Villia POV.
Aku melangkahkan kakiku masuk ke gedung kantor yang megah, kantor ini terlihat sangat besar dan megah, aku pun menghentikan langkah kakiku dan berdiri ditengah, mengabaikan semua orang yang melihatku heran. Aku memejamkan mata dan mengembuskan napas. Hari ini adalah hari pertamaku bekerja, meski cintaku tidak berjalan mulus, setidaknya pekerjaanku bisa berjalan dengan lancar.
Aku hendak melanjutkan langkah kaki dan sontak terkejut ketika seseorang menarik lenganku.
Aku membulatkan mata ketika genggaman ditanganku ternyata milik Amrie.
“Amrie? Kenapa kamu di sini?” tanyaku.
“Aku yang harusnya bertanya. Kenapa kamu di sini?”
“Lepaskan aku,” kataku menarik genggaman tangan Amrie, meski aku sekuat tenaga ingin melepaskan genggaman itu, Amrie malah makin kuat menarikku.
“Aku sudah bilang padamu, aku tidak mau putus.”
“Ada apa sih denganmu? Lepaskan aku,” rengekku seperti seseorang yang akan menangis saat ini juga.
Sepasang mata semua orang menonton hal itu, tak ada yang bisa aku lakukan selain meminta tolong pada Amrie sendiri untuk melepaskan genggaman tangannya.
“Lepaskan aku, Amrie, aku akan berteriak,” kataku.
“Berteriak saja, semua orang mengenalku di sini,” tantang Amrie.
“Sebenarnya apa maumu?”
“Aku mau kita tetap berjalan seperti biasa. Aku tidak mau putus denganmu. Jika kamu tetap mau putus, aku tidak akan membiarkanmu memasuki kantor ini,” ancam Amrie membuatku melihat jam dinding raksasa yang ada di loby. Hari pertamaku tidak boleh terlambat, aku akan kehilangan pekerjaan ini, jika aku melakukannya.
“Lepaskan aku, Amrie. Kita bicarakan setelah aku bekerja,” rengekku seperti anak kecil.
“Sayangnya aku tidak mempercayaimu,” jawab Amrie.
Meski sekuat tenaga aku mencoba melepas genggaman tangan Amrie, aku makin merasakan perih disekujur lenganku, Amrie tidak pernah main-main dengan ancamannya dan itu membuatku selalu takut jika Amrie melakukan sesuatu yang diluar nalarku.
“Ayo ikut denganku,” tarik Amrie.
“Aku mohon, Amrie, jangan melakukan ini. Aku harus bekerja,” lirihku.
“Aku bilang ikut ya ikut,” bentak Amrie membuatku menatap wajah semua orang yang kini menatapnya heran. Ingin rasanya meminta tolong, namun sudah bisa dipastikan, tak akan ada yang menolongku. Mereka akan mengira bahwa aku adalah kekasih Amrie.
“Amrie, aku janji akan berbicara denganmu setelah aku pulang bekerja,” kataku mencoba memohon pada Amrie yang kini terlihat marah.
“Aku tidak pernah percaya padamu. Kamu pasti akan kabur,” katanya membuatku makin kehilangan akal. “Sudahlah ikut denganku saja, kamu tidak perlu bekerja. Aku yang akan memberikanmu uang.”
“Tolong aku! Please tolong aku,” lirihku pada semua orang yang kini menonton. “Aku mohon tolong aku.”
Semua orang malah melangkah mundur, mereka tak ada yang mau menolongku, semuanya malah heran dan tidak bisa berbuat apa-apa. Aku terlihat seperti seorang istri yang kedapatan selingkuh dan di seret oleh suamiku sendiri. Mereka semua pasti mengira seperti itu.
Aku pasrah, jika aku kehilangan pekerjaan ini, aku pasti akan mendapatkan pekerjaan lain, tak ada yang mau menolongku dan tidak akan ada yang menengadahkan tangannya untuk menolongku. Semua hanya melihat bagaimana Amrie menyeretku keluar dari gedung ini.
“Cos'è questo [Ada apa ini?]” tanya sebuah suara membuat Amrie menghentikan langkah kakinya.
Pemilik suara itu adalah seorang lelaki dewasa yang sangat tampan dan memikat, datang bersamaan dengan manager tempatku bekerja. Suara itu merdu sekali dan membuatku terlena menatapnya. Dia dewasa dan mampu memikat semua orang yang ada di sini. Aku juga seperti tersihir oleh tatapan matanya.
“Kenapa kamu ikut campur urusan mereka?” bisik manager Clarisa pada lelaki yang kini berdiri disampingnya. Aku tidak mengenalnya. Tapi sudah bisa dipastikan dia adalah salah satu karyawan penting di perusahaan ini.
“Lepaskan dia, Amrie. Dia karyawan Clarisa,” kata lelaki itu.
“Dave, tidak usah ikut campur, aku punya urusan dengannya.”
Jadi nama lelaki itu … adalah Dave? Nama yang bagus.
“Lepaskan dia atau kamu tidak akan bisa kemari lagi,” ancam Dave membuat Amrie membulatkan matanya penuh. Aku tidak tahu ada hubungan apa antara mereka bertiga, namun Amrie terlihat waspada.
“Perché ti stai immischiando? [Kenapa kamu ikut campur?]”
“Sudahlah, Dave, wanita itu mungkin kekasihnya,” sambung Clarisa.
“Tapi ini jam kerja. Aku tidak mau seseorang jadi tidak disiplin,” jawab Dave menghela napas halus dan melihat semua mata tertuju pada mereka. “Lascialo andare, Amrie [Lepaskan dia]”
“Oke aku akan melepaskannya,” jawab Amrie melepaskan genggaman tangannya pada lenganku. Aku bernapas lega ketika lelaki b******k itu melakukannya.
“Kamu jangan membuat malu di sini, ini perusahaan bukan tempat pribadi,” bisik Dave pada Amrie, seakan ia mengenal Amrie, aku tidak tahu hubungan apa yang sedang terjalin antara ketiganya.
“Aku akan menunggumu sepulang kantor,” kata Amrie. “Aku akan tetap ada di situ dan duduk menunggumu,” sambung Amrie, menunjuk ruang tunggu.
“Kita sudah berakhir, Amrie, jangan menggangguku lagi,” pintahku dengan helaan napas.
“Aku tidak pernah menganggap semuanya berakhir, jadi pastikan kamu tidak kabur lagi dariku,” ancam Amrie membuatku mengembuskan napasku dan mengangguk, aku harus mengalah saat ini untuk membuat Amrie tenang.
“Apa yang kau lakukan?” tanya lelaki yang bernama Dave itu.
“Ya?”
“Mau kerja atau tidak?”
“Terima kasih, Tuan, Nona,” ucapku membungkukkan badan lalu melangkahkan kaki meninggalkan mereka semua.
Lelaki yang bernama Dave itu sudah menolongku dan aku pastikan akan mengucapkan rasa terima kasih nantinya. Aku tidak tahu jika ada seseorang yang mau menolongku meski Amrie terlihat dikenal semua orang. Amrie adalah lelaki yang akan melakukan apa pun sesuai apa yang ia inginkan dan tidak ada yang berani untuk menyerobotnya.
Ku langkahkan kakiku memasuki lift dan menghela napas lega. Aku selamat dan bisa bekerja meski b******k itu akan menungguku di ruang tunggu. Jika dia tidak mau putus denganku, harusnya dia berusaha tidak mengecewakanku dan menjaga hubungan kami, aku juga sangat mencintainya dulu, namun melihatnya bersama wanita lain dan mencumbu wanita lain, aku jadi muak dan tidak lagi memikirkan bagaimana perasaanku padanya.
“Perché siete in ritardo? [Mengapa kamu terlambat]” Sebuah suara menghentikan langkahku ketika aku keluar dari lift dan sampai di departemen keuangan. Aku menautkan alis.
“Kamu—”
“Aku karyawan baru sepertimu, namaku Fransisca.”
“Oh iya. Salam kenal,” kataku.
“Salam kenal juga,” jawab wanita berambut putih itu. Dia terlihat seksi dan pakaiannya cukup terbuka. Aku jadi merasa risih melihatnya, sedangkan pakaian yang aku kenakan, aku malah mengenakan pakaian tertutup seperti takut sesuatu akan membukanya. Aku menggelengkan kepala dengan pola pikirku ini.
“Aku masuk duluan, ya,” kataku.
“Kamu sudah tahu siapa bosmu?”
“Sudah. Aku belum menghubunginya,” kataku dan merogoh tasku dan mengambil kartu nama yang sudah dibagikan kemarin. Aku membulatkan mataku penuh ketika melihat nama yang tertera di kartu nama itu.
Dave Senio. Bukankah lelaki yang sudah menyelamatkanku tadi?