Bab 17

1758 Words
Mendengar keterangan dari Ida, Miko tampak kaget. "Innalillahi, terus bagaimana kondisi kamu?" Miko memperhatikan Ida. Khawatir terjadi sesuatu yang serius. "Alhamdulillah tidak apa-apa Mbak, saya kaget sekali mereka seolah ingin menculik saya. Saya dipaksa masuk ke dalam mobil mereka. Mereka semua sangat kasar." Ida kembali membayangkan kejadian mencekam tadi malam yang dilaluinya. Hingga detik ini pun ia merasa trauma berada di jalanan malam hari. "Alhamdulillah, syukurlah kalau kamu tak terluka. Lain kali harus hati-hati. Sekalian tak perlu lagi lembur." Miko bernafas lega. "Oh iya kira-kira kamu kenal ga sama mereka atau pernah melihat mereka sebelumnya?" Miko seolah mencurigai sesuatu. Ida berpikir sejenak. Tak ada seorang pun yang dikenalnya. Ia juga sempat berpikir untuk apa mereka hendak membawanya kalau mau merampok atau menjambret mereka bisa mengambil tas ranselnya yang berisi laptop dan dompetnya juga motornya. Namun sama sekali mereka tak mengambil barang-barangnya. Mereka seolah mengincar dirinya. "Tidak, saya tidak kenal." Ida menggelengkan kepalanya. "Oh iya, bagaimana kondisi Pak Dimas? Saya tidak menyangka kalau pria yang menyelamatkan nyawa saya adalah Pak Dimas." Ida kembali teringat akan sosok Dimas yang telah menolongnya. Melawan empat orang preman bukanlah hal yang mudah. Malam itu begitu gelap sehingga baik Ida maupun Dimas tak sempat saling melihat. Ida keburu melarikan diri dan Dimas sibuk melawan kawanan penjahat itu "Alhamdulillah, cuma luka lebam dan lecet sekitar wajahnya. Badannya pegal-pegal. Suami saya juga tak tahu jika wanita yang ditolongnya itu adalah kamu." Miko memberitahukan kabar Dimas. Ida sendiri tadi telah melihatnya. Makanya ia bertanya perihal Dimas. "Dalam kasus ini saya minta maaf  karena turut andil menjadi penyebab, seandainya kamu tidak lembur karena urusan pekerjaan mungkin tak akan kejadian hal seperti tadi malam " Miko turut prihatin. Ada sedikit rasa bersalah kepada Ida yang saat ini menjadi tulang punggung perusahaan yang dipimpinnya. "Sudahlah, ini hanya sebuah musibah. Kita semua pasti tidak menginginkan ini terjadi. Semua merupakan takdir Allah yang telah digariskan." Ida berkata bijak. Ida berusaha melupakan kejadian malam tadi dan berharap tak akan terulang lagi. "Oh Iya Mbak, saya ingin memberikan laporan bulanan ini." Ida mengalihkan pembicaraan dan  memberikan map dan flash disknya. "Terima kasih ya Da!Oh iya tolong nyalain laptopnya." Miko meminta bantuan sekretarisnya. Seharusnya ia melakukan pekerjaan ini di kantornya, namun karena kondisi tak memungkinkan semua dilakukan di rumah dan Ida pun terpaksa tiap akhir pekan harus lembur di rumah bosnya. Ida melakukan semua intruksi Miko dengan cekatan. Miko beruntung memiliki sekretaris seperti Ida. "Di kantor sedang ada masalah Mbak, terjadi kerusakan pada beberapa mobil bus" Ida memberikan kabar terkini. "Kenapa baru lapor?" Miko menatap Ida. Ini masalah serius. "Kebetulan kerusakan terjadi belum lama dan Pak Ilyas baru lapor kemarin." Ida menjelaskan. "Ya sudah, biar nanti saya panggil dia kemari." Miko kembali mengalihkan fokusnya pada file-file di hadapannya. Biarlah masalah teknis dibicarakan nanti. Keduanya asyik larut dalam pekerjaan hingga tak terasa jam makan siang tiba. *** Ida bergabung bersama Miko dan Dimas dalam acara makan siang bersama. Meninggalkan pekerjaan mereka untuk sementara waktu. Seperti biasa Dimas akan mengambilkan makanan untuk istrinya lalu menyuapinya. Mereka makan satu piring berdua. Dimas menyuapi istrinya penuh kasih. Ia selalu memastikan nutrisi istrinya tercukupi dan makan dengan lahap karena ingin supaya istrinya segera sembuh Pemandangan yang membuat Ida merasa takjub dan kagum akan sosok Dimas yang selalu siaga. Pria itu selain tampan dan kaya juga bertanggung jawab. Tak sedikit pun terlihat lelah dan terpaksa. Ia tampak ikhlas walaupun kondisi fisiknya kurang baik akibat kejadian semalam. Miko sungguh beruntung memiliki seorang suami yang begitu perhatian dan mencintainya. Jika dirinya ditakdirkan menikah ia ingin memiliki suami tipe seperti Dimas. Sayangnya hingga detik ini ia tak pernah menjalin kasih lagi dengan siapapun setelah kematian Putu, calon suaminya. Ida tak yakin akan ada pria yang jatuh cinta kepadanya dengan penampilan fisik pas-pasan serta bukan dari keluarga kaya dan terpandang. Ida pun tak berani jatuh cinta. "Ayo, Sayang makan yang banyak!" Dimas menyodorkan sendok ke mulut Miko yang langsung menyambutnya. "Ida, kamu jangan sungkan ayo dicicipi semua hidangannya." Miko menatap ke arah Ida yang hanya mengambil sedikit makanan. "Ini sudah cukup, terima kasih banyak Mbak!" Ida tak biasa makan dalam porsi besar. Walaupun di depan matanya ia melihat ada banyak makanan lezat di atas meja di hadapannya, namun ia bukan sosok rakus. Ia terbiasa makan seadanya dan secukupnya tak pernah berlebihan. Di kontrakan pun saat ia memiliki makanan lebih akan diberikan kepada tetangganya. Di dalam kulkas tak pernah menyetok banyak makanan. Asal ada buat hari ini dan esok itu sudah cukup. Ajaran dari ibunya melekat dengan kuat. Dia bukan berasal dari keluarga berada sehingga segala sesuatunya selalu diperhitungkan. "Pak Dimas, saya ingin mengucapkan terima kasih atas pertolongan Bapak tadi malam. Jika tak ada Bapak entah bagaimana nasib saya." Ida memberanikan diri membuka obrolan dengan Dimas. "Tadi malam itu kamu yang menjadi korban?" Dimas menatap Ida sekaligus mengingat-ingat. Sayangnya ia tak sempat melihat wajah Ida. Ia terlalu fokus menghajar para penjahat pembuat onar itu. "Iya, Sayang. Tadi Ida sudah banyak bercerita sama aku. Dia juga tidak tahu jika yang menolong itu adalah kamu." Miko menimpali. "Benar Pak, saya minta maaf sudah membuat Bapak terluka." Ida berkata dengan nada penuh penyesalan. "Sudahlah yang penting kamu selamat. Sudah sewajarnya saya memberikan pertolongan kepada yang membutuhkan, apalagi semalam itu kejadiannya tepat di depan mata saya, saat saya melintasi tempat dimana kamu dihadang para preman." Dimas menjawab seraya meraih gelas berisi air putih yang hendak diberikan kepada istrinya. "Siapapun akan saya tolong semampu saya," lanjutnya. "Kamu tidak perlu merasa tak enak hati. Sesama manusia kita kan wajib tolong menolong." Miko mengingatkan. "Lain kali hati-hati di jalan, apalagi jika berkendara tengah malam. Zaman sekarang kejahatan ada dimana-mana dengan berbagai macam modus." Dimas mengingatkan. "Iya Pak." Ida mengangguk. "Ida pulang kemalaman gara-gara harus lembur." Miko tetap merasa bersalah. "Sudahlah Mbak tidak perlu diungkit lagi!" Ida tak suka jika atasannya menyalahkan dirinya sendiri. Mereka pun menikmati makan siangnya dengan santai. Ida kagum dengan sosok Dimas yang dikiranya judes dan cuek. Ternyata setelah kenal dekat langsung ia sosok yang ramah dan baik hati. Ida sendiri duku yang selalu berprasangka buruk. *** Ida pamit pulang tepat pukul tiga sore. Ia harus segera kembali ke rumah kontrakannya. Gadis berkacamata itu tak ingin kesorean. Walaupun jalanan kota Denpasar selalu ramai namun kejahatan mengintai dimana-mana. Kasus penculikan yang terjadi saat ini motifnya bermacam-macam. Ada yang ingin mengambil organ dalamnya, dieksploitasi untuk dijual entah dijadikan b***k ataupun dijadikan wanita penghibur. Ida masih ngeri membayangkannya. "Mbak saya pamit dulu, terima kasih banyak telah menjamu saya dan memberikan bingkisan." Ida mengucapkan terima kasihnya. Di tangannya ia membawa banyak jinjingan berisi makanan. "Aku yang harus berterima kasih sama kamu karena kamu sudah mau dibuat repot oleh aku." Miko pun sangat berterima kasih atas kehadiran Ida. "Sekali lagi terima kasih atas pertolongan Bapak!" Ida pun mengucapkan terima kasih sekali lagi kepada Dimas sebelum dirinya berlalu dari hadapan pasangan suami istri itu. "Hati-hati di jalan!" Miko berpesan. Ida mengangguk. "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Usai kepergian Ida, Dimas mendorong kursi roda istrinya untuk segera masuk ke kamar dan beristirahat. Istrinya tampak kelelahan karena seharian bekerja. "Kamu istirahat ya!" Dimas hendak memindahkan istrinya ke atas ranjang. Namun ditolaknya. "Aku ga akan tidur. Ini sudah sore tanggung banget. Ga baik untuk kesehatan." Miko menatap Dimas. "Oke,kamu baringan aja ya. Aku juga mau rebahan saja." Tanpa menunggu persetujuan Miko dirinya langsung memindahkan istrinya ke atas ranjangnya. "Aw.." Miko meringis. "Sorry Sayang, kamu sakit?" Dimas tak sengaja. Ia kurang hati-hati. "Ha kenapa-napa kok." Miko tersenyum. "Seharusnya kamu periksa ke rumah sakit untuk melakukan rongen, aku khawatir terjadi sesuatu." Miko bersikeras membujuk suaminya diperiksa. "Besok saja." Dimas tetap bandel enggan menuruti kemauan istrinya. Ia merasa dirinya baik-baik saja. "Janji ya!" Miko mendesaknya. "Iya." Dimas mengangguk. "Dimas, sebaiknya pikirkan lagi usulan aku untuk mengajak Ida tinggal di sini. Aku butuh dia. Kalau dia ada di sini pasti aman. Selain itu Salwa juga beberapa hari lagi pulang kampung dan sampai detik ini belum ada penggantinya." Miko mengalihkan tema pembicaraan. Sekali lagi mengajukan usulannya. "Aku heran kenapa kamu ngebet sekali ingin agar Ida tinggal di sini? Tentang Salwa besok atau lusa kan bakalan ada pengganti dia. Kamu ga usah khawatir." Dimas menatap istrinya penuh rasa ingin tahu. Sebenarnya ia curiga jika sang iatri sedang merencanakan sesuatu. "Aku nyaman bersama Ida. Ida kenal sama aku dan kami bisa lebih mudah berkomunikasi urusan pekerjaan kantor. Setidaknya biarkan dia di sini sampai aku sembuh total." Miko memberikan alasan yang masuk akal. "Teringat kejadian tadi malam, aku makin yakin dengan keputusanku. Ida gadis yang baik dan penurut. Aku menyukainya." Sekali lagi Miko meyakinkan dan berharap suaminya setuju akan usulannya. Sebenarnya ada maksud lain dibalik itu semua. Miko belum melupakan misinya untuk mencarikan pendamping untuk suaminya. Apalagi mengingat kondisi fisik dirinya yang tak sempurna. Miko yakin bahwa Dimas butuh teman disampingnya. Ida adalah wanita yang tepat, selain pintar dan cekatan dia juga cantik hanya saja kecantikannya tak terlihat mencolok karena ia tak berdandan dan baju yang dikenakan sangat sederhana. "Nanti kita bahas lagi." Dimas menutup kalimatnya. Ia memejamkan matanya seraya memeluk pinggang ramping istrinya. "Kok kamu tidur sih," dumel Miko kesal. Namun ia tampak senang karena masih memiliki peluang membuat Dimas mengatakan "ya" Jika Ida tinggal bersama mereka maka peluang mendekatkan Ida dan suaminya terbuka lebar. *** Ida langsung menuju rumah kontrakannya. Ia sama sekali tak mampir kemana pun. Untuk makan malam nanti ia sudah memiliki makanan yang dibungkuskan oeh Miko sehingga dirinya tak perlu lagi keluar rumah. Sejak kedatangan pamannya ke kantor dan kejadian tadi malam, Ida semakin waspada. Bukan tak mungkin kejadian buruk akan menimpanya. Ia harus berhati-hati sebab hanya tinggal seorang diri. Tiba di kontrakan ia langsung masuk rumahnya. Suasana di sana tampak sepi karena para penghuni tengah bekerja atau ada juga yang sedang mudik. Lia dan anak-anaknya yang biasa nangkring di depan rumah mereka pun tak terlihat. Entah sedang pergi kemana. Kebetulan suaminya sedang ada di rumah. Saat membuka pintu, ia dikejutkan dengan penemuan sepucuk surat kaleng tanpa amplop. Kamu bisa lolos dari saya tadi malam, tapi ingat! Saya akan tetap memberi pelajaran buat kamu. Maka bersiaplah. Kamu itu hanya seorang hadis bodoh, sampah... Bulu kuduk Ida seketika mendadak merinding. Siapa gerangan yang telah mengirimnya surat kaleng berisi ancaman itu? Pikirannya jadi tak tenang ia tak pernah memiliki musuh.  Tiba-tiba saja prasangkanya teetuju kepada sang paman yang bernama Dewa. Pria yang pernah mendatangi kantornya. Mungkinkah peristiwa tadi malam ada hubungannya dengan sang paman. Tak ada lagi orang yang lebih kejam dari pamannya. Ida tak pernah berbuat hal buruk kepada siapapun. Mustahil ada orang asing yang ingin melukainya. Menuduh Oka Yudistira pun tak mungkin karena pria itu tak akan melakukan tindakan kejahatan tanpa didukung oleh sosok Dewa, pamannya. Dugaan-dugaan buruk terhadap pamannya bermunculan. Setelah dua bulan lebih merasakan kebebasan dan ketenangan ia harus menerima teror baru. Harus bagaimana dirinya. Ia tak memiliki siapapun yang bisa dijadikan tameng. Ida merobek kertas yang dipegangnya. Ia langsung menjatuhkan diri di atas kasurnya. Ia berharap semoga ini hanyalah mimpi buruknya saja. Tanpa disadari air matanya mengalir begitu saja. Ida menangis terisak. Betapa malang nasib dirinya. Tak terasa Ida pun tertidur pulas karena kelelahan menangis. *** TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD