Tuhan, Kenapa Aku Dibedakan?
BAB 1
Namaku Dina. Aku tinggal bersama dengan mbah putri, mbah Kakung, paklik, kedua sepupuku, dan budeku sejak ibuku meninggal dunia, di usiaku yang baru menginjak tiga tahun. Di rumah yang berbeda, ada juga paklik dan bulekku. Saudara dari mamak dan bapak.
Aku kerap kali mendapat perlakuan tak baik dari keluargaku sendiri sejak ibuku meninggal. Tak hanya luka batin, namun juga luka fisik. Mengadu? Tentu saja aku tak pernah melakukan itu. Kusimpan semua kepedihan ini sendiri. Siapa yang mau peduli dengan anak haram sepertiku? Hanya hinaan dan celaan yang kudapatkan. Aku hanya bisa menangis, setiap kali ada yang menyakitiku. Hidup tanpa orang tua, membuat semua orang dengan mudah untuk menindasku. Mereka sama sekali tidak segan untuk menyakitiku.
Pagi itu, kebetulan aku sedang duduk di bangku rotan sembari melihat mbah mengaduk bubur. Aku sudah menyapu pelataran yang luas di depan rumah mbah, aku juga sudah memasak nasi dan air. Di usiaku yang terbilang masih anak-anak, tentu saja aku selalu menurut apa pun yang orang sekitarku perintahkan.
“Dina!” suara budeku memekik kencang memanggilku. Aku berlari tergopoh-gopoh menuju tempat pencucian piring. Dari sanalah suara budeku berasal. Jika aku telat barang sebentar saja memenuhi panggilannya, cubitan, bahkan tamparan akan ia berikan hingga meninggalkan bebas memar di tubuhku. Tak hanya itu, hinaan, cacian, meluncur bebas keluar darinya, tanpa memikirkan perasaanku sedikit pun. Aku anak yang terlahir karena dosa orang tua, cobaan pun seperti tak ada hentinya menghampiriku.
“Kamu tuli, ya? Dipanggil dari tadi enggak ada menyahut. Jangan enak-enak saja kamu tinggal di sini. Cepat kamu cuci piring kotor yang sudah menumpuk itu!” titahnya yang tak mau dibantah. Aku pun gegas duduk di kursi kayu, kata orang Jawa, dingklik. Kucuci piring dengan perlahan. Di usiaku yang sudah menginjak sembilan tahun, pekerjaan rumah bukanlah sesuatu yang asing. Aku sangat familiar dengan itu semua. Sejak umur enam tahun, aku sudah mulai diajarkan untuk mengerjakan pekerjaan orang dewasa itu. Mulai dari merebus air, menanak nasi, memasak, semua aku lalukan di dapur kayu, bukan kompor gas yang tinggal ketek langsung menyala. Mencuci pakaian, mencuci piring, mencuci bambu yang digunakan mbah Kakung untuk mengambil air nira yang nantinya akan diolah menjadi gula Jawa. Sungguh aku terbiasa melakukan segala hal yang mungkin saja sulit dilakukan oleh anak lain seusiaku.
Setelah rampung dengan cucian piring, aku hendak duduk sejenak untuk membuang lelah.
“Sudah selesai cuci piring, lanjut kamu suapi Vita. Lakukan semua tugasmu, kalau perlu tanpa diminta. Sadar diri kamu itu cuman anak yatim piatu yang tidak berguna. Merawat kamu, tidak akan membuat kami kaya. Paham kan kamu, anak haram?” ucap bude Saroh membuat dadaku bergemuruh. Dosa masa lalu orang tuaku, membuat mereka menyebutku anak haram.
“Malah bengong. Sana cepat suapi, Vita! Ayah sama ibunya Vita itu selalu rutin kirim uang buat kami yang merawatnya, tidak seperti bapakmu yang lupa darah dagingnya. Merawat anak haram seperti kamu itu cuman mendapat kesialan saja. Lihat Mbah Putrimu, sering sakit-sakitan sekarang, itu pasti karena merawat dan menampung anak tak berguna sepertimu,” cerocos Bude Saroh yang membuatku semakin merasa tak berguna sebagai seorang cucu.
“Sudah Bude. Tolong jangan selalu merendahkan Dina. Dina pun tak berharap dilahirkan di kondisi seperti ini. Kalau Dina boleh memilih, Dina lebih baik ikut mamak saja. Lebih baik Dina mati.”
“Bude! Mana makanan Vita? Vita lapar,” teriakan Vita menyadarkanku akan perintah bude untuk segera menyuapinya. Vita adalah anak bulekku yang paling bungsu. Mamak memiliki 13 saudara. Vita adalah anak bulek Santi. Sejak bayi kami yang merawatnya. Sejak kehadiran Dina, tugasku menjadi bertambah, mengasuh Dina, dan mengajaknya bermain. Bahkan aku sering kali terlambat berangkat ke sekolah, karena tugasku di rumah yang sangat banyak. Orang tentu tidak akan percaya, jika tidak menyaksikannya secara langsung. Mbah putri memang tidak begitu menekanku, namun budeku, dia tidak akan membiarkanku berangkat sekolah dengan tenang, jika pekerjaanku tidak selesai. Mereka semua mudah bude Saroh pengaruhi agar ikut membenciku. Sungguh, aku merasa sendiri di tengah keluarga.
“Iya, Mbak suapi kamu,” ucapku yang langsung berlari ke arah Vita. Vita tengah menonton televisi. Sekarang usianya empat tahun. Setahun lagi, Vita akan masuk TK. Aku dan Vita, status kami sama di rumah ini. Bedanya orang tua Vita masih ada, sedang salah satu orang tuaku telah tiada. Orang tua Vita bisa memberikan upah pada bude dan mbah, sedang orang tuaku tidak. Inikah alasan kami dibedakan?
“Selesai menyuapi Vita, jangan lupa ke warung. Belikan s**u formula buat Vita. Kamu dengarkan, anak haram?”
“Bude, Dina mohon, berhenti menyebut Dina anak haram. Kelahiranku tak perlu membawa dosa orang tuaku, Bude.”
“Ck, memang kenyataannya kamu anak haram. Kenapa? Mamakmu itu bodoh, makanya lahirlah kamu anak haram pembawa sial. Mamakmu mati itu juga karena kena sial sudah melahirkan kamu. Percuma mamakmu punya wajah cantik, lemah lembut, baik, kalau ujung-ujungnya hamil duluan sama suami orang. Bikin malu saja. Kamu itu aib! Aib buat keluarga!” pekik bude dengan wajah merah padam penuh amarah.
Aku hanya bisa menelan ludah, dan menangis setiap kali bude memarahiku. Takut tentu saja. Aku selalu menghadapi kemarahan Bude setiap harinya, sampai aku merasa begitu trauma mendengar suaranya. Aku tak punya kekuatan untuk melawan. Bude selain cerewet, jahat, dia juga sering menyiksaku dengan kedua tangannya. Mbah putri dan mbah Kakung diam saja saat bude berbuat kasar padaku, karena mereka takut pada bude. Bude selalu pergi dari rumah jika mbah membelaku. Aku memakluminya, aku harus menghadapi kejahatan bude Saroh sendiri setiap harinya.
“Mbak, ayo kita main! Vita mau main.”
“Mbak mau ke warung dulu, Vit. s**u kamu habis. Kamu Mbak tinggal dulu, ya?” pamitku pada Vita.
“Enggak mau. Vita mau ikut. Pokoknya ikut sama Mbak Dina.” Vita merengek karena hendak ikut aku ke warung membeli s**u. Jarak dari rumah mbah ke warung bude Kartini, cukup jauh karena kutempuh dengan berjalan kaki. Sekitar lima kilo meter. Oleh sebab itu, aku enggan membawa Vita. Sudah pasti saat dia cepek, dia akan memintaku untuk menggendongnya.
“Bude, Dina jalan dulu. Ini Vita tolong Bude jaga dulu,” pamitku pada bude Saroh.
“Ajak saja sana. Kamu enggak lihat Bude masih makan? Dasar buta!”
“Kenapa to, Roh? Jangan marah-marah terus sama Dina. Apa susahnya kamu jaga Vita dulu selama Dina ke warung?” ucap mbak putri membelaku. Bude mendengkus kasar. Bude membanting mangkuk berisi bubur panas yang tadi dibuat oleh mbah putri. Matanya melotot tajam menatapku.
“Astaghfirullahalazim, sabar Roh! Jangan emosi begini, apalagi sampai membuang makanan. Pamali!” ucap mbah putri mengingatkan.
“Mamak jangan ikut campur! Jangan kebiasaan membela anak haram ini, atau Saroh akan pergi lagi dari rumah? Saroh ke Jakarta lagi kalau Mamak masih berani membela bocah pembawa sial ini,” ucap Bude Saroh sembari menunjukku dengan raut wajah penuh emosi.
“Sudah, Mbah. Mbah tidak perlu membela Dina. Ya sudah, Dina ke warung dulu, Mbah. Dina ajak Vita sekalian biar tidak merepotkan bude Saroh. Ayo, Vit, ikut Mbak ke warung membeli s**u formulamu!” ajakku pada Vita. Bocah perempuan itu dengan semangat memakai sandal dan memakai topi barunya. Langkahnya sangat cepat hingga tak sengaja menabrak kaki meja, dan dia pun terjatuh.
Vita langsung menangis kencang, dan bude, dengan langkah cepat berlari ke arahku.
Plak plak
Dua tamparan mendarat di pipiku. Rasa perih dan panas menjalar meninggalkan bekas kemerahan di sana.
“Memang dasar anak pembawa sial. Kalau kamu tidak ikhlas mengajak Vita, ngomong! Malah kamu bikin jatuh begini. Kalau bapaknya Vita pulang, akan aku laporkan kamu, sama Herman. Biar kamu dipenjara. Kamu tahu, bapaknya Vita Polisi, bukan seperti bapakmu yang pengangguran itu. Tunggu kamu anak sialan!” bentaknya membuatku seketika menangis. Aku ketakutan.
Kuremas ujung jilbab dengan jemariku yang bergetar. Aku tak mampu bersuara, sekedar membela diri pun, aku tak bisa. Air mataku semakin deras membasahi jilbab yang warnanya mulai pudar termakan usia. Vita jatuh sendiri karena berlari, ini bukan salahku yang sengaja ingin membuatnya celaka. Kenapa bude selalu saja menyalahkan aku, ketika terjadi sesuatu dengan Vita?
Bude menggendong Vita menuju kamar. Aku masih terpaku di tempatku berdiri. Memandang nanar ke luar rumah. Mengapa nasibku harus begini? Bertahun-tahun aku tersiksa, namun aku tak bisa melakukan apa-apa.
“Kamu itu jangan buat masalah terus. Sudah tahu budemu galak, malah kamu suka cari masalah. Cepat sana belikan susunya Vita! Ingat, jangan kamu korupsi sisanya. Kembalikan jika masih ada kembalian!” ucap mbah putri tak kalah membuat dadaku berdenyut nyeri.