Dimas tak langsung menanyakan kepada Miko tentang isu yang didengar dari Ami. Ia ingin menyelidiki sendiri. Pria bertubuh jangkung itu tak ingin terlibat pertengkaran dengan istrinya. Oleh karena itu, ia pun bersikap biasa saja terhadap Miko. Keduanya kini asyik menonton TV di ruang tengah. Menyaksikan salah satu tayangan favorit Miko.
"Dim, ayo kita jemput Papi ke bandara!" Tiba-tiba Bu Ratih menghampiri Miko dan Dimas. Ia telah berdandan rapi dan cantik. Di tangannya ia menjinjing tas dan heels nya.
"Masih dua jam lagi kan, Mi. Papi juga masih di pesawat." Dimas melirik arah jam dinding. Baru pukul dua siang,namun sang mami sudah sibuk. Terlalu berlebihan jika menunggu ayahnya terlalu lama.
"Mami mau sekarang. Mami ga mau terlambat menyambut Papi. Kita harus pergi dulu ke toko bunga. Mami mau beli buket mawar buat Papi." Ia bersikukuh. Ia tak peduli jika harus menunggu lama demi kedatangan suaminya.
Miko menahan tawanya. Ibu mertuanya itu sosok yang sok romantis. Menyambut suaminya saja harus membawa bunga mawar segala, kenapa tidak sekalian membawa kalung bunga melati.
"Gimana kalau habis Ashar saja perginya. Biar kita sholat dulu." Dimas mengajukan penawaran agar mereka tak terlalu lama menunggu di bandara.
"Mami mau sekarang. Lihat nih Mami sudah dandan habis-habisan. Masa ditunda-tunda sih. Di bandara kita bisa jalan-jalan dulu. Kamu juga sholat di sana saja." Bu Ratih memaksa putranya. Ada saja alasan yang dilontarkan olehnya.
"Ya, Sudah kamu berangkat sekarang saja. Kasihan Mami ga sabar ketemu Papi." Miko berusaha membujuk suaminya. Ia tak ingin melihat ibu mertuanya mengomel.
"Ya sudah, kita berangkat." Dimas mengalah. Ia menuruti kata-kata istrinya. Debat dengan ibunya tak mungkin menang.
Pria itu lalu berdiri hendak mengambil kunci mobilnya yang disimpan di laci.
"Nah gitu dong. Mami sayang sama kamu, jadi anak itu harus sholeh dan berbakti biar disayang Allah dan selalu mendapat berkah." Bu Ratih tersenyum ceria sambil mengecup pipi Dimas. Walaupun sudah dewasa dan menikah, bagi Bu Ratih semua anaknya tetap anak-anak.
"Sayang, aku pergi dulu. Kamu mau ke kamar sekarang? Biar aku antar." Sebelum pergi Dimas memastikan keadaan istrinya. Ia tak ingin menelantarkannya, walaupun Miko memiliki perawat pribadi.
"Aku di sini dulu mau nonton." Miko menolak. Ia masih asyik nonton.
Dimas pun mengikuti langkah Bu Ratih setelah pamit kepada Miko.
"Hati-hati!" Miko melepas kepergian suaminya dengan senyuman.
***
Miko merasa was was dengan kehadiran Fikri yang akan menjadi ancamannya. Ia takut Fikri jatuh cinta kepada Ida terlebih penampilan Ida sekarang banyak berubah.
Saat asyik dengan pikirannya, datang Ami mendekat ke arahnya.
"Bu Miko mau istirahat?" Ami menawari Miko yang masih berada di ruang tengah sendirian. Ia tadi menolak diantar Dimas ke kamar.
"Iya, tolong antar saya ke kamar." Miko mengangguk. Ia ingin istirahat sejenak. Memikirkan Fikri dan Ida membuatnya sangat lelah tiada tara.
"Ida sedang apa?" Miko menanyakan Ida. Sejak tadi Ida selalu bersama Bu Ratih. Ia belum banyak bersapa-sapa dengan sekretarisnya.
"Di kamarnya. Oh ya Bu, Bu Miko harus hati-hati dengan Mbak Ida. Sepertinya dia suka sama Pak Dimas. Setiap berdekatan dengan Pak Dimas, Mbak Ida selalu cari perhatian. Saya saja risih melihatnya. Apalagi penampilannya sekarang sudah berubah. Gawat kan kalau Pak Dimas tergoda. Diam-diam Mbak Ida itu sering kegenitan." Ami mulai melancarkan aksinya untuk memfitnah Ida. Ia ingin bergerak secepat mungkin untuk menyingkirkan gadis yang berprofesi sebagai sekretaris itu.
"Wajarlah dia suka sama suami saya karena suami saya kan tampan. Dia juga kaya. Pasti banyak diincar kaum hawa. Kamu juga pasti suka kan sama suami saya?" Miko tertawa seraya menatap Ami. Miko juga tahu Ami terpesona melihat suaminya. Bukan tidak mungkin justru Ami yang berusaha menggoda suaminya. Terlihat dari penampilan dan gestur tubuhnya. Sementara Ida, ia terlihat biasa saja. Dirinya telah lama mengenal Ida dibanding Ami.
Miko tak masalah jika benar suaminya benar-benar jatuh cinta kepada Ida. Itu artinya dirinya tak perlu susah payah memaksa keduanya untuk berjodoh. Tugasnya semakin ringan. Wanita Jepang itu harus mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada ibu mertuanya jika Dimas berhasil terpikat oleh Ida. Rencananya akan berjalan dengan mulus. Miko tak sabar menunggu waktu itu tiba.
Mendengar ucapan yang dilontarkan oleh majikannya, Ami sedikit terkejut. Ternyata sang nyonya bukanlah sosok yang mudah terhasut. Ia juga tak memperdulikan ucapannya.
"Bu Miko tidak khawatir jika Pak Dimas direbut wanita lain apalagi oleh orang dekat, sekretaris sendiri?" Ami bertanya dengan penuh rasa penasaran. Sekali lagi ia menjadikan Ida sebagai objek pembicaraan. Ia harus berhasil membuat Ida,tercoreng nama baiknya.
"Saya sangat percaya sama suami saya kalau dia itu tipe lelaki setia. Tak mungkin bisa tergoda. Lagi pula saya belum tahu kalau ada seseorang yang berusaha merebut suami saya. Kalau ada saya pasti segera bertindak. Tak ada yang harus diperhatikan." Miko menjawab dengan keyakinan tinggi.
Sekali lagi Miko menatap tajam ke arah Ami. Miko semakin yakin jika Ami sedang merencanakan sesuatu.
"Bu Miko harus mendengarkan ucapan saya, supaya tak menyesal. Mbak Ida itu juga sepertinya sering meminta bantuan dukun untuk praktek perdukunan." Ami terus berupaya untuk membuat Miko percaya kepadanya, tak segan menjatuhkan nama Ida.
Miko menarik nafas dalam. Perawatnya itu makin menjadi dalam menyudutkan posisi Ida.
"Oh iya Ami, Saya sarankan kepada kamu agar kamu jangan terlalu ikut campur urusan keluarga saya dan mengadu hal yang bukan-bukan. Apalagi menuduh Ida sembarangan. Saya sangat mengenalnya. Saya lebih kenal dia dibandingkan kamu." Miko memperingati. Lama-lama ucapan Ami makin ngawur dan tak terkendali.
"Jaman sekarang itu banyak orang dekat yang menusuk dari belakang." Ami terus mengoceh berharap Miko ada di pihaknya.
Miko semakin kesal dengan ulah Ami yang sudah kelewatan.
"Terima kasih banyak karena kamu sudah mengingatkan saya dan sekarang tolong tinggalkan saya sendiri dan panggil Ida ke sini!" Miko memerintah dengan tegas. Ia benar-benar lelah mendengar ocehan Ami.
Ami pun segera berlalu dari hadapan Miko untuk memanggil Ida. Sesuai perintah sang nyonya. Ami berharap, Ida akan segera tersingkir.
***
Dimas tiba kembali di rumah pukul setengah lima sore disertai oleh kedua orang tuanya serta Fikri. Ternyata asisten Pak Yusuf itu ikut serta. Ia sengaja diperintahkan Bu Ratih menemani suaminya, padahal saat di Jakarta ia melarang keras.
Tentu saja ia memaksa karena ingin mendekatkan asisten suaminya yang berstatus jomblo dengan Ida.
Miko ditemani Ida dan Ami langsung menyambut kedatangan ayah mertuanya dan Fikri. Entah kapan terakhir kali bertemu.
"Apa kabar, Pi?" Miko bertanya kabar kepada Pak Yusuf seraya mencium tangannya penuh hormat.
"Alhamdulillah, Papi sehat. Kamu sendiri apa kabar? Papi lihat semakin baik." Pak Yusuf balik bertanya. Wajahnya memperlihatkan pancaran kebahagiaan melihat kondisi menantu kesayangan keluarga Hadiwijaya baik-baik saja.
"Alhamdulillah semakin membaik. Semua ini berkat bantuan dari kalian semua." Miko bersyukur dengan kondisi kesehatannya saat ini.
Pandangan Miko lantas beralih ke arah Fikri. Ada rasa kesal dan tebal kepada pria tampan asisten ayah mertuanya
Fikri menyalami Miko dan juga dua gadis lain di hadapannya.
"Itu perawat Miko, namanya Ida dan gadis di sampingnya itu adalah Ida, sekretaris Miko." Dimas yang bersuara memberikan penjelasan atas rasa penasaran Fikri yang sepertinya mengagumi kecantikan Ida
"Ngedip dong Fik, jangan kaget gitu. Kaya baru melihat spesies wanita cantik." Bu Ratih memberikan godaannya.
Fikri tersipu malu. Dimas berusaha menahan tawanya supaya tak meledak.
Ida tertunduk malu saat menyadari Fikri memperhatikan dirinya. Ia merasa tak pantas mendapatkan perhatian dari seorang wanita. Ia merasa malu. Sementara Ami, sebaliknya. Ia begitu mengagumi sosok Fikri yang tak kalah tampan dari suami majikannya itu. Ami jadi berharap akan bisa menggaetnya.
Usai saling sapa dan berta ya kabar, Bu Ratih langsung berbisik ke arah suaminya
"Ayo Pi kita ke kamar dulu." Bu Ratih menarik lengan suaminya. Setah itu pamit meninggalkan mereka yang masih bercakap-cakap.
"Oh, Iya silahkan Papi istirahat dulu!" Dimas mengiyakan. Ayahnya pasti merasa lelah.
"Sampai ketemu di acara makan malam nanti." Bu Ratih menutup obrolan.
Miko dan Dimas tertawa melihat aksi orang tuanya yang kocak. Mereka selalu harmonis dan romantis. Keduanya merupakan pasangan suami istri yang patut menjadi contoh generasi muda saat ini. Pasangan itu sungguh manis mengingat usianya yang tak lagi muda.
"Iya Mi." Miko mengangguk.
***
Miko dan Dimas tengah berada di ambang jendela kamar yang menghadap ke arah taman belakang. Keduanya dapat melihat dengan jelas sekali jika Fikri dan Ida tengah duduk santai di tepi kolam renang. Entah apa yang mereka lakukan. Keduanya tampak bicara dan sesekali tertawa bersama. Bu Ratih sepertinya sukses mendekatkan keduanya tanpa butuh waktu yang lama.
"Mami sepertinya mulai menjalankan misinya, lihat saja mereka mulai akrab. Hebat sekali." Miko mengomentari pemandangan yang tengah dilihatnya. Usaha mertuanya terbilang cukup sukses.
Ia benar-benar khawatir Ida akan jatuh hati kepada Fikri dan sebaliknya Fikri menaruh hati kepada sekretarisnya. Bisa gagal semua rencananya. Miko sulit mendapatkan pengganti Ida.
Dimas menatap sang istri yang seolah menyimpan kekecewaan. Bukannya turut bahagia dengan momen mereka. Tiba-tiba saja perkataan Ami terngiang di telinganya.
"Kenapa kamu seolah tak setuju jika Mas Fikri dekat dengan Ida? Itu kan kabar baik." Dimas ingin jawaban yang jujur dari istrinya.
"Aku tidak pernah bilang tak setuju." Miko mengelak.
"Aku cuma merasa saja jika kamu kurang antusias menyaksikan kebersamaan mereka. Semoga saja tak ada hal yang sedang disembunyikan." Dimas ingin memancing reaksi istrinya.
Miko tampak terkejut. Ia merasa suaminya tengah mencurigai dirinya. Miko khawatir Dimas mengetahui rencana dirinya yang ingin menjodohkan Ida dengan pria di hadapannya yang berstatus sebagai suaminya.
"Tidak ada apa-apa. Hanya saja aku pasti sedih kehilangan Ida. Jika Ida menikah dengan Mas Fikri. Ida pasti ikut suaminya seperti wanita kebanyakan. " Miko berbohong. Padahal bukan itu yang ditakutkannya.
"Aku dengar katanya kamu dan Ida tidur bareng ya, waktu aku pergi ke Jakarta?" Dimas membahas isu yang didengar dari Ami. Sekarang merupakan momen yang tepat untuk membahasnya.
"Iya, waktu itu aku butuh teman. Kebetulan akhir-akhir ini aku terserang insomnia. Jika mengajak Ami rasanya kurang nyaman sebab dia orangnya sering usil dan kepo. Aku juga belum terlalu dekat. Ga ada salahnya kalau aku minta Ida buat menemani aku, sekalian kita curhat-curhatan. " Miko mengakui. Miko mengira jika Dimas tahu dari Mbok Darmini. Ia pernah bercerita.
"Seharusnya kamu izin aku. Apalagi jika sampai tidur seranjang. Bukankah itu hal yang kurang etis." Dimas seolah mempermasalahkan apa yang dilakukan istrinya beberapa waktu yang lalu tersebut.
"Maaf, aku tidak sempat. Lagipula itu bukan perkara besar, kan?" Miko tampak menyesal. Bukan sekali dua kali ia satu kamar dengan Ida jika sedang berada di luar kota untuk acara pekerjaan dan Dimas tahu itu. Mengapa baru kali ini suaminya seolah keberatan. Miko tak paham alasan Dimas.
"Aku cuma khawatir saja. Aku harap antara kamu dan Ida berhubungan tak lebih dari sekedar atasan dan bawahan. Aku cemas tentang banyaknya kasus penyimpangan yang terjadi. Misalnya perilaku seks menyimpang antar sesama jenis." Dimas mengungkapkan kegalauan dirinya. Pemikiran negatifnya tak lepas dari pengaruh ucapan Ami.
"Astaghfirullah, kamu ngomong apa, Sayang? Kamu nuduh aku sama Ida berbuat hal gila? Aku tak sebejat itu. Aku masih normal, pun dengan Ida." Miko tersulut emosinya. Ia tak mengira jika suami yang ia cintai dan hormati sanggup mengeluarkan kalimat yang tak pernah terpikirkan oleh dirinya. Itu sangat menyakitkannya.
"Aku belum terlalu mengenal Ida, Ami memberikan kesaksian jika Ida pernah menyerang dirinya dengan berbuat tindakan asusila. Terus terang aku takut sekali jika itu benar terjadi." Dimas memberitahukan sumber yang ia dengar.
"Si Ami harus dikasih pelajaran. Main tuduh sembarangan. Kamu tak terlalu kenal Ida, terus dengan Ami? Aku yakin kamu pasti lebih tak mengenalnya. Sayang, kamu jangan mudah terpancing dong!" Miko memperlihatkan kemarahannya. Kehadiran Ami di tengah keluarganya membawa dampak buruk untuk kehidupan rumah tangganya.
Malam ini juga ia akan memanggil perawatnya untuk meminta klarifikasi. Ida juga harus dihadirkan.
"Aku mau panggil Ami dan Ida." Miko menatap Dimas dengan nada penuh permohonan. Ia harus menyelesaikan masalah ini.
"Baik, akan aku panggil mereka sekarang juga." Dimas setuju. Ia pun butuh kejelasan dari berbagai pihak.
Pria itu kemudian melangkahkan kakinya keluar dari kamarnya. Tak peduli jika hari sudah malam, ia harus segera menyelesaikan masalah ini agar dapat tidur dengan nyenyak.
***
Ida dan Fikri duduk berdampingan di kursi taman yang berada di tepi kolam renang. Suasana langit malam ini tampak indah karena dipenuhi oleh kerlap-kerlip bintang. Rembulan pun bersinar terang berderang. Dua insan yang baru saling kenal akrab ini tampak banyak bicara. Keduanya sengaja didekatkan oleh Bu Ratih.
"Kamu betah tinggal dengan Miko dan Dimas?" Fikri menatap Ida. Ada rasa kagum terhadap gadis di hadapannya. Meskipun sudah kenal sebelumnya, namun ia tak pernah sedekat ini.
"Alhamdulillah, Mas. Mereka sangat baik terhadap saya." Ida tersenyum manis.
"Mereka memang baik. Ngomong-ngomong kamu sekarang ya yang megang perusahaan Miko." Fikri mulai membahas masalah pekerjaan.
"Iya, Mas." Ida mengangguk.
"Miko beruntung memiliki sekretaris sepertimu." Fikri memberikan pujiannya. Sementara Ida tersipu malu. Ia tak sehebat yang dipikirkan oleh pria di hadapannya.
"Alhamdulillah, justru sebaliknya saya yang beruntung memiliki atasan seperti mbak Miko. Dia sangat baik." Giliran Ida yang menyanjung Miko.
Menghadapi Ida yang tak banyak bicara membuat Fikri yang kaku, bingung memulai obrolan lainnya.
Ia seringkali kehilangan kata-katanya, hanya masalah pekerjaan dan urusan kantor yang dibahasnya.
Tak terasa keduanya sudah duduk selama setengah jam.
"Ehm, maaf mengganggu." Suara Dimas mengalihkan perhatian mereka.
"Ada apa Dim?" Fikri menatap Dimas. Ia merasa malu karena sedang berduaan dengan salah satu penghuni rumahnya.
"Saya mau memanggil Ida, Miko mau bicara penting." Pandangan Dimas tertuju ke arah Ida yang masih duduk di posisinya.
"Ada apa ya, Bang?"
Ida langsung berdiri. Sekarang ia terbiasa menggunakan sapaan Bang untuk Dimas. Fikri yang mendengar pun sedikit aneh.
"Kamu ke kamarnya saja sekalian tolong panggil Ami." Dimas memerintah.
"Mas Fikri, maaf saya ke dalam dulu," pamitnya sebelum berjalan meninggalkan Fikri dan Dimas. Ida sengaja tak ingin berjalan bersama Dimas. Jujur saja jantungnya sering berdetak tak karuan kalau berada di dekat Dimas. Ia khawatir pria itu bisa mendengarnya.
"Lagi pedekate ya, Mas?" Dimas bertanya ke arah Fikri yang masih terdiam menahan kecewa karena gadisnya pergi. Dimas segera pergi sebelum mendengar jawaban Fikri. Ia harus segera kembali menemui istrinya.
Miko,Dimas, Ida dan Ami telah hadir di dalam kamar pasutri itu. Mereka duduk di sofa dengan suasana tegang terutama Ami.
"Saya sengaja memanggil kalian untuk meminta klarifikasi tentang beberapa hal terkait aduan dari Ami." Dimas membuka percakapan.
Saat namanya disebut Ami mendadak tegang. Namun tak berlangsung lama karena ia langsung berusaha mengendalikan diri.
"Saya menerima laporan dari Ami jika istri saya terlibat hubungan dengan Ida dan kamu juga menuduh Ida itu lesbi dengan istri saya. Benar kan?" Dimas to the point.
"Ehmm, saya...saya tak pernah berkata begitu." Ami mencoba berkelit.
"Saya belum pikun. Lagipula kamu bicara itu tadi pagi kan?" Dimas menatap nyalang ke arah Ami yang mengelak.
Miko dan Ida pun ikut menatapnya dengan tatapan penuh emosi. Mereka tak menyangka jika Ami berani memfitnah.
"Kamu kan yang bilang jika istri saya tidur seranjang dengan Ida. Kamu bilang Ida melecehkan kamu?" Dimas terpancing emosinya.
Miko pun ingat tadi sore Ami hendak memprovokasi dirinya.
"Kamu tega sekali ya Ami. Salah saya apa sama kamu? Kamu juga mengatakan jika Ida menggoda suami saya." Miko tak terima dengan fitnahan perawatnya.
"Anda salah paham," Ami berusaha membela diri.
"Ternyata bukan hanya saya yang menjadi korban Ami. Ami juga sudah menuduh saya memasang pelet agar keluarga Mbak Miko menyukai saya." Ida menahan tangisnya. Selama ini ia diam karena tak ingin terjadi keributan.
"Apa maksud kamu?!" Dimas mendekat ke arah Ami dengan garang. Teriakannya sampai terdengar ke kamar Bu Ratih.
"Ada apa sih kalian? Berisik banget gangguin Mami sama Papi aja." Bu Ratih mendatangi kamar anaknya yang dipenuhi penghuni lainnya. Dimas pun menceritakan semuanya.
"Dari awal Mami ga suka sama dia dan sudah nyuruh Miko mecat dia. Kalian saja ga dengar Mami. Sudah pecat saja dia. Mami lebih percaya Ida!" Bu Ratih ikut memojokkan Ami yang tak berkutik.
"Mulai malam ini kamu saya berhentikan. Silahkan kemasi pakaian kamu!" Miko memberikan putusan. Ia menyesal telah mempekerjakan orang yang salah.
"Bu, maafkan saya. Saya khilaf." Ami memohon-mohon hingga sujud di kali Miko. Ia tak mau berhenti kerja.
"Sudah kamu tidak perlu nangis. Sana pergi!" Bu Ratih mengusir Ami dengan galak.
"Kalau kamu masih di sini saya panggil satpam." Bu Ratih mengancamnya.
Ami ketakutan, ia pun segera ke kamarnya mengemasi barang-barangnya. Ada perasaan sesal karena ia terlalu terburu-buru dalam bertindak. Semua harapannya musnah sudah.
"Ini gaji kamu!" Dimas menyerahkan amplop coklat kepada Ami. Meskipun belum genap sebulan namun ia tetap memberikan haknya.
Ami diusir dengan paksa dari rumah kediaman Dimas. Miko dan Bu Ratih tak ingin melepas kepergiannya. Hanya Ida yang tetap berbaik hati mengantarnya hingga keluar pintu rumah.
"Maafin aku ya Mbak!" Ami menyesal.
"Aku maafin kamu. Semoga kami segera mendapatkan pekerjaan baru dan ingat jangan ulangi lagi perbuatan burukmu." Ida berusaha bijak.
Tepat pukul sepuluh malam, Ami meninggalkan kediaman Dimas dan Miko dengan rasa sesalnya.
Pasangan Dimas dan Miko bisa kembali hidup tentram setelah sumber masalah mereka pergi.
***