Dimas tengah bersiap untuk kepulangannya ke Denpasar. Ia menggeret kopernya yang berukuran besar. Bukan dipenuhi oleh baju ganti atau barang pribadinya, melainkan oleh-oleh untuk istri tercintanya. Siapa lagi pelakunya kalau bukan ibunya yang memasukkan semua itu ke dalam koper. Dimas tak tahu persis apa yang dijejali ke dalam koper hitam miliknya itu, yang jelas bobotnya sangat berat.
"Dimas...!! Ayo dong buruan! Kamu lagi ngapain sih?" Terdengar suara Bu Ratih memanggilnya dari teras depan.
Dimas mempercepat langkahnya agar segera tiba di hadapan ibunya. Ia tak ingin kena omel sang Mami. Sesuai kesepakatan, Bu Ratih akan ikut serta ke Denpasar bersama Dimas dalam rangka menjenguk Miko.
"Ayo Dim, kita harus segera berangkat. Nanti ketinggalan pesawat!" Lagi-lagi wanita berusia 51 tahun itu tak sabaran. Ia berdiri ditemani oleh ayahnya Dimas, Pak Yusuf serta Fikri.
"Santai sedikit dong, Mi." Dimas tersenyum melihat tingkah ibunya yang selalu ribet.
"Kalau ga ribet dan santai itu bukan Mami Ratih." Pak Yusuf mengolok istrinya.
"Ih,..kok Papi gitu sih sama Mami." Bu Ratih cemberut.
"Papi beneran ga ikut nih?" Bu Ratih menatap suaminya yang tengah berdiri bersama Fikri, asisten kesayangannya. Ia berharap suaminya akan berubah pikiran.
"Papi kan sudah bilang kalau untuk saat ini Papi sangat sibuk. Ada urusan penting yang harus segera diselesaikan. Nanti malam akan ada meeting penting dan Papa harus hadir. Mami tolong ngertiin Papi dong." Pak Yusuf berusaha agar istrinya bisa mengerti. Sejujurnya ia pun ingin menemani istrinya.
"Ah, Papi tuh gak asyik. Sibuk terus ngurus kerjaan. Papi tuh gak kangen sama Mami. Padahal kita sebulan berpisah dan baru beberapa hari ngumpul. Sekarang harus pisah lagi. Seharusnya kita ke Bali untuk Honeymoon." Bu Ratih melirik ke arah suaminya.
Dimas menahan tawanya melihat drama yang dimainkan oleh ibunya. Apa tidak kebalik seharusnya ayahnya yang protes karena ibunya tak sabaran ingin pergi dan malah meninggalkan suaminya. Namun Dimas simpan saja kaya-katanya si hati. Ia malas mendengar ocehan ibunya.
"InsyaAllah nanti Papi jemput Mami hari Minggu. Sekarang Papi lagi sibuk dan tidak bisa pergi. Nanti Papi kasih jatah belanja lebih deh." Pak Yusuf tak bisa dibujuk. Ia malah berusaha menyogok istrinya.
"Ah, Papi selalu saja gitu, ngapain punya Fikri sih kalau ga bisa diwakilkan. Oke deh kalau beneran Papi mau jemput Mami." Bu Ratih luluh setelah mendengar kosakata "transfer"
" Awas lho kalau Papi PHP, Tapi nanti Fikri jangan ikut." Ia berbisik ke telinga kiri suaminya yang masih bisa didengar jelas oleh Dimas dan Fikri.
Dua pria muda tampan itu hanya bisa menyunggingkan senyumnya tanpa bisa berkomentar.
"Ayo, Mi kita berangkat sekarang!" Dimas mengingatkan. Bukannya tadi sang Mami yang mengajaknya buru-buru.
"Ayo..ayo.." Bu Ratih bersiap ia meraih tasnya lalu merapikan rambutnya sebelum memasang kacamata hitamnya. Penampilannya seperti wanita berusia dua puluhan. Apalagi ia mengenakan celana jeans ketat yang dibalut blouse casual. Tak akan ada yang menyangka jika dirinya ibu lima anak yang sudah dewasa. Bahkan ia sudah memiliki satu orang cucu.
Dengan sigap Fikri meraih koper milik istri majikannya.
"Kopernya, hanya ini saja, Tante?" Fikri memastikan barang bawaan Bu Ratih tak salah.
Bu Ratih mengangguk.
"Mas Fikri seperti tak tahu Mami saja, pergi dengan sebuah koper kecil, pulangnya bawa sepuluh koper segede gaban." Dimas tak bisa menahan tawanya mengingat kebiasaan ibunya selama ini.
Fikri menahan tawanya sementara Pak Yusuf hanya menggelengkan kepala. Ucapan putranya memang benar.
"Dimas, kamu lebay. Kapan Mami bawa koper sepuluh. Mami bawa satu koper kecil itu biar praktis saja. Barang lainnya kan bisa di beli di sana. Selain itu biar Mami ga usah repot buat packing." Bu Ratih memberikan alasan.
"Terserah Mami saja!" Pak Yusuf berujar seraya membukakan pintu belakang mobil untuk istrinya yang cerewet itu. Istrinya selalu memiliki alasan yang tak bisa dipatahkan.
Usai meletakkan koper di bagasi, Dimas langsung mengambil posisi di samping Fikri yang diberi tugas mengemudikan mobil.
Sepanjang perjalanan menuju Bandara Soekarno-Hatta suasana di dalam mobil tak pernah sepi. Bu Ratih selalu memiliki tema untuk dijadikan bahan pembicaraan tak terkecuali tentang Miko.
Dimas selalu memasang telinganya berusaha menjadi pendengar setia. Begitu juga dengan yang lainnya. Mereka seolah sudah kebal dengan ocehan Bu Ratih Hadiwijaya.
"Ngomong-ngomong gimana tuh rencana gila Miko itu?" Bu Ratih kembali mengangkat tema tentang Miko yang ingin mencarikan istri muda untuk putranya.
"Rencana yang mana? Minta aku nikah lagi?" Dimas memalingkan wajahnya ke arah belakang.
"Rencana gila mana lagi kalau bukan yang itu." Cibir Bu Ratih. Menantunya itu sungguh keterlaluan.
"Sepertinya sudah amnesia. Sejak kecelakaan yang dialaminya, ia tak pernah lagi membahas apapun tentang masalah itu." Dimas bernafas lega ia terbebas dari bujuk rayu istrinya yang meminta untuk mencari istri ke dua.
"Mungkin benturan di kepalanya membuat otaknya kembali waras. Alhamdulillah kalau dia sudah melupakannya. Mami bahagia. Tak terbayang bagaimana jadinya jika kamu punya dua istri." Bu Ratih tak habis pikir dengan tindakan seorang istri yang ingin menjerumuskan suaminya ke jurang poligami.
"Sudah lah Mi, Mami tak perlu.lagi membahas masalah itu. Kasihan Dimas. Dia pasti tertekan." Pak Yusuf menghentikan aksi istrinya yang sedang mengungkit masa lalu.
"Tenang aja Mi, aku ga bakalan mau menduakan istriku. Saat ini yang butuh dicarikan jodoh itu, nih pemuda lapuk di samping aku. Kasihan dia kesepian." Dimas menunjuk ke arah Fikri yang berstatus jomblo di usianya yang hampir tiga puluh tahun.
"Dimas, kamu tidak perlu memojokkan saya. Tante Ratih dan Om Yusuf sudah tahu status saya jadi jangan dipertegas. Tidak perlu mempermalukan saya." Fikri mendadak tak enak hati. Sepertinya ada yang salah dalam pandangan orang lain dengan statusnya saat ini. Padahal, dirinya enjoy-enjoy saja.
"Tenang saja nanti Mami carikan jodoh buat kamu. Teman-teman Mami anaknya cantik-cantik." Bu Ratih mengumbar janjinya.
"Di rumah saya ada Mas, ada tiga wanita dengan status single. Ada Mbok Darmini yang janda paruh baya, Ada Ida sekretaris Miko dan terakhir perawat baru Miko yang namanya Ami, tinggal dipilih saja." Dimas memberikan candaan.
"Saya tidak laku ya, sampai harus ditawari. Terima kasih banyak tawarannya. Sayangnya saya tak tertarik." Fikri tersenyum memberikan penolakan.
"Ya sudah hari minggu nanti kamu ikut ke Bali. Biar bisa lihat, seperti apa wanita yang ditawarkan Dimas." Pak Yusuf terkekeh.
"Jangan dong Pi! Fikri jangan ikut sama Papi. Nanti dia malah nge date sama Papi. Tiap hari dia sama Papi terus. Kemana-mana selalu barengan. Ngehotel juga. Giliran Mami dong yang menguasai Papi." Bu Ratih memasang tampang cemburunya.
"Mami ngawur deh," Pak Yusuf mencubit pipi istrinya.
"Oh Papi KDRT, Fikri tolong laporin bos kamu ke komnas perlindungan perempuan!" Bu Ratih balas mencubit paha suaminya.
"Udah deh Mo, Pi jangan ribut kita sudah sampai." Dimas mengintrupsi kehebohan yang terjadi di dalam mobil jok belakang.
Obrolan terhenti karena mereka tiba di bandara.
"Mami hati-hati di sana, kalau sudah sampai tolong kabari Papi." Pak Yusuf memberikan pesan kepada istrinya, saat melepas kepergiaannya di pintu keberangkatan.
"Dimas tolong jagain Mami." Giliran Dimas yang diberi tugas. Ia selalu mengkhawatirkan istrinya dimana pun berada. Apalagi pergi sendirian.
"Tenang saja Pi, Mami aman bersama Dimas." Dimas memastikan ibunya baik-baik saja. Kedua orang tuanya itu boleh dibilang pasangan lebay. Padahal kalau mau mundur ke belakang Maminya baru saja tinggal di Australia selama satu bulan dan ia baik-baik saja.
"Papi juga jangan lirik sana sini!" Bu Ratih memberikan peringatan. Ia masih sering cemburuan.
"Fikri tolong jagain Om Yusuf ya jangan sampai ada yang godain. Kalai dia nakal tolong segera lapor Tante!" Bu Ratih melirik arah asisten suaminya memberikan sebuah msndat. Ia tak rela ada pelakor yang bergentayangan mengejar suaminya yang kaya raya itu.
Mendengar percakapan orang tuanya uang absurd Dimas menahan tawanya. Hanya mampu tersenyum. Mereka masih seperti pasangan muda.
"Ayo Mi, pesawat mau lepas landas." Dimas mengakhiri percakapan.
Usai saling berpelukan mereka pun berpisah.
***
Miko bersiap untuk menyambut kepulangan suaminya. Ia ingin memberikan sambutan terbaiknya.
Ia telah berganti pakaian dengan dres santai tanpa lengan motif bunga kecil warna pink. Tampak elegan.
Ia sedang ditemani Ami di kamarnya.
"Ami, tolong bantu make up wajah saya! " Miko memberikan perintahnya. Meskipun ia telah mampu melakukannya sendiri namun ia ingin menjajal kemampuan perawatnya yang pandai bersolek itu.
Ami pun dengan sigap langsung menjalankan titah sang nyonya. Ia memperhatikan wajah Miko sebentar lalu meraih beberapa peralatan make up di atas meja rias. Dengan perlahan ia mengaplikasikan semuanya. Mulai dari pembersih wajah, krim, alas bedak hingga wajah Miko berubah semakin cantik dan mempesona. Ami semakin gregetan melihat hadilnya yang luar biasa memukau. Ia penasaran ingin mencoba di wajahnya sendiri. Ia iri dengan apa yang dimiliki oleh Miko.
Miko tampak puas dengan hasil kerja Ami. Dirinya tampak percaya diri.
"Kamu sepertinya berbakat menjadi make up artist. Hasil riasan kami tak kalah dengan penata rias langganan saya yang biasa datang ke rumah." Miko memberikan pujiannya. Tentu saja Ami merasa tersanjung. Ia senang hasil kreatifitasnya ada yang suka.
"Sebenarnya saya suka dunia modelling dan tata rias, sayangnya ibu saya yang berprofesi sebagai bidan malah memaksa saya masuk akper." Ami menyesalkan apa yang telah terjadi kepadanya.
Miko paham, pantas saja gadis di hadapannya itu sering kecentilan dan hobi lenggak lenggok.
"Kamu yang sabar ya, siapa tahu nanti ada kesempatan untuk berkarir di bidang yang kamu sukai. Saran saya kamu kamu ikut ambil bagian pada kontes kecantikan, siapa tahu berhasil." Miko memberikan semangat. Bakat Ami memang harus disalurkan.
"Terima kasih ya Bu." Ami senang karena ia mendapat dukungan. Tentu saja ia jadi semakin percaya diri.
"Sama-sama, terima kasih juga kamu sudah mendandani saya, saya mau bersiap menyambut kepulangan suami saya. Dia sekarang lagi di jalan. Sekarang kamu tolong panggilkan Ida!" Miko memberikan perintah lainnya.
Usai membereskan semua peralatan, mengembalikan ke tempat semula, Ami pun segera melaksanakan titah majikannya.
Sejak melangkah keluar dari kamar Miko hingga menaiki anak tangga pikirannya terus tertuju pada peralatan kosmetik Miko yang bernilai total puluhan juta rupiah. Entah kapan ia bisa seperti sang nyonya. Ia harus mencari pria kaya yang mau memperistrinya, kalau bisa yang seperti Dimas.
Andai aku jadi istri Pak Dimas. Pokonya aku harus berusaha memikat Pak Dimas. Bagaimana caranya ya biar Pak Dimas bisa melirik aku.
Pikiran jahat Ami kembali mulai bekerja.
***
Ida belum lama berada di dalam kamarnya saat terdengar suara ketukan pintu yang membuatnya batal untuk berganti pakaian. Ida langsung tahu siapa yang melakukannya karena suaranya terdengar gaduh. Ini pasti ulah Ami. Perawat itu terkadang menunjukkan sikap kasarnya kepada Ida, menampakkan rasa tak sukanya.
Benar saja, saat pintu terbuka sosok Ami berdiri menatap tajam ke arah Ida.
"Mbak Ida dipanggil Bu Miko tuh!" Ami berujar dengan nada sinis yang tak enak didengar.
Tanpa menunggu jawaban Ida, ia berlalu begitu saja tanpa pamit. Selama kenal dengan Ami, Ida merasa seolah gadis itu tak mau beramah tamah dengan dirinya. Terkesan sombong dan arogan. Padahal selama ini Ida berusaha untuk sopan dan tak mencampuri urusan pribadinys. Ia tak tahu apa salah dan dosanya kepada perawat baru itu. Ia tak pernah ingin bermusuhan dengan siapapun. Ida sendiri tak merasa sudah melakukan sebuah kesalahan. Memikirkan semua itu membuatnya bingung.
Ida segera datang memenuhi panggilan Miko. Berhubung baru pulang dari kantor ia belum sempat berganti pakaian.
"Hari ini Dimas pulang bersama Mami Ratih. Sekarang Gusti sedang menjemputnya." Miko menyampaikan kabar tentang kepulangan suami dan mertuanya.
"Saya sampai lupa sekarang hari kamis." Ida baru ingat kalan suami bosnya itu akan kembali.
"Tolong bawa aku ke ruang tamu ya!" Miko ingin menyambut kepulangan suaminya. Ia sangat merindukannya.
Tanpa menunggu perintah untuk ke dua kalinya, Ida langsung meraih kursi roda Miko dan mendorongnya perlahan dengan hati-hati.
Tanpa diduga di sana sudah ada Ami yang berjalan menuju pintu masuk ruang tamu. Penampilannya selalu seksi dengan baju ketatnya yang mencetak beberapa bagian tubuhnya. Dari kaca jendela baik Miko maupun Ida bisa melihat jika Dimas dan Bu Ratih sedang berjalan untuk masuk ke dalam rumah. Miko tak paham maksud Ami.
Dimas dan Bu Ratih tampak kaget melihat sosok gadis seksi yang menor membukakan pintu rumah.
"Selamat sore Pak Dimas, selamat datang kembali." Ami tersenyum dibuat semanis mungkin. Ia mencoba ingin menyalami suami bosnya namun Dimas tak mau. Bu Ratih menatap Ami dengan pandangan tak suka. Sikap gadis di hadapannya cukup norak. Bu Ratih memindainya dari ujung kaki hingga ujung rambut. Belum sempat ia bertanya, tiba-tiba terdengar suara Miko di belakang Ami.
"Dimas,...Mami..."
Dimas langsung mendekat ke arah istrinya.
Miko berusaha menerobos Ami yang menghalangi pintu masuk.
"Apa kabar, Sayang." Dimas langsung menunduk dan mencium kening istrinya tepat di hadapan Ami. Perawat itu tampak tak menyukai adegan yang terjadi.
"Alhamdulillah sehat, aku kangen kamu." Miko tersenyum lebar, akhirnya dewa cinta yang dinantinya datang juga. Betapa bahagia hatinya.
"Miko, kamu sekarang sudah banyak perkembangan ya?" Bu Ratih segera mendekat ke arah Miko dan mencium pipi kanan kirinya.
Ida yang berdiri di belakang Miko pun turut menyalami mertua atasannya.
"Alhamdulillah Mi, semua berkat dukungan kalian semua." Miko sangat berterima kasih terhadap orang di sekitarnya.
"Ida kamu tinggal di sini ya?" Bu Ratih sudah tahu kabar tentang sekretaris Miko yang menumpang di rumah anak menantunya. Dimas banyak bercerita saat tadi di dalam pesawat. Wanita itu tak keberatan karena Ida gadis yang baik.
"Iya, Bu." Ida memberikan jawaban pendek seraya mengangguk sopan.
"Ini perawat baru Miko pengganti Salwa, namanya Ami." Dimas memperkenalkan gadis seksi yang berdiri di dekatnya. Pria berambut cepak itu yakin jika sang Mami sedang menyimpan rasa penasarannya.
"Saya Ami, Bu." Ami memperkenalkan dirinya seraya mengulurkan tangannya untuk sun tangan.
Bu Ratih dengan penuh paksaan memberikannya.
Ia sama sekali tak menyangka jika gadis itu adalah perawat. Tampangnya tak meyakinkan bisa merawat pasien dengan baik.
"Oh.." seru Bu Ratih.
"Ayo, silahkan masuk! Kalian pasti cape." Miko mempersilahkan mertua dan suaminya masuk.
Di ruang keluarga mereka melanjutkan kembali obrolan.
Dengan sigap Ida membantu Bu Ratih menyimpan kopernya di kamar tamu.Sementara Ami tanpa tahu malu malah ingin ikut terlibat obrolan.
"Ami, tolong kamu minta Mbok Darmini menyiapkan minuman. Jangan lupa masak untuk makan malam." Miko memberikan perintahnya.
"Mami tidak suka sama Ami, kamu lihat sendiri sikap dan penampilannya seperti apa. Kalau bisa segera pecat dia dan cari gantinya!" Bu Ratih mengemukakan pendapatnya.
Baik Dimas maupun Miko langsung menganga.
Benar, mereka harus mempertimbangkan kembali akan kehadiran Ami.
***
TBC