16 tahun kemudian....
“Del, kamu mikirin apa?” tanya Tiyas menjelang tidur.
Ia penasaran usai pertemuan mereka dengan Alan tadi siang saat rapat di masjid. Dari bahasa tubuh Adel, Tiyas bisa membaca sahabatnya itu menaruh hati pada Alan.
“Mikirin masa depan!” jawab Adel singkat, ia tersenyum pada bunga tulip yang terangkai indah diatas meja. Wajah Alan tidak mau pergi dari ingatannya.
“Kamu mikirin Mas Alan, ya?” selidik Tiyas. Ia menggeser posisi menjadi terlentang. Kini matanya menatap bintang bintang akrilik yang bertaburan di atap kamar.
“Kamu sendiri mikirin apa?” Tanya Adel balik.
“Mau tau ajaaa atau mau tau bangeeet?” goda Tiyas sembari memeluk sahabatnya itu seperti guling.
"Mau tau banget! Hahaha..."
Adel mentertawakan dirinya yang sangat penasaran.
Tyias ikut tertawa, lalu melepaskan pelukannya.
“Sudahlah Ukhti soleha, jangan mikirin laki laki yang belum halal, Mending sekarang tidur, besok pagi kita harus berangkat kerja lagi,” lanjut Tiyas seraya menarik selimut dan berusaha memejamkan matanya.
Tiyas baru bekerja satu bulan di perusahaan Nata jaya Teksil. Sebuah nama yang terdengar akrab ditelinganya. Mungkin karena sejak kuliah Tiyas sudah mendapat beasiswa dari perusahaan ini, sehingga nama Nata Jaya Tekstil selalu akrab di telinganya. Tiyas bagian purchasing sehingga hari harinya sibuk memantau stok barang di gudang.
Ia sering menemui Alan, mantan kakak kelasnya itu, untuk meminta tanda tangan persetujuan pembelian barang.
"Tiyas, untuk stok barang bulan ini tolong tambahkan setengahnya, karena bulan ini banyak pesanan.” pinta Alan saat Tiyas ke ruangannya meminta tanda tangan.
“Baik, Mas” sahut Tiyas pelan, sembari meninggalkan ruangan. Pipinya merona. Suara Alan selalu membuat jantungnya dag dig dug.
Tiyas sudah lama menyimpan rasa pada Alan, sekuat apapun usahanya menghapus kenangan bersama lelaki itu, sepertinya kandas. Namun tak disangka kini ia berada satu kantor dengan lelaki itu dan tempat tinggal mereka pun berdekatan.
Tiyas tidak pernah mau bercerita kepada Adel, kalau Alan adalah kakak kelasnya, apalagi menceritakan hubungan yang pernah terjalin diantara mereka. Ia tidak ingin membuat Adel cemburu, walau perasaannya pun terluka saat tahu Adel menaruh hati pada Alan.
***
Dering telpon menghentikan kerja Tiyas sejenak. Sebuah panggilan masuk dari Adel.diraihnya ponsel itu.
“Assalammualaikum." sapa Tiyas.
“Waalaikumsalam, Tiyas, tau nggak, barusan Alan wapri aku” Tiyas menarik napas dalam. Ada nyeri di dadanya.
“Ohya, apa katanya?” tanya Tiyas penasaran.
“Dia minta hasil rapat di Masjid kemarin segera disosialisasikan.” ujar Adel dengan suara semeringah
“Terus?” lanjut Tiyas.
“Udah, gitu aja, haha...” Adel tertawa garing. Bahkan dia tidak tahu apa yang lucu.
Sejenak Tiyas menarik napas, melonggarkan sesak di d**a.
“Del, ceritanya nanti saja di kosan, ya. Aku masih hectic, nih.” dalih Tiyas mengakhiri percakapan.
Tiyas meletakkan smartphone nya kemudian kembali tenggelam dalam tumpukan pekerjaan.
Adel karyawan Bank Swasta yang tinggal satu kost dengan Tiyas. Keduanha akrab karena sama sama aktif di kegiatan remaja masjid.
***
“Assalammualaikum, ukhti soleha.” sapa Tiyas saat memasuki kamar, Adel masih mengenakan seragam kantor duduk di atas Kasur sambil memangku laptop.
“Waalaikum salam, hai Yas, baru nyampe jam segini? Dari mana aja?”
“Biasa lah, Nyari makan.” jawab Tiyas singkat.
“Enak banget, sih, punya badan kayak kamu, makan apa aja tapi nggak gemuk. Kalua aku makan kayak gitu... Bisa-bisa badanku mekar kesamping.” ujar Adel sambil menatap Tiyas melahap burger yang dibawanya.
“Udaaah makan saja, nggak usah dipikirin.” jawab Tiyas sambil menyodorkan satu bungkus burger.
Adel hanya tersenyum menahan seleranya demi menjaga diet yang sudah berjalan dua minggu.
“Tadi mas Alan cuma wapri gitu doang?” tanya Tiyas sambil menikmati burgernya.
“Iya, sekalian besok suruh bawain data peserta baksos yang sudah terkumpul ke masjid”
“Cuma gitu doang?” Tiyas melotot, Adel cuma cengir.
Tiyas melanjutkan menyantap burger di tangannya sembari lanjut membaca n****+ yang belum selesai.
“Yas, menurut kamu siapa, ya, calon istri Mas Alan, soalnya tadi nggak sengaja aku dengar dari mbak Wita kalau mas Alan mau ta'aruf”
Seketika Tiyas berhenti mengunyah. Matanya lekat menatap Adel.
“Kalau tiba tiba wanita yang beruntung itu adalah aku…” suara Adel tertahan, mata keduanya saling beradu. Ia tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. Sebab, dia tahu, Tiyas juga menaruh hati pada Alan.
"Jangan ge er!” Tiyas melanjutkan kembali mengunyah burgernya, perasaannya kacau.
“Bukan ge er, Yas. Tapi rasanya aneh jika ini hanya sebuah kebetulan saja! soalnya mba Wita minta Bio dataku!"
Tiyas tertegun, bibirnya bergetar menahan takut, takut kehilang lelaki yang sudah bertahun tahun dinantikannya.
“Yas, kok kamu nggak jawab, sih?” rajuk Adel.
“Sudahlah, Del, jangan suka berandai andai!” Tiyas mengambil peralatan mandinya. Ia ingin mandi, badannya terasa penat dan gerah.
Tapi Adel belum puas dengan jawaban Tiyas.
“Yas, benerin nih, aku nggak tenang."
Adel beranjak dari kasur lalu duduk di pojok ruangan sembari memeluk boneka kesayangannya.
"Cieee ada yang mau dilamaaar... asik bakalan makan makan nih..." celetuk Tiyas berusaha menyembunyikan getir di hati.
“Idih, makan melulu nih yang dipikirin” Adel melepar boneka tedy bear nya ke Tiyas.
Percakapan keduanya terhenti saat smartphone Adel berdering. Adel segera membukanya, sebuah pesan dari Wita masuk. Bergegas gadis berkulit putih itu membacanya.
Tubuh Tiyas menegang, keringat dingin membasahi punggungnya. Menunggu isi chat mbak Wita. Ia sangat takut kehilangan Alan. Dia tidak siap jika Alan benar benar melamar Adel, sahabatnya sendiri.
“Alhamdulillah, ternyata benar, Yas, Insya Allah besok Aku taaruf dengan mas Alan!” pekik Adel seraya menutup wajahnya.
Jamarinya dingin, keringat hangat mengalir di punggungnya membasahi seragam kantor yang masih melekat di tubuh. Adel tidak menyadari perubahan sikap Tiyas, hatinya berbunga bunga, hingga membuatnya lupa pada Tiyas. Bahkan ia tidak sadar jika Tiyas meninggalkannya seorang diri.
Tiyas menatapnya jeri, hatinya hancur berkeping keping, matanya berkaca kaca.
Ia berjalan ke luar, seketika perutnya terasa mual. Remuk redam rasa di hatinya. Benci. Tapi bukan pada Adel, melainkan pada Alan. Seingatnya, belum ada kata putus dari Alan tetang hubungan yang pernah mereka jalin saat SMA dulu.
'Kenapa harus Adel? Kenapa bukan dirinya?'
Pertanyaan itu bagai bara api yang bergulir membakar dadanya. Saat itu, hari masih sore, Gadis bertubuh sintal itu memutuskan pergi ke mal yang tak jauh dari tempatnya tinggal.
Tiyas berjalan menyusuri lorong pertokoan, sesekali ia berhenti mengamati pajangan tas lalu kembali berjalan menaiki escalator menuju food court. Saat seperti ini, tidak ada yang ingin di lakukannya kecuali makan. Ia memesan makanan favoritnya.
Tidak lama menunggu pesananya pun datang. Tapi sepertinya napsu makannya hilang. Ia hanya mengaduk aduk somay itu dengan sendok. Baru kali ini Tiyas kehilangan selera makan. Tenggorokannya terasa kering, tubuhnya lemas bahkan untuk menyendok makanan ke mulutnya pun sepertinya tak berdaya.
Smartphonnya berbunyi. Sebuah panggilan masuk dari Adel. Tiyas bergeming membiarkan saja panggilan itu berakhir. Air matanya bercucuran mengalir tanpa terbendung.
"Hai, Yas!"
Tiyas buru buru menyeka air mata, sosok Anesya yang tiba tiba hadir didepannya, mengejutkannya.
"Hai, Nes!" sambut Tiyas ramah.
"Kamu kenapa? Habis nangis ya?"
Tiyas diam sesaat, merasa ada teman curhat, ia menceritakan masalahnya pada Anesya. Kedua sahabat lama itu ngobrol lalu memutuskan nonton ke bioskop menghabiskan waktu bersama.
Tiyas sengaja pulang larut malam menghindari obrolan dengan Adel. Setibanya di kosan, didapatinya Adel sudah tertidur.
Pagi dini hari, Tiyas sudah bangun dan bersiap berangkat ke kantor.
"Yas, Tumben berangkat cepat?" Sapa Adel yang baru selesai shalat subuh.
"Lagi banyak kerjaan," jawab Tiyas dingin. Tanpa pamit, ia pergi meninggalkan Adel yang masih bingung melihat perubahan sikap Tiyas.
Tiyas lebih awal sampai di kantor, ia menatap ruangan Alan yang masih tertutup rapat. Ada rasa benci di hatinya.
Dipegangnya kalung liontin yang menggantung di leher, masih lekat dalam ingatannya saat Alan memberi kalung itu.
"Assalammualaikum ...."
Suara Alan mengagetkan Tiyas, reflek, ia berbalik. kini keduanya saling berhadapan, diam membisu.