Dimas bernafas lega sebab setelah kehadiran Ida di rumahnya, kesehatan istrinya berkembang dengan pesat. Ida banyak membantu Miko berlatih berdiri dan mencoba memakai tongkat. Miko pun tampak selalu ceria dan bersemangat dalam menjalani hari-harinya. Semua urusan perusahaan istrinya pun berjalan lancar. Miko dan Ida memiliki banyak waktu untuk membahas urusan pekerjaan. Bahkan Miko pun mencoba mulai masuk kantor walau harus mengenakan kursi roda. Ida dengan setia mau menemaninya. Untuk kepentingan istrinya, Dimas sengaja mempekerjakan sopir pribadi agar Miko bisa bepergian saat dirinya tak ada di rumah. Demi keamanan lingkungan rumah kini Pak Satpam bernama, Gusti pun turut berjaga di pintu masuk gerbang rumah Miko dan Dimas. Suasana kediaman Dimas Hadiwijaya semakin hangat walau tak ada suara anak kecil.
Sejak ada Ida, Dimas pun mulai kembali aktif melakukan perjalanan ke luar, baik ke luar kota, pulau atau pun luar negeri. Ia bisa kembali fokus mengerjakan beberapa proyek yang pengerjaannya sempat tertunda.
***
Miko dan Dimas hari ini akan melepaskan kepergian Salwa, perawat muda yang telah dua setengah bulan menjaga istrinya.
"Terima kasih banyak ya Salwa, kamu sudah merawat saya dengan baik." Miko mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya. Betapa berjasanya sosok gadis muda asal Gresik itu.
"Sama-sama, Bu. Terima kasih juga karena Ibu dan Bapak telah memperlakukan saya dengan baik di sini. Anda berdua menganggap saya seperti keluarga. Mohon maaf saya harus pergi lebih awal sebelum Bu Miko sembuh. Jika ada kesalahan selama saya bekerja di sini saya minta maaf yang sebesar-besarnya." Salwa meneteskan air matanya. Berat rasanya meninggalkan majikan yang baik hati seperti Miko, namun di kampung halamannya, calon suaminya telah menunggunya.
"Kami juga minta maaf, jika ada kesalahan dan memperlakukan kamu kurang baik." Dimas bersuara. Bukan hanya istrinya yang merasa kehilangan. Dirinya pun merasa kan hal yang sama. Salwa merupakan gadis baik yang santun dan tak banyak tingkah.
"Saya akan sangat merindukan kamu." Miko menahan air matanya.
"Perawat yang akan menggantikan saya, sekarang masih di jalan sedang menuju kemari." Salwa memberitahukan posisi penggantinya.
Seharusnya sejak tiga hari yang lalu dirinya pulang namun penggantinya belum ditemukan, baru kemarin ada yang bersedia.
"Kita tunggu saja, kamu pulangnya agak siangan ya." Miko belum tahu seperti apa rupa dari perawat barunya. Seharusnya Salwa masih tetap di rumah Miko untuk memberikan arahan namun Miko tak dapat menahan lagi Salwa.
Tepat pukul sebelas siang, Ida datang bersama seorang perawat yang akan menggantikan posisi Salwa.
"Assalamualaikum." Ida yang mewakili mengucapkan salam.
"Waalaikumsalam," Dimas melihat ke arah pintu.
"Alhamdulillah, akhirnya kalian datang." Miko bernafas lega.
Ida sengaja diutus Miko untuk menjemput perawat baru dari yayasan.
"Akhirnya Mbak Ami datang juga." Salwa tampak menyambut rekannya yang merupakan seniornya semasa di kampusnya dulu.
"Perkenalkan Bu, Ini Mbak Ami yang akan menggantikan saya." Salwa memperkenalkan rekannya.
"Selamat datang Ami." Miko tersenyum ramah. Wanita yang duduk di kursi roda itu memindai Ami dari ujung kaki hingga ujung rambut. Penampilannya terlihat seksi dengan make upnya yang cukup mencolok.
"Perkenalkan nama saya Ami," ujarnya. Ia menyalami Miko.
"Saya Miko." Miko menerima uliran tangan perawat barunya.
Lalu pandangannya beralih ke arah Dimas yang duduk di sofa dekat istrinya.
"Ini suami saya, Dimas." Miko memperkenalkan suaminya.
Ami pun melemparkan senyuman manisnya. Ia terlihat lebih ramah saat menatap Dimas.
Ia pun memberikan tangannya untuk berjabat tangan. Dari awal menatap Dimas ia menunjukkan rasa ketertarikannya. Siapa pun yang bertemu dengan Dimas Hadiwijaya pasti akan langsung terpesona. Daya tariknya memang luar biasa.
Ida yang telah berkenalan lebih dulu tampak kurang simpati dengan sikap Ami. Tentu saja karena sikap dan gerak gerik Ami tergolong agresif. Di perjalanan saja perawat itu dengan gaya cerewetnya banyak bertanya ini itu menunjukkan keakraban yang berlebihan padahal keduanya baru bertemu.
"Ya sudah, kamu tolong tempatkan Ami di kamar ya, sekalian kasih tahu tugas-tugasnya sebelum kamu berangkat." Miko memberikan perintah kepada Salwa.
Selagi Salwa dan Ami pergi, kesempatan ini digunakan Miko untuk mewawancara Ida tentang Ami. Miko percaya seratus persen akan penilaian Ida tentang Ami.
Usai menempatkan Ami di kamar yang pernah ditempati olehnya sebelum akhirnya dirinya dilepas pergi oleh Miko, Dimas, Ida dan juba Mbok Darmini. Semua tampak sedih dan meneteskan air mata.
"Saya pamit sekarang ya Bu, Pak!"
"Hati-hati di jalan dan salam u tuk keluarga kamu." Air mata Miko mengalir makin tak terbendung.
Mulai esok dan seterusnya hingga Miko sembuh Ami yang akan menggantikan Salwa. Ia tak tahu seperti apakah sosok Ami.
***
Dimas akan berada di Jakarta hingga tiga hari ke depan. Seperti biasa dirinya akan menginap di rumah orang tuanya.
Kedatangannya langsung disambut ibu kandungnya.
"Dimas, apa kabar, Sayang? Mami kangen banget." Bu Ratih memeluk putranya saat melihat sosok Dimas di hadapannya.
"Alhamdulillah kabar baik. Mami sendiri apa kabar?" Dimas balik bertanya.
"Alhamdulillah sehat,"jawabnya seraya mengambil posisi duduk di sofa yang diikuti oleh Dimas. Keduanya kini duduk santai.
"Bagaimana kabar Miko? Maaf Mami belum sempat menjenguknya lagi. Kamu tahu sendiri kan, Mami baru balik dari Australia ngurusin adik kamu yang ga mau ditinggal. Diki tuh macam anak SD saja, dia nahan Mami balik ke Jakarta." Bu Ratih tampak menyesal. Ia tak sempat merawat menantunya yang sedang sakit karena anak bungsunya lebih membutuhkan dirinya.
"Alhamdulillah sehat dan sudah mulai berlatih menggunakan tongkat untuk berdiri." Dimas terlihat antusias mengatakan kabar terkini tentang perkembangan istrinya.
"Alhamdulillah Mami turut gembira. Mami tak sabar ingin bertemu Miko. Semoga saja Miko lekas pulih bisa kembali berjalan. Mami kangen jalan bareng Miko." Wanita kepala lima yang selalu tampil cantik dan anggun itu menggenggam tangan putra ke duanya.
"Miko juga sudah kangen Mami. Katanya ingin masak bareng. Kasihan dia tak bisa pergi jauh. Ia rindu shopping, ke salon dan ke sana kemari." Dimas mengatakan yang sebenarnya. Selama ini istrinya terkurung di rumahnya. Tempat yang paling sering dikunjungi hanya rumah sakit.
"Mami jadi tambah bersalah deh, Mami terpaksa tinggal lama di tempat Diki karena dia gak mau ditinggal. Beruntung sekarang ada bi Asih yang menemani." Bu Ratih menceritakan perihal anak bungsunya yang manja. Ia harus tertahan selama sebulan demi menemani putra bungsunya. Ia lakukan hal itu agar anaknya betah dan pendidikannya lancar hingga lulus nanti. Jika tak ditemani dan tidak betah, Diki terancam kembali pulang. Bu Ratih dan Pak Yusuf tak ingin itu terjadi, maka dari itu apapun dilakukan oleh mereka.
"Gak apa Mi, yang penting Mami doakan terus untuk kesembuhan Miko. Biar kita juga bisa piknik bareng." Dimas tampak santai. Ia tahu ibunya menyayangi istrinya, sayangnya jarak memisahkan keduanya sehingga frekuensi pertemuan mereka agak terbatas.
"Mami ke Bali nanti bareng kamu ya, Mudah-mudahan Papi jug bisa ikut. Sekalian liburan bareng Papi. Mami sama Papi butuh waktu bersama setelah berpisah lama." Bu Ratih memberikan keputusan sambil tersenyum centil.
Dimas pun tersenyum. Orangtuanya itu memang manis. Walaupun sudah tua tetap saja romantis.
"Aku balik hari Kamis."
Dimas memberitahukan rencana kepulangannya. Ia tak bisa terlalu lama meninggalkan Miko. Bahkan saking khawatirnya, tiap satu jam sekali ia memberi kabar kepadanya.
"Oke, Mami fix ikut kamu." Bu Ratih terlihat antusias.
"Ya udah kamu istirahat dulu. Mami mau ke dapur ,mau nyiapin makan malam. Sebentar lagi Papi pulang, Fikri juga mau ikut makan di sini." Bu Ratih lalu meninggalkan Dimas seorang diri di ruang keluarga.
***
Di tempat lainnya, Ida tengah berada di sebuah mini market dekat kantornya. Ia membawa keranjang berwarna merah seraya memilih beberapa peralatan pribadi yang hendak dibelinya.
"Ida," Terdengar suara seorang wanita memanggil namanya saat mengambil pembalut.
"Bibi," Ida kaget karena Sukerti, bibinya telah berdiri di hadapannya. Sudah lebih dari dua bulan ia tak mendengar suaranya.
"Kamu apa kabar, kami mencari kamu tapi tidak ketemu. Ke kantor pun malah diusir satpam. Bibi sekeluarga kangen kamu, Ida." Sukerti memberitahukan tentang pencariannya. Ia langsung memeluk keponakan suaminya itu sambil berurai air mata. Sejak kepergian Ida kehidupan keluarganya makin terpuruk. Tak ada lagi orang yang biasa membantu perekonomian mereka.
"Maaf, waktu itu saya buru-buru harus pergi. Ibu sudah tak ada jadi saya ingin mandiri, saya ingin memulai hidup baru." Ida memberikan alasan tanpa menyinggung masalah pamannya. Ia sudah lelah berhubungan dengan pria itu ataupun keluarganya. Ida masih menyimpan rasa sakit di hatinya, saat ia disalahkan oleh paman, kakak juga kerabat keluarga lainnya, sang bibi pun tak membela dirinya, malah membiarkan dirinya berkubang dalam duka. Tak ada satu orang pun yang berada di pihaknya. Hal itu cukup membuatnya yakin untuk pindah.
"Kami merindukan kamu. Akan lebih menyenangkan jika lamu kembali ke rumah. Kasihan keponakanmu sering menanyakan keberadaan tantenya. Mereka sekarang sudah besar" Sukerti kembali mengungkapkan perasaannya. Entah itu benar-benar dari lubuk hati terdalamnya, atau hanya basa basi agar Ida mengasihaninya dan mau pulang ke rumah mereka. Rumah yang sudah menjadi milik Oka.
Ida merutuk dalam hatinya ia yakin mereka hanya merindukan uangnya bukan dirinya. Selama dirinya tinggal bersama keluarga pamannya tak ada perhatian khusus untuknya, mereka tetap mau bersama dirinya karena Ida yang menghidupi mereka. Di satu disisi ia iba tapi di sisi lain ia tak ingin terjebak dengan keluarga pamannya. Ia harus mengingat pamannya yang jahat dan sudah menghancurkan kebahagiaannya. Bahkan saat ini pun hidupnya tak tentram karena berada dalam bayang-bayang teror darinya.
Ida meyakinkan hatinya agar tak tergoda oleh Sukerti.
"Sampaikan salam saya buat para sepupu dan keponakan. InsyaAllah kapan-kapan saya mampir ke rumah. Sekarang saya harus pulang cepat. Oh iya ini ada uang sedikit, buat jajan anak-anak." Ida memberikan dua lembar uang seratus ribu sebelum berlalu dari hadapan Sukerti untuk menuju kasir.
Sukerti tak bisa mencegahnya. Ia memandangi keponakannya dengan hati kesalnya karena gagal meraih simpatinya.
***
Miko duduk di depan cermin meja rias ditemani oleh perawat barunya yang bernama Ami. Setelah tangannya mulai bisa bergerak, Miko kembali asyik berada di depan cermin untuk merawat wajah cantiknya.
Selama ini yang mengurus wajahnya adalah perawatnya atau ia datangkan penata rias dari salon langganannya.
Terkadang kalau malam tiba Dimas pun sering ambil bagian memoleskan krim malamnya, tentu saja hasilnya tak memuaskan.
"Peralatan Make up Bu Miko lengkap sekali ya," ujar gadis berumur 24 tahun itu. Berbeda dengan Salwa, perawat yang satu ini selalu berpenampilan menor dan berbaju ketat. Ia juga pandai bersilat lidah dan merayu Miko agar mau memberikan barang-barang kepadanya. Miko terpaksa memberikannya. Apalagi jika barang-barang itu sudah lama tak terpakai. Mau diberikan kepada Ida, ia yakin tak cocok dan ukurannya pasti kekecilan.
Meskipun Ami sering mengesalkan namun ada hal yang menguntungkan Miko, Ami bisa membantunya merias wajahnya.
"Namanya juga wanita, wajar jika memiliki yang seperti ini." Miko tersenyum. Berada di keluarga Hadiwijaya membuat dirinya dituntut untuk berpenampilan modis. Makanya tak heran semua barang yang dikenakan semuanya merupakan produk branded.
"Peralatan Ibu semuanya bagus-bagus dan bermerek, beda dengan punya saya yang pasaran dan murahan." Ia mulai bertingkah menyebalkan.
Miko pun sudah tahu niat di balik pujian Ami. Pasti ia akan meminta salah satu.
"Kamu tidak perlu merendah, yang penting fungsinya dan syukuri apa yang kamu miliki. Meskipun murah itu kan milik kamu sendiri dan berjasa membuat penampilan kamu jadi cantik dan menarik." Miko menyadarkan Ami.
Saat tengah asyik berbincang, tiba-tiba suara pintu kamar Miko ada yang mengetuk dan muncul Ida masuk ke dalam.
"Permisi, Mbak. Maaf mengganggu." Ida selalu bersikap sopan.
"Sini aja Da, kamu ga mengganggu kok." Miko memerintahkan Ida untuk mendekat.
Ami melirik ke arah Ida sekilas menunjukkan rasa tidak sukanya. Sejak awal bertemu Ida, ia selalu meremehkan sekretaris majikannya itu. Ia menganggap Ida kampungan dan tak pantas menjadi sekretaris Miko. Ia pun sering merasa iri jika Miko lebih dekat dan akrab dengan Ida. Baginya kehadiran Ida di rumah ini tak penting.
Pandangan Miko langsung tertuju ke arah Ami seolah memberi isyarat agar Ami segera keluar. Sayangnya, Ami seringkali tak tahu diri. Ia malah tetap tak beranjak.
"Ami, kalau kamu mau istirahat silahkan. Saya mau bicara penting dulu dengan Ida." Miko terpaksa mengusir Ami dengan halus. Perilaku Ami dan perawat terdahulunya bagaikan langit dan bumi. Miko memiliki tugas untuk mengubah Ami agar sikapnya lebih sopan.
Mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Miko, Ami pun berdiri dengan terpaksa. Sebelum pergi ia melirik sekilas ke arah Ida.
Ida tahu jika Ami sempat melayangkan tatapan tak sukanya, namin ia tak mempermasalahkannya.
***
TBC