang akan kamu lakukan?"
"Pegang bahu saya dan tutup matamu erat-erat! Saya akan membantu mengeluarkan kakimu."
"Tidak!" Dia menggelengkan kepalanya seperti mainan. "Saya tidak bisa menarik kaki saya keluar, saya akan terluka sampai mati!"
“Oli mobilmu bocor. Kalau tidak keluar secepatnya, nanti mobil ini akan meledak!” Aku menakutinya. Padahal, mobil yang mengalami kebocoran oli tidak apa-apa, asalkan tidak ada percikan api yang menyala di sekitarnya.
Nona Keisha benar-benar bodoh, hanya tubuhnya saja yang besar, tapi dia seperti tidak punya otak. Kurasa dia sering menonton FTV yang selalu memuat beberapa adegan yang tidak masuk akal. Jadi dia pasti akan percaya dengan apa yang aku katakan saat ini.
Sesuai dugaanku, dia benar-benar percaya dan menangis lebih kencang dari sebelumnya. "Saya tidak ingin mati, saya tidak ingin mati! Cepat keluarkan saya dari sini!"
“Diam kalau tidak mau mati, kamu itu terlalu berisik dan membuat kepala saya sakit!” Aku mencondongkan tubuhku ke dalam mobil dengan susah payah, lalu memegangi kakinya dengan kedua tangan. “Tunggu saja, sebentar lagi kakimu tidak akan terhimpit dan semua akan baik-baik saja."
"Ah, sakit! Kakiku benar-benar sakit, Dinda!"
Dia berteriak begitu mengerikan sehingga aku menarik kakinya keluar dengan sekali tarikan.
Kepalaku tiba-tiba sakit membuatku hilang keseimbangan hingga tubuhku terjatuh di permukaan tanah. Sementara itu, Nona Keisha berlari menjauh dari mobil dengan merangkak dan sambil terus menangis. "Lari! Cepat lari dari sana, Dinda! Atau kamu akan meledak bersama mobil itu!"
Aku berusaha bangkit dan menahan rasa sakit di bagian kakiku, sebelum pergi aku tetap menyempatkan waktu untuk mengambil cemilanku yang tertinggal di mobil.
Nona Keisha yang melihat apa yang aku lakukan kembali berteriak sekeras-kerasnya. "Mobil itu akan meledak, kenapa kamu masih memikirkan cemilanmu, bodoh? Kamu akan mati jika mengambilnya!"
"Kamu benar-benar bodoh, Dinda! Bisa-bisanya kamu memikirkan cemilanmu yang murahan itu dan mempertaruhkan nyawamu! Kalau kamu mati saya tidak mau disalahkan!" teriaknya lagi saat aku tidak menghiraukan sama sekali.
Aku membuka pintu mobil untuk mengambil makanan ringanku dan mengeluarkan tas yang ditinggalkan Nona Keisha di kursi belakang. Setelah itu, aku mulai berjalan ke arahnya dan menemukan bahwa mobil milik Tuan Firdaus ternyata berputar arah dan berhenti tepat di tempat aku dan Nona Keisha berada saat ini.
Nona Keisha merasa malu bertemu dengan Tuan Firdaus dalam situasi saat ini, dia sadar betul bahwa wajahnya seperti hantu. Tapi sebenarnya, dia sangat senang pria itu datang karena dia berpikir jika Tuan Firdaus peduli padanya.
"Ini tasmu! Pegang sendiri ya, Nona." Aku pun melempar tas miliknya ke atas pangkuannya.
Setelah itu, aku duduk di pinggir jalan dengan jarak yang sedikit lebih jauh dari Nona Keisha. Sementara Tuan Firdaus ternyata berdiri beberapa meter di depanku, memperhatikanku dengan begitu seksama.
"Apakah kamu tidak ingin pergi ke rumah sakit?"
Ternyata dia manusia yang masih memiliki hati dan dia tahu harus meminta supir pribadinya untuk memutarbalik mobilnya ketika sesuatu terjadi padaku dan juga menimpa mantan kekasihnya.
“Saya sudah menghubungi polisi, makanya saya tidak bisa pergi sampai polisi datang.” Aku mendongak dan memberitahunya.
Lalu tatapannya tertuju pada kakiku. "Kamu terluka."
Aku mengenakan jeans yang sudah ribuan kali dicuci membuat kainnya menjadi tipis sehingga mudah robek. Aku melihat kondisi kakiku yang terluka tepat di titik yang terasa menyakitkan dan mengeluarkan darah cukup banyak.
Aku segera menarik ujung T-shirt yang kupakai dan merobeknya, lalu mengikat kain berukuran kecil itu melilit pada betisku. Aku pernah beberapa kali melakukan ini karena semasa menjadi reporter aku sering kali terluka.
