Gio menghentikan aktivitasnya memeriksa beberapa laporan akhir bulan, ketika Gery masuk ke dalam ruang kerjanya.
“Sibuk?” tanya Gery. Ia duduk santai di kursi depan meja kerja Gio dengan kaki menyilang dan punggungnya bersandar pada kursi tersebut.
“Bisa di lihat,” jawab Gio sambil mengedikkan dagunya ke arah dokumen. Dulu hal seperti ini sangat Gio hindari. Ia lebih memilih mengembangkan sanggarnya dari pada harus berkutat dengan tumpukan kertas yang seakan tidak pernah habis. Namun, saat ia diingatkan oleh ayahnya tentang masa depan Gio jika kelak memiliki istri dan anak, maka saat itu ia sadar kalau ia harus mulai bekerja keras.
Gery mengangguk paham, “Besok bisa wakilin aku ketemu Mr. Benjamin di Aston jam makan siang? Besok aku ada meeting dengan devisi marketing dan ini pembahasan penting”
“Bisa kok. Ada lagi?” tanya Gio dengan wajah dingin menatap Gery.
Kening Gery mengkerut melihat sikap adiknya yang dingin. Ia tahu betul sikap Gio seperti apa. Jika mendadak dingin dan lempem begini artinya ada sesuatu yang tidak beres.
“Kenapa lihat aku kayak gitu?” kini giliran Gio merasa risih mendapat tatapan menyelidik dari kakaknya.
Gery memajukan tubuhnya, tangannya dilipat lalu bertumpu pada meja. “Wajah kamu kayak sedang memikirkan sesuatu. Kamu ada masalah?”
“Nggak ada. Aneh banget pertanyaan kakak.”
“Gi, awalnya aku nggak mau bahas ini. Tapi kata Mama sikap kamu aneh dan sekarang aku ngerasa emang begitu. Kamu sering pulang malam, tiap sarapan lebih banyak diam dan minggu lalu kamu nggak pulang ke rumah. Kamu tidur di mana? Kalau di rumah Dimas nggak mungkin karena mereka lagi di luar kota.”
Gio yang mendadak dicecer pertanyaan merasa kelimpungan. Ia tidak menyadari hal-hal yang di sebutkan oleh Gery. Ia merasa semuanya normal-normal saja. Tapi apa iya Gio seaneh itu?
“Kalau ada masalah ya cerita. Jangan ditanggung sendiri kayak nggak punya keluarga dan teman. Gini-gini, aku juga jadi abang yang bertanggung jawab sama adik sendiri,” ujar Gery.
Gio mendesah lemah, “Kak, aku mau nanya. Dulu sikap Kak Anya sebelum kalian pacaran apa lebih jutek dan galak kayak sekarang?”
Gery tersenyum samar, “Gi, kakak ipar kamu nggak pernah jutek. Kalau galak emang iya tapi karena perhatian. Selama ini pernah nggak kamu atau yang lain tersinggung dengan sikap galaknya?”
“...” Gio menggeleng.
“Sejek awal aku kenal dia lewat Adel, dia lebih ke sifat menjaga jarak karena belum terlalu kenal. Setelah kita kenal dan sering ngobrol atau ketemu, sifat aslinya muncul dia baik, perhatian dan membuat aku nyaman. Padahal masih temenan loh.” Gery mengernyitkan alisnya melihat Gio diam entah memikirkan ucapannya atau memikirkan hal lain. “Kamu lagi dekat sama cewek?”
Gio menggeleng cepat, “Nggak. Aku nggak lagi deket sama cewek kok.”
“Atau kamu mau balikan sama Levia?” Gery semakin penasaran.
Gio diam, soal Levia seminggu ini mantannya itu intens sekali menghubunginya. Tapi Gio kadang menanggapi tapi kadang juga cuek. Tapi apakah akan ada kata balikan antara ia dan Levia? Gio sendiri tidak tahu.
Kalau perubahan sikapnya karena Sera itu tidak mungkin. Setelah kejadian tidur di mobil, ia dan Sera belum pernah bertemu. Sesuai dengan keinginan gadis itu. Padahal selama ini pertemuan mereka juga terjadi secara tidak sengaja. Bukankah semuanya berjalan baik? Tapi justru hidupnya merasa sepi. Apakah sepi karena pertengkaran dengan Sera tidak menghampiri hari-harinya selama seminggu ini membuat Gio berubah seperti yang dirasakan orang sekitarnya?
“Gi, jawab. Malah bengong ini bocah. Apa yang ganggu pikiran kamu? Aku nggak mau ya sampai berpengaruh ke pekerjaan. Gara-gara kamu nggak konsen kerja,” Gery hanya mencoba memancing agar adiknya mau bercerita.
“Aku nggak ada teman dekat kak. Entah Levia atau wanita lain. Cuma...” Gio ragu melanjutkan kalimatnya.
Gery memicingkan mata, “Cuma apa?”
“Nggak apa-apa. Kakak balik kerja gih. Aku mau lanjutin ini. Kerjaan ini arus beres sekarang.” Gio buru-buru bangkit dari duduknya dan menarik tubuh sang kakak agar keluar dari ruangannya.
Gery dongkol karena di buat penasaran oleh Gio. “Dasar, udah nungguin malah ngusir. Iya iya aku bisa keluar sendiri nggak usah di giring kayak sapi begini,” protes Gery.
***
“Mau beliin adik sepupu lo hadiah apa? Gue bingung kalau disuruh bantu milih hadiah buat anak cowok. Yang kepikiran pasti mobil-mobilan atau robot” tanya Gadis saat sedang menemani Sera ke Mall untuk membelikan hadiah ulang tahun Brian.
“Rugi dong kalau gue ngajak lo. Nggak berkontribusi.”
“Ya kan setidaknya gue bisa jadi tim hore,” sahutnya asal.
“Lo kira gue lagi ikut lomba makan krupuk.”
Gadis tergelak, “Lo pintar ngelucu juga. Kirain isi kepalanya cuma umpatan kesel.”
“Banyak omong lo ah, gue lagi konsen nih.”
“Adik sepupu lo punya hoby apa?” kini Gadis kembali pada mode serius.
“Dia suka banget gambar, bahkan dia udah belajar melukis,” jawab Sera sambil melihat jejeran alat menggambar dan melukis di salah satu toko di sana.
“Wih jangan-jangan nanti jadi pelukis terkenal. Keluarga lo ada darah seni?”
Sera mengangguk pelan “Ada, Opa gue dulu seorang pelukis dan Oma pemain teater”
Gadis terbelalak, “Serius? Wih keren banget. Kok nggak nurun ke lo?”
“Ya kan nggak selalu darah seni nurun langsung, buktinya sepupu gue yang mewarisi. Nggak tahu juga sih, namanya anak kecil kan masih suka coba-coba hal baru.”
Gadis mengangguk, “Iya juga sih. Dirayakan di mana?”
“Katanya sih di Hotel Santika, secara Brian udah punya banyak teman. Jadi nyari tempat yang luas” sahutnya. “Nah gue udah dapet hadiah yang bagus. Semoga Brian suka” Sera membelikan satu set peralatan melukis khusus untuk anak-anak, mulai dari cat air, kuas hingga canvas.
“Ya udah tinggal bungkus terus bayar.”
Sera dan Gadis kini terdampar di salah satu restoran yang pernah jadi bahas ulasan Gadis di acara Food Galery. Restoran yang terkenal dengan masakan khas Bali terutama Ayam Betutu Gilimanuk, terletak di daerah Rawamangun.
“Lo harus coba ini tapi hati-hati kalau nggak kuat pedes,” ucap gadis.
“Kayaknya nggak sepedes mulut gue deh,” Sera tergelak karena ucapannya sendiri.
“Kurang-kurangin deh galak lo. Emang nggak takut kalau cowok nggak mau deket gara-gara mulut pedes lo?”
Sera mengangkat bahunya, “Kalau ada cowok yang tertarik sama gue, harus nerima mulut pedes gue juga,” jawabnya santai. “Eh gue lupa terus nanya, lo kenal Gio nggak?”
Gadis mengernyit, “Gio Aldian yang dulu atlet Taekwondo Nasional?”
“Masa sih dia atlet nasional?” Sera lupa-lupa ingat tentang hal itu
“Wah parah lo. Masa pembawa berita nggak tahu Gio Aldian Berata atlet Taekwondo terkenal. Dia kan temennya Rama. Lo aja tahu pacar gue atlet masa Gio nggak. Mana ganteng banget lagi, kaya pula,” oceh Gadis.
Sera mendengus kesal, “Perasaan pertanyaan gue gampang, tinggal jawab ‘kenal atau nggak kenal’. Kenapa lo ngoceh kayak radio rusak Dis?”
“Si@l masa gue dibilang radio rusak. Iye maaf, gue kenal. Kan tadi udah bilang Gio teman Rama. Kenapa? Lo lagi deket sama dia?”
Sera dengan cepat melempar satu butir kacang tanah goreng pelengkap menu ke arah Gadis, “Sembarangan. Dia kakaknya tante gue”
“Oh iya, Gio kan kakaknya Rea dan suaminya Om lu kan?” Gadis mengangguk paham. “Dunia sempit banget. Tapi kalau lo deket beneran sama Gio gue dukung banget. Udah baik, ganteng, mapan dan yang terpenting badannya pelukable banget, kayak Rama”
“Dia bukan tipe gue,” tandas Sera kejam.