Tuhan, Kenapa Aku Dibedakan?
BAB 2
Fitnah Keji
“Kamu main masak-masakan tadi pagi? Sama bocah enggak guna ini, Ta?” Bude Saroh bertanya pada Vita yang tengah terbaring lemas setelah muntah hebat sembari menunjuk wajahku dengan jari telunjuknya. Mata bude Saroh bersibobrok denganku, terlihat beliau sangat marah padaku. Vita pun mengangguk. Entah apa tujuan bude Saroh menanyakan hal itu pada Vita, aku tidak tahu alasannya.
“Sudah jelas, Vita diracun sama anak haram ini, makanya muntah-muntah terus. Lihat, muntahannya berwarna coklat,” ucap bude Saroh tanpa aba-aba.
“Auuuu...”
Aku memekik keras, saat tangan paklik Rozi mendorongku, hingga tubuhku terhempas ke sofa dengan keras. Punggungku langsung terasa sangat nyeri, namun jauh lebih sakit lagi, difitnah meracuni Vita oleh bude Saroh. Ya Vita cucu, keponakan, kesayangan keluargaku. Bukan sepertiku, yang hanya anak haram tak berguna.
“Kapok! Sama sepupu sendiri tega meracuni. Benar-benar anak pembawa sial kamu!” Paklik Rozi mengumpat sembari menatapku tajam. Lagi-lagi aku yang kena. Kenapa mulutku terasa kelu, tak bisa membela diri? Aku hanya bisa menangis. Vita juga diam saja tanpa mau mengatakan yang sebenarnya terjadi. Aku yakin, Vita muntah-muntah karena makan sereal campur s**u tadi pagi. Aku mana mungkin melakukan tuduhan bude Saroh? Walaupun kami dibedakan, namun aku tak pernah punya sedikit pun niat untuk menyingkirkan Vita. Aku bukan pembunuh.
“Cepat kita bawa Vita ke rumah sakit, Zi. Mbak enggak mau terjadi sesuatu dengan Vita. Ayo, Zi!” Bude Saroh menggendong Vita dan paklik Rozi pun gegas menyambar kunci yang tergantung di samping lemari bajuku. Mereka terburu-buru pergi karena Vita muntah terus. Aku pun merasa kasihan pada Vita, namun karena dia juga, sekarang semua orang seakan menganggapku pembunuh. Vita diam saja saat bude Saroh memfitnahku. Dia memang masih kecil, tapi dia tidaklah bodoh.
“Sana masuk kamarmu! Kami tidak sudi melihat wajahmu anak pembawa sial!” Kali ini, ucapan menyakitkan itu keluar dari bibir mbah putri. Aku tidak mempercayainya, namun inilah kenyataannya. Mbah putri terlihat mengusap air matanya, mungkin saja menangisi keadaan cucu kesayangannya itu. Aku pun tak melawan, aku masuk ke kamarku yang gelap tiada satu pun lampu sebagai penerang. Aku cukup ngeri tidur sendiri di kamar ini. Selain gelap, kamarku letaknya tak jauh dari makam keluargaku. Untung ada Oren kucing kesayanganku. Dia satu-satunya yang paling mengerti aku di rumah ini. Aku sering kali membawanya tidur di kamarku. Sebenarnya, ada satu sepupuku yang baik, dan juga mengerti aku. Namun, dia sedang menginap di rumah mbah dari mamaknya yang tinggal di Keboan. Namanya Eko. Orang tuanya juga baik padaku. Aku sering menginap di rumahnya, jika diajak. Aku merasakan punya orang tua, jika sedang menginap di rumah paklik Adi, bapaknya Eko.
*****
Pagi harinya, tiada satu pun tatapan yang enak untuk kupandangi. Akankah fitnah bude Saroh telah mereka percayai? Kulihat Vita juga sudah bermain dengan boneka kesayangannya. Itu sebenarnya boneka milikku, yang dibelikan oleh paklik Omar, sebelum beliau merantau ke Kalimantan. Namun, kini telah tangan berpindah tangan menjadi milik Vita. Ya, apa pun yang dia sukai, maka akan menjadi miliknya, tak peduli, jika itu barang kesayanganku sekali pun.
“Mbah, Dina mau berangkat sekolah dulu! Semua sudah Dina kerjakan seperti biasanya.” Aku mengulurkan tangan, ingin meminta izin pada mbah Putri, namun sekian lama menunggu, mbah putri tidak meresponsku. Aku pun menarik kembali tanganku, kini beralih ingin menyalami bude Saroh. Tak terduga, bude Saroh menepis tanganku kasar. Sakit, sudah pasti.
“Ya sudah Dina berangkat, Assalamualaikum!” Mereka seolah menganggapku tiada. Salamku pun, tak mereka balas. Aku berjalan ke sekolah yang berjarak lima kilo meter dari rumah mbah, dengan perasaan tak menentu. Air mata yang sejak tadi tertahan, kini meluncur bebas membasahi seragam pramuka yang aku kenakan. Aku sempatkan mampir dulu ke makam mamak, di sana, tangisku semakin tak terbendung. Aku keluarkan semua unek-unek yang tertahan, berbicara dengan pusara mamak, membuatku sedikit tenang. Andai mamak masih ada, mungkin nasibku tidak akan menyedihkan seperti sekarang.
“Mak, Dina capek! Kenapa Mamak tidak mengajakku saja? Tidak ada yang mau menyayangi anak haram sepertiku, Mak. Mereka semua tidak ada yang akan menangisi kepergianku, jika Mamak membawaku. Mamak!” Aku meracau di samping pusara mamak. Sudah enam tahun Mamak meninggalkanku. Banyak air mata dan luka yang aku dapatkan, saat sosoknya telah pergi. Setelah merasa puas, aku pun kembali melanjutkan perjalanan menuju ke sekolah SDN Keboan 01, tempatku menuntut ilmu.
Sesampainya di sekolah, tidak ada lagi murid yang berada di luar kelas, sudah pasti jam pelajaran sudah dimulai. Aku terlambat, dan aku tahu aku pasti akan menerima hukuman seperti biasanya. Membersihkan WC sekolah. Aku masuk ke kelas dengan takut-takut. Tak hanya sekali dua kali aku terlambat, namun sering. Andai saja bapak ibu guruku tahu bagaimana aku di rumah, mungkin mereka akan kasihan padaku. Nyatanya, aku bukanlah anak yang suka membuka aib. Kututupi keburukan keluargaku, biar aku saja yang menerima segala perlakuan dari pihak sekolah, tanpa mereka tahu bagaimana keluargaku? Kenapa aku sering terlambat? Cukup aku saja yang tahu.
“Assalamualaikum, Pak! Maaf, terlambat,” ucapku sedikit gemetar. Pagi ini pelajaran pak Alif, bahasa Indonesia.
“Terlambat lagi, terlambat terus. Kamu itu niat sekolah atau tidak, Dina? Lihat, bajumu kotor semua,” ucapnya sedikit membentakku. Aku terkesiap. Aku hanya bisa menunduk takut, juga malu pada teman-temanku.
“Maaf, Pak. Tadi saya kesiangan bangun. Saya berlari, sampai terjatuh. Makanya baju saya kotor,” ucapku berbohong. Kulihat pak Alif menelisik wajahku, entah dia tahu kebohonganku atau tidak, aku pun tak tahu.
“Silahkan, duduk! Lain kali jangan diulangi. Sudah tahu anak sekolah, bangun yang pagi! Jangan seenaknya, ini bukan sekolahan mbahmu,” ucap pak Alif meneruskan. Aku pun gegas menuju bangkuku. Aku duduk paling depan, berhadapan langsung dengan beliau.
Aku bangun sejak jam setengah empat. Semua pekerjaan rumah pun, telah beres aku selesaikan. Andai saja pak Alif tahu kesusahanku, mungkin beliau tidak akan berkata sekasar itu padaku. Tapi biarlah tidak ada yang tahu kehidupanku. Kali ini pak Alif berbaik hati tak memberiku hukuman. Aku mengikuti pelajaran dengan serius. Pantang bagiku, jika tiap kenaikan kelas tidak masuk tiga besar. Namun siapa yang peduli, mau aku dapat peringkat terus setiap tahunnya, tiada yang bangga padaku.
Setelah bel istirahat berbunyi, aku pun ikut keluar kelas bersama dengan teman-temanku, namun kami beda tujuan. Mereka bersemangat menuju kantin sekolah, tak sabar memilih menu makan siang mereka, sedangkan aku yang tak diberi uang saku, hanya bisa duduk di bawah pohon jambu sendirian. Aku juga belum sarapan tadi pagi, aku akui badanku sedikit gemetaran menahan lapar. Jika ada yang berbaik hati, maka salah satu teman terdekatku, akan memberiku sedikit jajan yang mereka beli. Mbah putri masih marah padaku, sehingga aku pun tak mendapatkan uang jajan untuk sekedar mengganjal perutku. Lagi-lagi air mataku menetes kembali. Sesakit inikah hidup tanpa Mamak? Tiada yang membelaku saat aku disalahkan. Tiada yang melindungiku, saat aku disakiti. Lelah, namun aku tetap kuat.
Aku memang tidak beruntung soal keluarga, namun aku sedikit beruntung soal teman. Ada beberapa teman yang baik padaku, walaupun aku tak pernah memberikan apa-apa pada mereka. Mereka tulus berteman denganku. Mereka juga tidak ada yang memanggilku dengan sebutan anak haram. Ya, aku sedikit beruntung di sekolah.
Setengah jam berlalu. Bel tanda masuk pun telah dibunyikan. Hari ini aku kurang beruntung, karena tidak ada yang memberiku jajan. Biarlah, aku tahan rasa lapar ini sebentar. Sebentar lagi pulang, dan aku bisa makan.
“Jangan melamun saja, Dina. Itu kerjakan di depan!” titah bu Sri guru matematikaku. Dengan senang hati aku pun berjalan menuju papan tulis. Ini memang pelajaran kesukaanku. Aku telah selesai mengerjakan satu soal yang diberikan oleh bu Sri. Beliau memintaku menjelaskan pada teman-temanku bagaimana cara penyelesainya. Aku pun telah selesai menjelaskan.
“Sudah, Bu. Apakah sudah boleh duduk?” tanyaku pada bu Sri. Beliau merogoh tasnya. Mengeluarkan uang satu lembar lima ribuan.
“Ini, buat kamu. Saya belum pernah menerangkannya, namun kamu bisa mengerjakannya. Tetap rajin belajar, jangan mudah puas!” Nasihatnya kala itu. Aku pun menerima uang itu dengan bahagia. Sudah aku bayangkan, es krim roti yang enak. Aku akan membelinya. Harganya tiga ratus rupiah saja.
“Terima kasih banyak Bu,” ucapku lantas menyalami tangan beliau. Bu Sri pun tersenyum ramah. Aku duduk kembali ke bangkuku setelah menyimpan uang lima ribuan ke dalam saku bajuku.
“Weh, bisa traktir es krim nanti pulang sekolah,” ucap Lia teman sebangkuku.
“Gampang. Kebetulan aku juga mau beli itu,” sahutku lalu mendengarkan materi baru yang diberikan oleh bu Sri.