"Perban sederhana ini bisa bertahan sampai polisi datang," gumamku dengan wajah meringis karena luka ini terasa cukup menyakitkan.
Merasa tak kuat menahan rasa sakit ini, aku mulai menyandarkan kepalaku di atas kedua pahaku. Pendarahan ini membuatku merasa sangat pusing. Walaupun aku sedang memejamkan kedua mataku. Namun, aku masih dapat merasakan Tuan Firdaus sedang berjalan ke arahku. Tubuhnya yang tinggi itu perlahan membungkuk di hadapanku, kemudian dia mengulurkan tangannya dan menggendong tubuhku.
Aku sangat terkejut. Seketika aku melancarkan protes karena yang ditolong adalah aku dan bukan mantan kekasihnya, Nona Keisha. "Turunkan saya, Tuan! Saya baik-baik saja." Aku berbisik tepat di telinganya. "Sebaiknya Anda menolong Nona Keisha saja duluan dan bawa dia ke rumah sakit!" lanjutku merasa tidak enak dengan situasi saat ini.
Tanpa menjawabnya, dia membawaku ke mobilnya dan menempatkanku di kursi belakang mobil, duduk berdampingan dengan Nona Keisha yang digendong oleh asistennya.
Baru saja menyandarkan tubuhku pada sandaran kursi mobil, kedua telingaku tiba-tiba mendengar suara tegas milik Tuan Firdaus sedang memberi perintah pada asistennya. "Kamu tetap di sini dan jelaskan pada polisi saat mereka tiba!"
Setelah mengatakan itu pada asistennya, dia masuk ke mobil dan duduk di kursi samping kemudi.
"Ayo, Pak. Kita ke rumah sakit terdekat!" Perintahnya pada supir pribadinya yang seketika langsung melajukan mobil.
Mobil pun mulai melaju dengan kecepatan sedang, membelah lalu lintas yang saat itu terbilang cukup renggang untuk menuju rumah sakit.
Nona Keisha diam-diam mengeluarkan cermin kecil dari dalam tas, lalu menghapus jejak kotor di wajahnya dengan tisu basah.
Dia mungkin ingin merias wajahnya agar terlihat cantik dan aku mengerti akan hal itu.
Dia melolong dari waktu ke waktu sembari merias wajahnya. "Awh, ini menyakitkanku, ini benar-benar membuatku sakit. Belum lagi kakiku terluka karena ditarik olehmu!" ucapnya menyalahkanku.
Aku melihat ke bawah, lebih tepatnya ke pergelangan kaki wanita itu. Lukanya biasa saja jika dibandingkan denganku, kakinya tidak mengalami cedera parah dan itu hanyalah goresan kecil.
"Tidak apa-apa. Jangan cemas, lecet ini tidak akan meninggalkan bekas." Aku coba menenangkannya sambil memperhatikan luka di kakinya.
Dia menatapku dengan curiga. "Benarkah?"
"Sungguh. Saya tidak berbohong padamu." Aku memberikan permen s**u padanya agar dia diam dan berhenti mengoceh jika mulutnya berisi sesuatu. "Makan permen ini, ini akan dapat meredakan emosimu dan membuatmu tenang."
Dia mengambilnya dan memasukkan permen itu ke mulutnya. "Saya tidak suka produk s**u!" ucapnya tapi sambil mengemut permen itu.
Saat ini, kepalaku masih terasa berat. Bahkan pandanganku pun terkadang sering memudar. Sampai akhirnya, aku memilih untuk bersandar pada kursi belakang dengan permen di mulut dan kedua mata yang sengaja kupejamkan.
Niatku tidur sebenarnya hanya untuk mengalihkan rasa sakit yang terus mendera. Namun, semua sia-sia. Kaki kiriku terasa sakit, aku tidak tahu apakah kecelakaan itu telah melukai tulangku? Kemudian aku merasakan keringat dingin keluar dari tubuhku dan mulai membasahi bajuku.
Tapi Nona Keisha terus mengomel padaku. "Heh, Dinda! Seharusnya kamu mengingatkan saya lebih awal. Jadi kecelakaan itu tidak akan terjadi! Terus tadi apa maksudmu menarik kaki saya dengan sangat kencang seperti tidak berperasaan? Kamu sengaja ingin membuat kaki saya terluka parah ya?"
Aku tidak mampu membuka mata dan memintanya untuk diam. Tubuhku benar-benar terasa lemah dan kepalaku terasa akan pecah mendengar suaranya.
"Dinda, kenapa wajahmu begitu pucat? Apa kamu baik-baik saja?" tanyanya dengan panik.
Sekarang mungkin aku sedang sekarat, merasa begitu kesakitan, bisakah aku terlihat baik-baik saja? Kalau boleh aku meminta, bisakah dia diam?
Aku meletakkan tanganku tepat pada bahu Tuan Firdaus yang duduk di kursi depan dan langsung memohon sesuatu padanya. "Berhenti, saya ingin turun di sini!"
Aku lebih suka naik taksi ke rumah sakit sendirian daripada mendengarkan omelan wanita yang duduk di sampingku, suaranya malah semakin memperburuk rasa sakitku.
Tuan Firdaus melirik ke arahku dengan cepat, dan kemudian meminta supir pribadinya untuk berhenti di sisi jalan.
Aku membuka pintu dengan keras dan berusaha keluar dari mobil, walau dalam keadaan sempoyongan. Namun, Tuan Firdaus keluar lebih dulu, lalu membungkuk dan memapah tubuhku erat-erat.
"Tolong bawa saya ke pinggir jalan! Kalau boleh tolong juga berhentikan taksi untuk saya!" Aku berbicara padanya dengan raut wajah sedikit memohon.
Akan tetapi, dia malah mengabaikannya dan masih memapahku sambil terus berjalan ke arah mobil yang berhenti tepat di belakang mobilnya. Aku tahu betul mobil itu adalah mobil pengawalnya. Dia malah membawaku masuk ke mobil pengawalnya dan menempatkanku duduk di sampingnya.
"Jalan sekarang!" titahnya dengan cepat.
Ini jauh lebih baik. Maksudku, lebih baik aku duduk di sampingnya daripada duduk di dekat Nona Keisha yang sangat berisik itu. Setidaknya, telingaku tidak sakit mendengar suaranya dan aku jadi lebih kuat menahan rasa sakit di kakiku yang terus mengeluarkan darah.
"Sakit?" tanyanya sambil terus mendekapku.
Aku menggertakkan gigi untuk menahan rasa sakit dan kemudian tersenyum menatapnya. "Coba tebak."
Aku bukan Nona Keisha yang cengeng, aku akan berpura-pura kuat di depannya dan mampu melewati rasa sakit ini dengan penuh kesabaran.
"Dalam keadaan seperti ini kamu malah mengajakku main tebak-tebakan?" tanyanya dengan dahi yang mengernyit.
"Seperti yang saya bilang tadi, kalau saya baik-baik saja. Jangan terlalu mengkhawatirkan saya."
"Tapi wajahmu pucat, itu tidak menandakan kamu baik-baik saja. Kakimu juga saya lihat terluka parah dan harus segera mendapatkan penanganan."
"Tapi saya kuat, kamu tenang saja."
"Tahan ya! Sebentar lagi kita sampai di rumah sakit."
Aku hanya tersenyum mendengar ucapannya dan mengangguk tipis, kesadaranku perlahan-lahan mulai berkurang.
Setibanya di rumah sakit, aku sulit membuka mataku yang terasa sangat berat. Kepalaku benar-benar pusing. Aku hanya dapat mendengar percakapan Tuan Firdaus yang meminta pihak dokter agar segera menanganiku.
Luka di kakiku cukup dalam dan sepotong logam dari aksesoris di mobil Nona Keisha telah mengenai betisku bahkan tertinggal di sana, dokter mengatakan mereka perlu membersihkan lukaku yang menganga dan dijahit. Namun sayang, aku tidak beruntung ketika dokter akan melakukan proses menjahit, dia mengatakan bahwa anestesinya sudah habis. Jadi aku harus menunggu perawat pergi ke apotek untuk mengambilnya dan mereka memintaku untuk menunggu sebentar.
Sejenak aku melihat luka lebar yang terbuka di kakiku. Kedua alisku pun mulai bertaut dalam. Rasa sakit kian menjalar hebat hingga membuat tubuhku gemetar. Aku merasa tidak tahan dan ingin agar rasa sakit ini segera berakhir.
"Lakukan sekarang, Dok! Jangan pedulikan anestesinya!" kataku pada dokter.
Dokter terkejut dan bahkan Tuan Firdaus yang berada di sampingku menatap tak percaya.
"Jika tidak menerima suntikan obat bius itu akan menyakitimu." Dia berkata dengan dingin.
Aku tidak bodoh, aku tahu itu. Lagi pula sebenarnya aku sedikit alergi terhadap anestesi dan terakhir kali aku mencabut gigi, hal itu hampir membunuhku.
Aku pun berkata dengan ringan dan penuh keyakinan sambil menatap dokter yang akan menjahit lukaku. "Jahit lukaku sekarang juga, Dokter!"
Bersambung ✍️