Chapter 2

1044 Words
Saat menyusuri koridor untuk pergi ke kantin, Andini kaget, refleks bersembunyi. "Waduh, gawat! Ada si kepala glowing lagi!" Andini langsung bersembunyi di balik tempat sampah, tak ingin berpapasan dengan wakil kepala sekolahnya. "Kenapa kamu?" Andini langsung kaget mendengar suara yang sudah tidak asing lagi itu. Si kepala glowing-- wakil kepala sekolah Andini berkacak pinggang, melotot pada muridnya yang bersembunyi di balik tong sampah ini. "Hahaha, selamat pagi Pak! Saya permisi dulu Pak." Andini langsung berlari menuju arah yang berlawanan dengan kantin, dia malah berbalik ke toilet. Bukan karena kebelet, Andini hanya tak mau terseret ke kelasnya karena bolos di kantin saat jam pelajaran. "Anak-anak cacing di perutku, maafkan Nona-mu ini tidak bisa memberi makan," bathin Andini. "Haaaah... untung pak kepala glowing nggak mengiku--" "AAANNNNDIIIINIIIII! MASUK KE KELAS SEKARANG!!!" Andini yang baru saja menghela nafas lega, kini tersentak kaget, sel-sel di otaknya berproses dengan cepat, membuat kelicikan baru. "Bapak! Kenapa Bapak masuk ke toilet perempuan!? Jangan bilang Bapak mau ngintip saya ya! Awas ya Pak, bakal saya laporkan ke kepala sekolah!" Dalam 2 detik saja foto kepala glowing-- wakil kepala sekolah sudah ada di ponsel Andini, gerakan tangannya benar-benar cepat. Andini tersenyum tipis pada wakil kepala sekolahnya, jari-jarinya beralih menekan menu perekam suara. "Alah! Jangan alasen kamu! Saya tau kamu mau ke kantin, mana ada ke toilet saja pakai acara sembunyi di balik tong sampah tadi!" Kepala glowi-- wakil kepala sekolah tak percaya begitu saja dengan Andini, karena sudah sering ditipu oleh gadis bernama Andini ini. "Ah... apa Bapak punya bukti?" Andini kembali tersenyum tipis. "Ini pencemaran nama baik bagi saya loh Pak. Bapak sudah seenaknya masuk ke toilet murid perempuan, dan kini malah menuduh-nuduh saya?" Mata Andini kini berair, dia bukan sedang kelilipan, dia benar-benar menangis. Tentu Andini hanya sedang pura-pura, acting yang memukau. "Bapak tega sekali menuduh saya begitu, walau Bapak adalah om-om gak punya otak yang tertarik sama murid di sekolah ini, yang sering merhatiin diam-diam murid-murid bertubuh aduhai syalala beibeh, tetap saja ini penghinaan bagi saya Pak! Bapak telah mengikuti saya ke toilet perempuan dengan tujuan memfitnah saya seperti ini." Andini menyerak-nyerakkan suaranya, memotong-motong nafasnya dengan isakan tangis yang mendalam. Akting Andini benar-benar luar biasa. Wakil kepala sekolah menelan ludah, merasa bersalah telah salah paham pada Andini. Walau sudah ditipu berkali-kali, wakil kepala sekolah ini tak pernah sadar-sadar juga, termasuk guru matematika tadi. Andini sungguh hebat dalam menjahili orang, bahkan gurunya sekalipun. Andini adalah contoh murid yang tidak layak ditiru akhlaknya. "Ah... maafkan saya kalau begitu, Andini. Baiklah, kalau benar kamu tidak ada niat ke kantin, silahkan kembali ke kelas, atau mau menemani saya dulu di sini? Hehe." Wakil kepala sekolah tertawa dengan tatapan om-om m***m. Wakil kepala sekolah itu memegang pundak Andini, nafsuan. Andini langsung menepis tangan wakil kepala sekolah itu dengan keras, membuat wakil kepala sekolah terpekik, Andini mendongkakkan kepalanya, melotot tajam pada wakil kepala sekolah. "Saya sudah mendengar siapa-siapa saja yang Bapak lecehkan seperti ini Pak, sebelum Bapak melakukan sesuatu yang lebih jauh sampai di luar batas, saya akan menyudahi semuanya! Jadi nikmatilah hari terakhir Bapak di sini!" Andini melangkah pergi dengan mata yang berapi-api. Meninggalkan wakil kepala sekolah yang sedang gemetaran di toilet perempuan. 'Dasar najis!' bathin Andini kesal. "Andini! Jangan macam-macam kamu sama saya ya! Saya tidak akan bisa kamu bodohi lagi!" Kepala glowing-- wakil kepala sekolah berseru cemas. Kaki-kakinya tak mampu mengejar Andini. "Anak itu... apa dia merekam apa yang saya katakan tadi?" gumam wakil kepala sekolah penasaran, dia benar-benar takut kalau Andini memang merekam dialognya tadi, bahkan sampai melaporkan itu. Wakil kepala sekolah terduduk membisu di lantai toilet perempuan. Tubuhnya jadi mati rasa saat memikirkan rekaman yang benar-benar ada dan disebarkan Andini pada guru-guru di sekolah. oOo Andini berseru-seru sebal sepanjang koridor, nafsu makannya langsung hilang setelah berdebat dengan wakil kepala sekolah tadi. Urusan anak cacingnya, sudah dia lupakan. "Dasar si c***l itu! Lihat aja!" Andini benar-benar akan melaporkan apa yang terjadi di toilet perempuan tadi, dan semua perbuatan buruk yang dilakukan oleh wakil kepala sekolah selama ini pada kepala sekolahnya. Andini menuju ruangan kepala sekolah. Tanpa ragu. Tok tok tok. Andini mendorong pintu perlahan, tersenyum tipis pada kepala sekolah yang duduk dengan tangan terlipat di depan perut, mengernyitkan kening melihat kedatangan Andini. "Assalamu'alaikum Pak." Andini langsung bersikap anggun, merapikan seragamnya. "Ada apa lagi Andini?" Kepala sekolah langsung to the point, tidak mau berurusan dengan keponakannya yang satu ini. "Aduh Pak-- Paman! Keponakanmu yang cantik ini hanya ingin menyerahkan hasil risetnya selama ini." Andini mengeluarkan ponsel dari kantong bajunya, mengirimkan foto wakil kepala sekolah di toilet tadi dan rekaman suara percakapan mereka selama di toilet. Kepala sekolah menyadari ponselnya bergetar, langsung membuka pesan yang telah dikirim oleh Andini. Mata kepala sekolah melotot tajam melihat foto yang dikirimkan oleh Andini, dia mulai menekan hasil rekaman suara. Melihat reaksi pamannya-- kepala sekolah, Andini tersenyum bangga, Andini lanjut mengirimkan foto-foto wakil kepala sekolah yang sedang merayu gadis perempuan di sekolah mereka, yang sudah lama di simpan baik-baik dalam brankas pribadi Andini, kini berlagak seolah detektif. "Paman selama ini mencari bukti kuat untuk mengeluarkan wakil kepala sekolah dari sekolah ini bukan? Paman harus berterima kasih padaku loh." Andini mengulurkan tangannya, meminta uang. Kepala sekolah mengernyitkan keningnya, tak habis pikir dengan keponakannya yang satu ini. Kepala sekolah menghela nafas berat, dia mengeluarkan dompet dari saku kanan celana, memberikan 3 lembar uang biru pada Andini. "Ini uang jajan dari Paman, jangan bilang sama ibumu, nanti Paman dimarahi, jangan bilang juga sama Tantemu! Kedua-duanya jangan bilang! Entar Paman disuruh tidur di teras karena memberimu uang lagi!" Ekspresi wajah kepala sekolah tiba-tiba menjadi lemas, dia sedang depresi berat, teringat sikap marah kedua istrinya saat memberi Andini uang jajan lagi. Walau punya istri 2 dan berwajah sangat tampan, kepala sekolah adalah tipe suami takut istri, takut kakak perempuannya-- ibu Andini, juga tipe orang yang mudah dipalak sama keponakan sendiri. Ini sebenarnya rahasia umum... kalau paman Andini, kepala sekolah ini, sebenarnya masih belum punya anak di usianya yang sudah 35 tahun, padahal usia pernikahan dengan istri pertamanya sudah 10 tahun, dengan istri kedua sudah 5 tahun, tapi tetap masih belum punya anak. Ini juga rahasia umum... bahwa ada romur yang mengatakan kalau kepala sekolah ini mandul alias tidak subur, tidak bisa menghasilkan keturunan. Tapi sebenarnya tidak, mungkin Allah ingin memberi ujian kesabaran dulu pada kepala sekolah dan kedua istrinya untuk bersabar dan terus berjuang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD