Chapter 3

1036 Words
Setelah Paman Andini menegaskan pada Andini untuk tidak melaporkan uang jajan yang diberikannya untuk Andini pada kakak dan istri-istrinya. Andini mengangguk cepat. "Hahaha siap Paman! Tenang aja, Andini gak bakal bilang sama siapa-siapa kok. Kalau begitu Andini izin pulang dulu ya Paman!" Andini langsung keluar dari ruangan kepala sekolah, bersenandung ria. Kepala sekolah terdiam sejenak. "ANDINI!" Kepala sekolah langsung berdiri dari duduknya, melotot tajam pada Andini. "Jangan ngadi-ngadi kamu! Masuk ke kelas kamu sekarang! Sekali lagi kamu kelayapan di jam pelajaran, awas saja! Paman akan panggil ibu kamu!" Andini menelan ludah, jika pamannya sudah marah seperti ini, tak akan bisa dibantah. Apa lagi Andini takut jika sampai berurusan dengan ibunya. Andini mengangguk cepat, "Baik Paman!" Dia langsung berlari ke kelas. Kepala sekolah menghempaskan tubuh duduk kembali di kursinya, menghela nafas lelah karena tingkah laku keponakan satu-satunya itu. Kepala sekolah kini men-scroll foto-foto wakil kepala sekolah. Kepala sekolah menepuk keningnya, "Apa yang ada dipikiran si tua ini? Padahal saya sudah memberinya kesempatan untuk berubah, tapi tetap saja dia c***l seperti ini. Haaah... Pak Anto, saya tak akan tinggal diam lagi." Kepala sekolah meraih gagang telepon, menghubungi pihak penyiar di sekolah untuk memanggil wakil kepala sekolah ke ruangannya, memulai ceramah dan tentunya hukuman yang akan diberikan pada wakil kepala sekolah tersebut. oOo UASBN (Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional) akhirnya selesai. Karena tidak ada UN (Ujian Nasional) dan penilaian kelulusan dari sekolah juga telah selesai, calon alumni SMP N 12 Congcorang, yaitu Andini dan teman-teman seangkatannya diliburkan selama 1 minggu. 'Alhamdulillah. Yes libur!' bathin semua murid. Bersorak gembira dengan wajah berseri-seri. Selama sebulan penuh itu, saat ujian sampai pada hari semua murid diliburkan, Andini menyadari tidak adanya kehadiran wakil kepala sekolah, kepala sekolah pun tidak berkata apa-apa pada Andini. Bahkan, kedudukan wakil kepala sekolah sudah diisi oleh guru baru seminggu setelah Andini memberikan video, foto, dan rekaman suara tersebut pada kepala sekolah-- pamannya. Kepala glowing-- wakil kepala sekolah yang genit itu sudah tiada kehadirannya di sekolah ini. Semua murid perempuan nampak senang. "Apa aku salah ya?" Andini bergumam sejenak, nampak sedang berpikir keras atas tindakannya mengirimkan bukti pelecehan wakil kepala sekolah pada pamannya, sang kepala sekolah. "Sejak kapan kamu pernah benar? Kamu terus salah." Suara yang tiba-tiba muncul itu mengangetkan Andini. Hampir saja Andini mengeluarkan jurus silatnya yang masih abal-abal pada guru matematikanya itu. Keriput di wajah guru matematika kini hilang, entah apa penyebabnya. "Bapak nguntitin saya ya?" Andini menatap tajam, menyelidik. Guru matematika itu memukul ringan kepala Andini. "Jangan geer kamu!" "Aduh! Sakit tau Pak!" Andini berseru kesal, menggerutu sambil mengelus-elus kepalanya sendiri. "Wakil kepala sekolah dipecat dari jabatannya, selain itu... dia sudah tidak diperbolehkan bekerja." "Itu ganjaran atas perbuatannya." Andini menundukkan pandangan, sedikit merasa bersalah. "Hei, tindakan kamu itu, bisa dibalas suatu hari nanti loh. Berhati-hatilah, karena hanya ini yang bisa saya sampaikan padamu setelah lulus ini. Melihat dari watak mantan wakil kepala sekolah, mungkin saja dia akan membalas perbuatanmu yang telah mengadukan sikap dia selama ini pada kepala sekolah." Guru matematika itu memasang wajah seriusnya. Andini hanya menanggapi enteng penjelasan guru matematikanya. "Apa Bapak juga akan membalas perbuatan saya selama ini?" Andini tersenyum tipis. Guru matematika itu ikut tersenyum. "Menggempeskan ban motor saya, kabur saat jam pelajaran saya, menipu saya dengan foto ibu guru Fatimah, menghilangkan lembaran soal ulangan harian, memecahkan botol minum saya, dan hal-hal iseng kamu lainnya yang sangat membuat saya muak. Kamu pikir saya tidak akan membencimu?" "Tapi itu semua kan salah Bapak, siapa suruh Bapak memberi tugas banyak pada semua murid. Kami juga butuh istirahat tau Pak!" Andini berseru kesal, berdiri dari duduknya. "Saya pulang duluan Pak! Mau menikmati hari libur saya besok! Sampai jumpa Pak!" Andini memukul keras bahu guru matematikanya, mengacungkan telunjuk ke arah ibu guru Fatimah yang baru keluar dari meja piket. Andini langsung berlari, melambaikan tangan pada guru matematikanya. "Hei Andini!" Salah seorang teman perempuan Andini ngos-ngosan mengejar Andini yang baru saja melewati gerbang sekolah. "Aku sudah memanggil namamu dari tadi tau! Aku ca....pek haaah haaah..." Teman Andini masih ngos-ngosan, berusaha mengambil nafas. "Ada apa Risa?" tanya Andini bingung. "Ada apa ada apa, ya jelaslah aku mau tanya kamu mau melanjutkan sekolah di mana?" Nafas Risa, teman Andini tadi sudah lebih baik, dia berjalan menyejajari langkah kaki Andini. "Hmmm... bagusnya apa ya?" Andini kini sedang berpikir serius, dia sendiri pun belum tau mau melanjutkan sekolah di mana. "Kamu sendiri bagaimana, Risa?" Andini menggembalikan pertanyaan pada Risa. Risa adalah teman sebangku Andini sejak SD, Andini dan Risa satu kelas saat kelas 1, di kelas 2 dan 3 mereka terpisah, di kelas 4 sampai 6 kembali sebangku. Risa adalah tipe murid yang tidak bisa di bilang pintar, dia lebih ke pemalas dan seorang wibu yang bercita-cita ingin menjadi seorang Hikikomori. Masih lebih baik dari pada Andini yang tak punya tujuan hidup. Mungkin. Walau terbiasa mendapatkan nilai 20 dan 30 selama di sekolah untuk semua mata pelajaran, anehnya Risa tak pernah tinggal kelas. Menakjubkan bukan? Ini lah yang dinamakan keajaiban! "Hmm... apa setelah ini aku gak usah lanjut sekolah ya? Toh tak ada gunanya, ujung-ujungnya aku juga jadi istri yang baik." Risa nampak berpikir keras, menatap langit-langit tak berawan. Andini menatap kosong Risa, mencemooh. Risa mengernyitkan keningnya melihat ekspresi Andini. "Kamu menyindirku ya?" "Hahaha tidak-tidak. Aku yakin orangtuamu akan marah mendengar jawabanmu ini." Andini melambai-lambai tangan, menyerah akan jawaban Risa. "Aku akan pindah ke kota sebelah karena pekerjaan ayahku, sepertinya aku akan sekolah di sana." Risa tersenyum lebar, menaikkan dua jarinya, jadi telunjuk dan jari tengah. Peace. "Yah... sayang dong kita gak bakal ketemu." Andini cemberut, sudah memasang ekspresi kehilangan. "Hahaha, iya sayang banget gak bisa lagi lihat tingkat amburadul kamu. Gak bisa lagi lihat kamu ngecengin pak guru matematika sampai dia lupa ngasih kami PR karena ngurusin kamu. Gak bisa lagi lihat kamu melempar voli tepat ke wajah bapak wakil kepala sekolah yang genit itu. Eh omong-omong, kenapa wakil kepala sekolah kita ganti ya? Apa si botak glowing itu sudah dipecat?" tanya Risa nampak penasaran. Andini menggelengkan kepalanya. "Tidak tau." Andini yang terlibat dalam pemecatan wakil kepala sekolah, memilih untuk tidak menjawab pertanyaan temannya. Risa menepuk lumayan keras punggung Andini. "Yah, itu lebih baik bukan? Jadi adik-adik kelas kita yang imut-imut tidak terganggu. Seharusnya dari dulu saja kepala glowing tidak ada di sini." Andini hanya diam, tidak menanggapi ucapan Risa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD