Chapter 12

1082 Words
Nath terkejut mendengar kalimat terakhir yang keluar dari mulut laki-laki di sampingnya. “Keisha sudah meninggal setelah mengalami kecelakaan dengan teman kencannya. Dan saat itu hubungan kami sudah sebatas mantan,” jelas Dave sambil menatap lekat wajah terkejut Nath. “Mama atau Bi Rani tidak memberitahumu?” sambungnya. Nath spontan menggeleng. Bukan salah Bi Rani atau Vanya yang tidak memberitahunya, tapi karena dia sendiri melarang mereka membicarakan Dave dan Keisha di hadapannya. Meski tanpa sengaja dia sering mendengar Bi Rani atau Vanya membahas keadaan Dave melalui saluran telepon. Namun dia tidak pernah berpikir jika Dave dan Keisha telah bercerai, bahkan wanita yang membuatnya pergi jauh dari keluarga besar Sakera sudah meninggal. Dave membelai pipi Nath yang masih selembut dulu. “Mungkin karena berita itu sangat tidak penting buatmu, jadi mereka enggan memberitahumu. Sekarang biarlah dia mempertanggungjawabkan perbuatan semasa hidupnya di sana.” “Aku turut berduka dengan kepergian Keisha.” Meskipun Nath tidak menyukai sikap dan perbuatan Keisha selama mereka tinggal serumah, tapi dia mengerti jika Keisha pernah sangat berarti dalam hidup Dave. Dave tersenyum sambil mengangguk. “Nath, maukah kamu memberiku kesempatan untuk menunaikan kewajiban dan tanggung jawabku sebagai suami sekaligus ayah dari putri kita? Maukah kamu memberiku izin memperbaiki hubungan kita?” tanya Dave tanpa basa-basi. Nath menatap Dave yang menampilkan raut penuh harap. Dia sudah memikirkan jauh-jauh hari jika kejadian seperti ini akan terjadi. Sebagai seorang istri, dia masih sangat terluka dengan sikap Dave. Namun sebagai seorang ibu, tentu saja dia tidak bisa egois terhadap kebahagiaan putrinya. Nath harus bijak memosisikan diri sebagai sahabat, istri, dan ibu dari buah hati mereka. Dia memejamkan mata sebelum sepatah kata keluar dari mulutnya. “Dave, dulu aku berjanji untuk tidak menghalangimu sebagai ayah dalam memberi Della kasih sayang, jadi kamu bebas mencurahkan kasih sayangmu kepadanya, tapi aku mohon jangan memaksanya agar segera memanggilmu dengan sebutan Papa.” “Iya, aku mengerti. Pasti tidak mudah untuknya begitu saja memanggilku Papa, apalagi kami baru bertemu. Maukah kamu membantuku agar Della mengetahui dan mengakuiku sebagai Papanya?” pinta Dave memelas. Nath menaikkan sebelah alisnya. “Bukannya aku tidak mau membantu, tapi aku ingin melihat usahamu dalam mengambil hati Della.” Dave tergelak mendengar jawaban istrinya, dengan gemas dia mengacak rambut Nath yang tergerai. “Baiklah, berarti kamu tidak keberatan jika aku menyebut diriku sendiri Papa saat berbicara dengan Della?” Dave meminta izin. Nath mengendikkan bahunya. “Terserah,” balas Nath. Dave tersenyum lebar. “Terima kasih, Nath,” ucap Dave tulus. “Oh ya, bagaimana dengan hubungan kita?” sambungnya waspada. Nath menghentikan tangannya yang masih merapikan rambutnya kembali. “Bukankah kita tidak saling mencintai? Menikah pun kita tanpa cinta, jadi biarlah hubungan ini tetap sebatas sahabat dan orang tua untuk Della,” jawab Nath seadanya. “Kata siapa kita tidak saling mencintai?” sergah Dave cepat. “Kataku berdasarkan perkataanmu dulu,” balas Nath mengabaikan reaksi Dave. “Kamu benar, tapi itu dulu. Jujur saja, ada perasaan lain yang aku rasakan kepadamu setelah kita menikah. Tepatnya saat kita tinggal terpisah, dan rasa itu semakin kuat menyeruak ketika aku menemanimu melahirkan Della. Saat kamu pergi membawa Della, aku merasa bagian tubuhku ikut hilang. Yang aku rasakan sampai sebelum kita bertemu kembali, hanyalah kehampaan.” Tidak ada ekspresi bercanda atau membual dari raut yang Dave perlihatkan. “Mungkin itu hanya rasa bersalahmu saja yang terlalu membumbung, Dave. Aku yakin sekarang rasa itu pasti sudah menghilang dan normal kembali.” Nath meresponsnya sebiasa mungkin. Dave berpindah dan duduk di ranjang Nath. Tangannya menangkup wajah Nath yang masih pucat. “Tidak, aku rasa itu bukan karena perasaan bersalah semata, tapi perasaan bahwa aku sudah terperangkap olehmu. Oleh ketulusan hatimu. Aku menyayangimu lebih dari rasa sayang seorang sahabat. Aku mencintaimu, Sahabatku.” Tidak dipungkiri jika jantung Nath berdetak lebih cepat dari sebelumnya setelah mendengar ungkapan cinta suaminya. Secepatnya dia mengontrol diri agar tidak terbuai. “Jangan terburu-buru menyimpulkan rasa yang kamu miliki padaku, Dave. Siapa tahu rasa buatku itu hanya bentuk pelarianmu saja? Kita jalani saja dulu apa adanya, supaya tidak ada yang tersakiti lagi di antara kita.” Nath mengusap tangan Dave di atas pipinya. “Kamu menolak cintaku?” tanya Dave dengan nada sedih. “Kapan aku menyatakan menolak cintamu?” Wajah sedih Dave yang mirip Della saat merajuk membuat Nath menjitak kening Dave. “Aw!” Dave mengusap keningnya karena jitakan keras Nath. “Kalian ibu dan anak sama saja, suka sekali menyiksaku,” rajuk Dave. Nath mengernyit, dia menangkap jika Della sudah menjahili Dave. “Apa yang dilakukan Della padamu?” selidik Nath. Dave menyadari ucapannya akan membuat anaknya kena masalah. “Ah, tidak. Aku hanya asal bicara,” kilah Dave cepat. “Davendra!” panggil Dave penuh penekanan. “Nath, aku mohon jangan memarahi Della setelah aku mengatakan ini padamu. Dia masih anak kecil, bahkan balita, jadi wajar dengan kebiasaannya.” Dave lebih dulu meminta permakluman kepada istrinya. “Kebiasaan apa?” tuntut Nath. Dave mengembuskan napasnya pelan, kemudian dia menceritakan keisengan Della dan kejadian Della mengompol di atas perutnya. Nath hanya terkekeh mendengarnya, apalagi raut Dave memelas agar dia tidak memarahi Della semakin membuat Nath geleng-geleng kepala. “Nath, tadi saat memandikan Della, aku melihat dan membuka kalung yang dipakai Della. Di sana ada fotoku pada sekeping liontinnya, Della juga mengatakan jika itu adalah Papanya, tapi kenapa saat melihatku dia langsung tidak mengenaliku?” tanya Dave heran. “Wajar saja Della tidak mengenalimu. Lihatlah penampilanmu sekarang yang seperti preman kehilangan markas. Rambut panjang, rahangmu penuh bulu, wajah kusut, untungnya tubuhmu tidak bertato. Di foto itu kan Papanya Della tampan, berambut pendek, dan wajahnya segar, meski kejahatannya tidak terlihat,” cibir Nath. Bukannya marah, Dave malah tersenyum geli. Dia merasa sahabatnya sudah kembali. Timbul niatnya untuk menggoda Nath menggunakan salah satu hal yang kurang disukai Nath dari dulu. “Yakin sekali dirimu bahwa aku sekarang tidak bertato? Kamu pasti tahu kemungkinan apa saja yang dilakukan orang frustrasi?” “Jadi kamu bertato? Di mana? Dave bukannya aku melarangmu menghiasi tubuhmu dengan tato, tapi ....” Kalimat Nath menggantung karena Dave dengan cepat telah mengecup bibirnya. “Aku mengukir namamu di pikiran dan hatiku,” bisiknya di depan bibir Nath. Wajah pucat Nath merona gara-gara tindakan lancang Dave. “Gombal,” Nath mendengus dan berusaha memalingkan wajah. “Pulang sana, jaga Della semasih aku di sini,” usir Nath pura-pura ketus. “Tidak usah malu begitu, Sayang.” Dave menoel dagu Nath. “Jangan kurang ajar kamu, Dave! Ingat hubungan kita masih sebatas sahabat,” Nath memperingatkan. “Sahabat berakte nikah, dan resmi di mata hukum maupun agama,” balas Dave sambil mengedipkan sebelah matanya. “Davendra!” kesal Nath dengan godaan suaminya. Dave memeluk Nath meski istrinya memberontak. “Aku mengira hari ini hanyalah ada di dalam mimpiku. Terima kasih sudah memberiku kesempatan untuk hadir di hidupmu lagi, dan terima kasih tidak menghalangiku berdekatan dengan putri kita. Aku berjanji akan menebus semuanya dan memberi kalian kebahagiaan.” Dave mengecup kepala istrinya yang berhasil dia tenangkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD