Keputusan Terbaik

1619 Words
Selamat membaca! Setelah melewati perjalanan yang cukup jauh, akhirnya aku berhasil sampai di rumah, walau dengan kedua kaki yang hampir patah karena terlalu lama berjalan. "Bi Lusi, tolong buatkan aku air hangat ya! Aku ingin merendam kedua kakiku ini," pintaku dengan wajah kelelahan saat Bi Lusi membukakan pintu untukku masuk. Aku tidak biasa mengenakan sepatu hak tinggi dan melakukan perjalanan sejauh yang telah aku tempuh tadi. Ini benar-benar pengalaman pertamaku yang sangat buruk. Ada rasa penyesalan di dalam hatiku karena ikut bersama Tuan Firdaus untuk menghadiri acara makan malam yang ternyata hanya berakhir memalukan bagiku. Bahkan yang lebih menyedihkan, di sana aku sama sekali tidak sempat menikmati lezatnya hidangan yang aku lihat tersaji di atas meja prasmanan. "Ah, sudahlah aku tidak mau mengingat kejadian tadi lagi. Rasanya aku muak jika harus mengingat wajahnya!" batinku menggerutu saat wajah Tuan Firdaus terlintas dalam benakku. Tak hanya meminta air hangat untuk merendam kedua kakiku, aku pun meminta Bi Lusi agar segera menyiapkan makan malam selama aku mengganti pakaianku di kamar. Tubuhku kali ini benar-benar terasa lemah dan aku sangat kelaparan. Tenagaku seperti hilang entah ke mana. Bahkan untuk melangkah menaiki anak tangga saja, aku harus ditemani oleh Bi Lusi yang menyempatkan dirinya karena mencemaskanku. "Terima kasih ya, Bi," ucapku begitu tiba di depan kamar. "Iya, Nona. Apa Anda baik-baik saja?" tanya Bi Lusi yang sudah beberapa kali menanyakan hal ini padaku. "Aku baik-baik saja, Bi. Aku hanya kelelahan karena terlalu jauh berjalan." "Ya sudah kalau begitu, Non. Bibi pamit dulu untuk menyiapkan air hangat dan makanan seperti yang Nona minta tadi." "Makasih ya, Bi. Nanti aku saja yang ke bawah. Jadi Bibi enggak perlu mengantarnya ke kamar." Bi Lusi pun mengangguk. Sementara aku, kembali melanjutkan langkah kakiku untuk masuk ke kamar. Hanya butuh 15 menit, kini aku sudah berada di meja makan menikmati makanan yang telah disiapkan oleh Bi Lusi sambil merendam kedua kakiku dengan air hangat. "Ini benar-benar membuatku merasa jauh lebih baik. Aku masih beruntung memiliki Bi Lusi dan Anggi di rumah ini yang selalu melayani kebutuhanku," batinku menilai sisi baik yang masih bisa aku dapat di tengah masalah hidupku. Setelah menghabiskan beberapa menu yang dihidangkan, aku mulai memainkan ponselku dan aplikasi pertama yang kubuka adalah i********:. "Ya Tuhan, berita ini." Rasa kesal adalah perasaan yang seketika timbul saat sebuah postingan tampak jelas di layar ponselku. Malam ini pertengkaranku dan Nona Keisha menjadi berita yang sedang hangat diperbincangkan di sosial media. Dalam video yang diunggah pada sebuah akun gosip, terlihat aku dan Nona Keisha mengenakan gaun yang sama. Tak hanya gaun, bahkan semua yang melekat pada tubuhku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sulit rasanya menemukan perbedaaan di antara kami, selain mungkin hanya dari bentuk tubuhku yang lebih ramping. "Dia benar-benar berhasil membuatku malu. Hebat sekali Tuan Firdaus. Sangat hebat."Sulit bagiku mendeskripsikan rasa yang bergejolak dalam diriku saat ini. Bukan hanya marah, tetapi juga kekecewaan hingga membuatku merasa dikhianati. Selama bertahun-tahun menjadi reporter, tidak pernah sekalipun aku menjadi sebegitu terkenal seperti sekarang. Ya, walaupun aku sudah melakukan pekerjaanku dengan baik, tidak ada sesuatu yang aku dapat. Berbeda dengan saat ini, baru satu hari aku menjadi sekretaris Tuan Firdaus, aku sudah langsung begitu terkenal. Namun sayang, semua itu bukan karena prestasiku, melainkan karena tamparan dari Nona Keisha. Sungguh hal yang sangat memalukan. Tak hanya melihat postingan itu, kini aku mulai membaca deretan komentar yang tertulis di sana, komentar yang menyudutkanku. Bahkan dari semua yang aku baca, tak ada satu pun komentar yang berpihak padaku. "Dasar cewe murahan tidak tahu malu." "Tega banget sih jadi Pelakor. Itu mana gaunnya sama lagi." "Wajah cantik, tapi kelakuan minim. Kamu itu seperti wanita yang tidak laku. Apa tidak ada pria lain yang bisa kamu goda? Dasar murahan!" Beberapa komentar benar-benar pedas untuk dibaca. Namun, aku sama sekali tidak sakit hati atau ambil pusing setelah membaca ribuan komentar yang merendahkanku. Aku berpikir mereka tidak memberiku makan dan tidak menghidupiku. Jadi mulai saat ini, aku akan menganggap mereka semua sebagai heathers dan aku sama sekali tidak peduli dengan komentar mereka. Aku cukup bangga pada diriku sendiri karena tidak lemah dalam hal ini. Setelah bosan membaca beberapa komentar pada postingan itu, aku pun memilih untuk menonton TV dan menikmati buah-buahan yang dipotong oleh Bi Lusi untukku. Hampir setiap malam aku makan buah-buahan, kata Bi Lusi agar bayi dalam kandunganku sehat dan nutrisinya tercukupi. Lagi dan lagi aku merasa hal ini patut aku syukuri. Di balik setiap kesedihan, ternyata masih ada kebahagiaan yang bisa aku dapatkan. Di rumah ini, aku benar-benar dilayani layaknya seorang ratu. Namun, sejenak pikiran itu hilang saat aku menyadari sesuatu. "Tapi semua ini hanya akan berlangsung sampai aku melahirkan saja. Begitu aku melahirkan, maka aku pasti akan diusir dari rumah ini. Kenapa aku merasa kisah hidupku seperti cerita n****+ yang rahimnya dipinjam untuk melahirkan anak dari seorang pria kaya beristri mandul?" batinku dengan wajah datar dan tak lagi ada senyuman memikirkan semua itu. "Nona, apa buah mangga yang Nona makan ini manis?" Pertanyaan Bi Lusi membuat lamunanku buyar. Aku kembali melihatnya. Coba mengabaikan sejenak pikiranku yang tengah begitu kalut saat ini. "Iya, Bi. Mangga ini manis." Mendengar pertanyaanku, Bi Lusi tampak tersenyum. Namun nyatanya, itu hanya mengalihkan sejenak lamunanku. Kini aku kembali terdiam, merenungi apa yang sempat aku putuskan. "Apa aku benar-benar harus melakukan semua itu?" Di dalam hati aku terus menimang-nimang segala sesuatunya. Saat dalam perjalanan, aku sempat memutuskan sesuatu yang mungkin terdengar kejam. Keraguan itu mulai sirna, di saat cuplikan demi cuplikan dari semua kepedihan yang telah aku lalui terbayang dalam pikiranku. Mulai dari rasa sakit ditampar Ibu Sarah, sampai ditampar oleh Nona Keisha semakin menumbuhkan keyakinan pada diriku. "Keputusanku sudah bulat. Aku akan menggugurkan kandungan ini!" batinku memutuskan. "Aku tidak ingin melahirkan seorang bayi yang tidak jelas asal-usulnya, bahkan aku tidak tahu siapa ayahnya. Jadi untuk apa aku mempertahankan kehamilan yang hanya akan membuat hidupku dalam kesulitan. Bahkan jika hanya ada satu pilihan, maka lebih baik aku mati daripada rahimku digunakan oleh orang lain yang tidak aku ketahui!" Tapi aku tidak punya uang untuk menggugurkan kandunganku. Maka itu, aku coba bertanya sesuatu pada Bi Lusi. "Oh ya, Bi, apakah Sekretaris Han meninggalkan uang saku untukku?" Bi Lusi yang duduk di seberangku langsung menggelengkan kepala. "Sekretaris Han hanya memberi saya uang untuk membeli makanan setiap hari dan tidak ada yang lain." "Ternyata dia pria yang sangat pelit. Dia benar-benar memperlakukanku seperti hewan peliharaan yang hanya diberi makan tanpa uang jajan!" batinku dengan rasa sakit yang semakin dalam. Perasaanku yang sempat membaik, kini kembali hancur. Sulit rasanya berkata aku baik-baik saja. Ingin menangis, tapi rasanya tidak mungkin jika harus melakukannya di depan Bi Lusi dan Anggi. Jadi aku pun memutuskan untuk segera ke kamar untuk tidur. Baru saja aku merebahkan tubuhku di atas ranjang, tiba-tiba Anggi memanggilku sambil mengetuk pintu kamar yang sudah kembali terpasang setelah sempat rusak oleh Tuan Firdaus. "Ya, masuk saja, pintunya tidak dikunci!" ucapku mempersilahkan dia untuk masuk ke kamar. Anggi pun melangkah masuk sambil memegang gaun mahalku dengan hati-hati. "Nona Dinda, apakah Nona ingin mencuci gaun ini? Kelihatannya ini sangat mahal, apakah saya harus mengirimnya ke dry cleaning?" "Ah, rasanya aku mual melihat gaun mahal sialan itu!" umpatku dalam hati dan menatapnya dengan malas. Namun, sebuah ide mendadak terbesit dalam benakku. Membuatku segera beranjak dari atas ranjang dan mengambil gaun itu dari tangan Anggi. "Tidak perlu, Anggi. Gaun ini tidak perlu dicuci karena ini tidak kotor. Jadi biarkan aku simpan di sini." “Oh, baiklah kalau begitu Nona. Maaf sudah mengganggumu. Selamat malam." Anggi kembali pergi meninggalkan kamarku dan menutup pintu. Sementara aku segera melihat gaun tersebut dan mencari label harga yang memang belum aku buang. "Ternyata ada untungnya juga aku tidak membuang labelnya dan gaun ini pun masih sangat bersih tanpa noda sedikit pun. Aku juga baru memakainya sekali. Lebih baik aku mengembalikan gaun ini ke tokonya besok, lalu aku bisa mendapatkan uang 45 juta!" ucapku sembari tersenyum puas karena memiliki ide untuk mendapatkan banyak uang. "Ya, aku akan menjual semua barang yang dibelikan oleh Tuan Firdaus. Selain gaun ada sepatu, perhiasan, dan tas yang harganya ratusan juta itu. Dengan begitu, aku bisa punya uang untuk menggugurkan kandunganku dan pergi dari rumah ini secepatnya!" Bukannya aku kejam, tapi aku melakukan itu karena aku tidak bisa melahirkan bayi yang tidak aku ketahui asalnya dan siapa ayahnya. Kenyataan ini sangat sulit untuk bisa aku terima. Terlebih setelah Arga benar-benar mematahkan pemikiranku jika Tuan Firdaus adalah ayah dari anak yang aku kandung ini. "Dengan menggugurkannya, mungkin itu akan jauh lebih baik. Maafkan aku harus melakukan itu, bukan karena aku tidak mencintaimu, tapi karena aku tidak bisa memberimu cinta sekalipun kamu terlahir ke dunia." Aku berucap pelan, terdengar lirih sambil mengusap bagian perutku dengan perlahan. Tanpa terasa, air mataku mulai menetes. Meratapi apa yang aku jalani saat ini. Pedih hingga tangisanku benar-benar terasa menyesakkan. Setelah lelah menangis, aku mencoba untuk mulai tertidur dengan mematikan lampu kamar. Aku berusaha untuk tidak menangisi bayi yang tak kuinginkan ini. Dalam kegelapan yang semakin pekat, aku pun tertidur bersama sisa air mata yang masih belum mengering di wajahku. *** Keesokan harinya, aku terbangun pukul 10 pagi karena semalam aku kesulitan saat memejamkan kedua mataku. Membuatku tertidur sangat larut. Begitu bangun tidur aku langsung bersiap-siap, lalu menyempatkan waktu untuk sarapan pagi sebelum pergi menjual semua barang pemberian Tuan Firdaus. Setelah selesai mengisi perut, aku pun segera menemui Pak Tama yang seperti biasa sudah menungguku di halaman rumah dengan mobil yang sudah siap mengantarku pergi ke mana pun. "Selamat pagi, Nona. Ke mana kita hari ini?" sapanya dengan ramah sembari membukakan pintu mobil dan mempersilahkanku untuk masuk. "Ke Plaza Indonesia." Aku menjawab dengan tersenyum manis. Dia pun hanya mengangguk dengan ekspresi bingung. Ya, aku tahu dia pasti bertanya-tanya di dalam hatinya saat ini, bagaimana seorang wanita pengangguran sepertiku bisa pergi ke mal hampir setiap harinya? Bersambung ✍️
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD