Selamat membaca!
Saat aku menemukan keberadaannya, dia terlihat mengangkat gelas di tangannya ke arahku, lalu meminum isi gelas itu dengan santai. Ada rasa sakit yang membakar hatiku dan aku langsung mengerti apa yang terjadi saat ini.
"Ternyata dia hanya ingin mempermalukan aku! Apa dia memang sengaja melakukan ini?"
Aku masih bicara dalam hati. Melihat orang-orang yang ada di ruangan itu mulai menatapku dengan sinis. Kini semua kejadian yang aku lewati sejak pagi sampai detik ini pun mulai berputar-putar dalam pikiranku. Hal yang di mulai saat Tuan Firdaus memintaku untuk membujuk Nona Keisha pergi dari Wijaya Grup dan setelah itu dia memberiku imbalan sebuah pekerjaan. Siangnya, tentu saja masih mudah aku ingat sekalipun aku sempat tertidur saat di rumah, waktu dia mengajakku bertemu dengan Arga dan sepulang dari restoran dia langsung mengajakku ke Plaza Indonesia. Membelikan gaun, tas, sepatu, sepasang anting berlian, dan malam ini dia mengajakku datang ke pesta koktail.
Sekarang aku benar-benar marah. Tanpa mengatakan apa-apa, perlahan aku mulai melangkah mundur dari hadapan Nona Keisha dengan rahang yang mengeras, lalu mengambil sepotong kue dan melemparkan ke arah wanita itu hingga mengenai gaunnya yang indah.
"Apa-apaan ini! Dasar w************n! Apa yang kau lakukan?" Dia berteriak histeris saat melihat gaunnya yang kotor karena kue yang aku lempar. Namun, seperti dugaanku, dia sama sekali tidak membalasnya. Wanita itu memilih untuk membenahi penampilannya dengan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan gaunnya yang terkena noda cream coklat yang memang terdapat pada kue itu. Sementara aku, segera pergi meninggalkan ruangan itu dari pintu belakang.
Tadinya aku berpikir jika aku sangatlah pintar, tetapi pada akhirnya aku terjebak dalam permainannya. Dia menggunakan Nona Keisha untuk mempermalukanku. Namun, aku masih sedikit beruntung karena aku tahu bagaimana menghadapi wanita sepertinya. Jadi sebelum dia mempermalukanku lebih jauh, aku mampu menghentikannya hingga dia pergi sendiri dari hadapanku.
"Sepertinya aku harus pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan wajahku ini," batinku sambil menaiki sebuah taksi ketika sudah berada di luar hotel.
Setibanya di rumah sakit, aku langsung menuju ruang gawat darurat dan dokter segera menanganiku. Dia memberi obat untuk meredakan rasa sakit pada luka di wajahku. Dokter memberitahuku bahwa tidak ada masalah serius, lukanya tidak dalam, dan aku harus lebih memperhatikan istirahatku malam ini. Dari semua hal buruk yang terjadi malam ini, aku merasa lega saat mengetahui bahwa luka di wajahku tidak mudah meninggalkan bekas, padahal sebelumnya aku sempat khawatir, walau lukanya tidak dalam. Namun, terasa cukup panjang.
***
Aku tidak punya banyak uang yang tersisa saat ini. Ongkos taksi dan tagihan pengobatanku tidaklah sedikit karena sampai menguras isi dompetku. Saat ini, aku masih terdiam. Berpikir apa yang harus aku lakukan untuk bisa mencapai rumah.
"Ah iya, lebih baik aku minta bantuan Arga saja untuk menjemputku di sini dan mengantarku pulang. Daripada aku harus naik taksi dan tidak tahu harus bayar pakai apa!" batinku terpaksa meminta bantuannya.
Sebenarnya aku sangat membenci Arga atas apa yang dia lakukan padaku. Bahkan dia adalah satu-satunya alasan yang membuatku harus mengalami periode-periode buruk dalam hidupku. Aku harus terjebak dalam masalah besar dan berurusan dengan pria yang menurutku tidak memiliki hati seperti Tuan Firdaus. Namun, aku tidak bisa bersikap sombong seolah tidak mau mengenalnya lagi karena sejujurnya aku masih membutuhkan bantuannya. Terlebih saat aku berada dalam situasi darurat seperti sekarang ini.
Dengan tangan yang masih gemetar karena kejadian di restoran tadi, aku pun menuliskan pesan untuk dikirim kepada Arga.
"Arga, aku harap kamu sedang tidak sibuk. Tolong jemput aku di Rumah Sakit Permata Hijau dan antarkan aku pulang!" Aku menyertakan emoticon sedih dan tangan yang mengatup. Berharap agar dia bersedia membalas pesanku untuk datang menjemput.
Dalam rasa cemas aku masih menunggu balasannya. Penantianku pun terbayarkan saat aku melihat mobilnya memasuki pelataran lobi rumah sakit.
"Aku tahu dia pasti akan datang, sekalipun tidak membalas pesanku," batinku yang mulai dapat tersenyum lega.
Setelah memberhentikan mobilnya, Arga pun keluar dari mobil dan langsung menghampiriku dengan wajahnya yang cemas. "Dinda, apa yang terjadi sampai kamu berada di rumah sakit malam ini?"
Selain rasa cemas yang kulihat di wajahnya, aku pun dapat melihat jelas pipinya yang lebam karena perbuatanku siang tadi. Ya, aku melakukannya sangat keras dan berulang-ulang kali sampai meninggalkan memar kebiruan yang pastinya membutuhkan waktu beberapa hari untuk bisa hilang.
"Apa yang terjadi pada pipimu? Kenapa sampai diperban?" tanyanya lagi saat aku belum merespon apa-apa karena terlalu fokus dengan bekas tamparanku pada pipinya.
"Sedikit terluka karena sebuah insiden kecil. Lupakan saja karena dokter bilang ini bukan luka yang serius! Bagaimana dengan pipimu, apakah masih terasa sakit?" tanyaku merasa bersalah atas apa yang aku lakukan.
"Aku baik-baik saja dan sama sekali tidak mempermasalahkan kejadian tadi siang. Sekarang ayo masuk!" Arga segera menuntunku untuk masuk ke mobilnya.
Setelah mengenakan sabuk pengaman dan duduk nyaman di sebelah Arga, aku mulai menyandarkan kepalaku yang terasa berat pada sandaran kursi jok. Sedangkan Arga malah asyik memperhatikanku dan tidak melakukan apa-apa.
"Kenapa diam? Ayo jalan sekarang!" titahku layaknya seorang bos.
Namun, dia tidak langsung menurutiku dan masih menatap wajahku yang mungkin cukup memprihatinkan di matanya.
"Dinda, kenapa kamu begitu banyak masalah? Apa kamu tidak bisa bersikap baik agar tidak perlu mengalami hal seperti ini? Bahkan jika perlu kamu tidak perlu keluar rumah, biar aku yang akan mengirimkan makanan dan minuman enak padamu. Lagian juga kenapa sih kamu harus ikut pergi bareng Tuan Firdaus yang playboy itu? Kehidupanmu dan dia itu berbeda, Dinda. Lihat sekarang apa yang kamu alami? Wajahmu malah terluka sampai pergi ke rumah sakit sendirian malam-malam begini." Arga mulai memarahiku, ekspresinya masih sama seperti dulu saat aku keras kepala dan tidak mau mendengarkannya.
Mendengar nada bicara Arga membuatku mulai berpikir jika dia memang tidak pernah menjualku pada Tuan Firdaus karena sepertinya dia tidak menyukai pria itu. Tak ingin menduga-duga. Pada akhirnya, aku memutuskan untuk bertanya langsung pada Arga, “Bukannya akan lebih baik jika bayi yang aku kandung ini menjalin hubungan dekat dengan ayah kandungnya sendiri?” Aku menatap dalam wajahnya. Berharap Arga memberi jawaban pasti padaku.
"Apa yang kamu bicarakan?" tanyanya balik dengan kedua alis yang saling bertaut heran.
Ekspresi wajah Arga saat ini cukup membuatku bingung. Bagaimana tidak, wajahnya penuh keterkejutan. Terlihat natural seolah tanpa dibuat-buat sedikit pun.
Jujur saja, saat ini aku sedang tidak ingin bermain teka-teki bodoh dengannya lagi. Ditambah rasa lapar yang membuat perutku keroncongan karena saat di restoran tadi aku belum sempat makan apa pun. Hal yang wajar karena sejak hamil, aku memang cepat merasakan lapar dan perlu makan banyak setiap harinya.
Tanpa basa-basi aku melontarkan pertanyaan lagi pada Arga dan menuntutnya untuk menjawab.
"Sekarang aku tanya, bukankah Tuan Firdaus ayah dari bayi yang aku kandung saat ini?"
Kedua mata Arga membulat sempurna mendengar ucapanku. "Apa yang kamu katakan, Dinda? Kenapa kamu bisa berpikir bahwa dia adalah ayah dari anakmu?" Nada suaranya terdengar begitu kesal dan tampak terkejut karena pertanyaanku.
Aku terdiam. Mencerna reaksi Arga dengan segala kekesalannya.
"Sekarang aku sedang tidak membawa kancing manset milik Tuan Firdaus yang aku simpan di dalam kamar. Jadi aku tidak bisa menunjukkannya pada Arga." Aku berpikir lebih jauh. Perkataan Arga bagaikan sebuah tamparan yang menyadarkan aku dengan segala pemikiranku yang salah. "Sekarang aku jadi merasa jika kancing manset yang aku temukan, tidak cukup kuat untuk membuktikan bahwa Tuan Firdaus adalah ayah dari anak yang aku kandung ini," batinku terus memikirkan semua ini lebih keras.
Di tengah keterdiamanku yang masih terus berpikir, tiba-tiba Arga kembali membuka suaranya. "Oh, sekarang aku paham apa alasan kamu sangat ingin mendekati Tuan Firdaus, itu karena kamu berpikir jika dia adalah ayah dari bayi yang kamu kandung!"
Tubuhku seketika merosot dari posisi dudukku yang awalnya tegak. Tulang-tulang punggungku seakan perlahan ditarik keluar hingga membuatku merasa sangat lemah.
Tanpa repot-repot bertanya lagi untuk meyakinkanku apakah Tuan Firdaus adalah pria itu atau bukan? Aku sudah mendapatkan jawaban dari ekspresi yang dia tampilkan saat ini dan jawabannya sudah pasti bukan.
"Cukup, Arga! Aku lelah untuk membahas hal itu saat ini. Sekarang cepat jalankan mobilnya!"
Arga pun segera melajukan kendaraannya untuk pergi meninggalkan pelataran rumah sakit, tapi dia benar-benar tidak bisa diam dan berhenti mengoceh.
"Dinda, selama ini kamu selalu keras kepala dan bersikap semaumu. Apa boleh, satu kali ini saja kamu mendengarkan aku! Aku tahu kamu jadi seperti ini karena kesalahanku dan aku benar-benar minta maaf untuk hal itu. Saat itu, aku tidak bisa menolak perintahnya karena aku tidak memiliki kemampuan untuk melawannya. Aku hanya orang biasa dengan jabatan rendah dibanding pria itu. Entah kenapa aku merasa jika semua orang melarangku untuk jatuh cinta padamu hingga ujian dalam hubungan kita terasa berat. Seandainya malam itu aku menolak keinginannya, mungkin saat ini kita berdua sudah tidak ada lagi di dunia ini. Tapi kamu jangan khawatir, dia mengatakan bahwa dia hanya akan memisahkan kita sampai kamu melahirkan anak itu. Setelah semua ini berakhir, dia berjanji tidak akan lagi mengganggu kita. Aku benar-benar menyesal karena membiarkan semua ini terjadi padamu, tapi kamu harus percaya jika aku sampai saat ini masih mencintaimu, Dinda. Aku serius, aku benar-benar mencintaimu."
Setelah selesai berbicara Arga mengulurkan tangannya dan meraih jemariku, lalu menggenggamnya dengan erat. Entah mengapa tiba-tiba saja aku merasa mual luar biasa ketika dia menyentuhku.
Dia mengatakannya dengan baik, seolah-olah semua mudah untuk dilalui. Tentu saja dia bisa berpura-pura bersikap biasa dengan apa yang terjadi, tetapi bagaimana dengan aku? Aku harus melahirkan seorang anak, bagaimana mungkin aku bisa berpura-pura tidak terjadi apa-apa?
Saat aku menghempaskan tangannya, dia tidak merasa kesal sama sekali. Harus kuakui, Arga memang sangat pintar mengendalikan emosinya dan selama kami saling mengenal, dia sama sekali tidak pernah berani membentakku sekalipun kami berselisih paham. Namun, bagaimanapun perhatian dan sikap Arga padaku. Aku tetap menilai bahwa dia adalah seorang pengecut yang tidak bisa melindungi wanita yang dicintainya. Apakah bisa di bilang jika Arga tidak tulus mencintaiku?
Hatiku seperti tertusuk pedang yang menghujam begitu dalam. Pedih dan begitu sakit sekali mendengar kenyataan dari mulut Arga.
"Aku tidak pernah habis pikir kenapa dia tega membiarkan aku disentuh oleh pria lain sampai hamil? Kalau memang hanya ada dua pilihan pada saat itu, kenapa dia tidak memilih mati bersamaku asalkan dia bisa menjagaku dengan baik dan tidak membiarkan pria lain menodaiku? Apakah aku salah menyebutnya seorang pengecut? Bahkan dia tidak memiliki keberanian untuk menjelaskan pada ibunya tentang masalah ini. Dia malah membiarkan ibunya merendahkanku, menamparku, bahkan sampai mengusirku. Dia sudah tidak berhak atas diriku lagi! Dia bukan siapa-siapaku lagi! Semua yang dia katakan pasti bohong!" teriakku dalam hati dengan segala pikiran rumit yang benar-benar membuat kepalaku terasa sakit.
"Berhenti!" ucapku dingin, lalu aku segera melepaskan sabuk pengaman yang melingkar di tubuhku. Sontak saja Arga bergegas menghentikan laju kendaraannya di bahu jalan.
"Kita belum sampai di rumahmu, Dinda. Kenapa kamu minta aku berhenti?" tanyanya yang terlihat sedikit bingung, ditambah saat dia melihat tanganku membuka pintu mobil.
"Dinda, apa yang akan kamu lakukan?" tanya Arga panik sambil berusaha meraih pergelangan tanganku.
"Lepas! Aku tidak ingin bersamamu lagi! Mulai detik ini, aku tidak ingin melihatmu lagi, kamu benar-benar menjijikkan!" Aku mendorong tubuhnya dengan sekuat tenaga sampai genggamannya terlepas dari tanganku. Lalu, aku pun segera keluar dari mobilnya.
Arga tak berhenti begitu saja, dia tetap mengendarai mobilnya dan mengejarku. Bahkan saat ini dia menjulurkan kepalanya keluar dari jendela mobil dan berteriak padaku.
"Dinda, tolong jangan seperti ini! Kalau aku terlihat menjijikkan untukmu, mungkin karena itu bawaan hamil, 'kan?"
Aku sejenak berhenti melangkah, menoleh ke belakang dengan sorot mata yang menajam. "Pergi, Arga! Pergi!"
Ada banyak orang jahat yang berkeliaran di malam hari, tapi aku tidak takut untuk pulang dengan berjalan kaki sendirian daripada harus bersama Arga yang hanya membuatku mual jika ingat dengan semua yang terjadi. Hatiku benar-benar sakit setiap melihat dia bisa bersikap biasa saja setelah menjerumuskan hidupku dalam jurang penderitaan.
Bersambung ✍️